Menyingkap Malam Satu Suro, Keunikan hingga Pantangan Dalam Tradisi Masyarakat Jawa

1 month ago 62

Liputan6.com, Jakarta - Malam satu Suro bukanlah malam biasa dalam kalender masyarakat Jawa, melainkan sebuah malam sakral yang sarat makna, keheningan, dan kekhidmatan. Ia bukan sekadar pergantian tanggal dalam penanggalan Jawa atau Hijriyah, tetapi sebuah momentum spiritual yang dipercaya membuka gerbang-gaib antara dunia nyata dan dunia tak kasat mata.

Bagi masyarakat Jawa yang memegang teguh nilai budaya dan tradisi leluhur, malam satu Suro bukanlah malam untuk hura-hura, bersenda gurau, apalagi melakukan aktivitas yang bersifat duniawi dan penuh gemerlap. Sebaliknya, malam ini diisi dengan perenungan, doa, dan penyucian batin.

Inilah sebabnya mengapa sejumlah pantangan menjadi bagian penting dari peringatan malam satu Suro. Pantangan malam satu suro bukan tanpa dasar, melainkan lahir dari keyakinan dan pengalaman panjang masyarakat dalam memahami siklus waktu dan peristiwa yang terjadi di sekitarnya.

Dalam pandangan mereka, malam satu Suro menyimpan kekuatan metafisik yang besar, dan karena itu perlu disikapi dengan penuh kehati-hatian. Salah satu pantangan utama yang diyakini oleh masyarakat Jawa pada malam satu Suro adalah larangan untuk keluar rumah tanpa keperluan yang sangat mendesak atau tanpa niat ibadah.

Keluar rumah pada malam ini dipercaya dapat membuka kemungkinan terpaparnya seseorang dengan energi-energi negatif yang bertebaran di alam. Secara simbolik, rumah dalam budaya Jawa bukan hanya tempat tinggal fisik, tetapi juga ruang perlindungan spiritual.

Meninggalkan rumah di malam satu Suro sama artinya dengan keluar dari perisai spiritual yang selama ini menaungi dan melindungi diri. Oleh karena itu, jika pun seseorang harus keluar rumah, maka harus disertai dengan niat suci, seperti untuk berzikir, berdoa, atau mengikuti ritual keagamaan yang memperkuat spiritualitas, bukan untuk kegiatan duniawi apalagi hiburan.

Ketakutan bukanlah motif utama dari larangan ini, melainkan kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan antara jasmani dan rohani di malam yang dianggap keramat ini.

Selain larangan untuk keluar rumah, pantangan lain yang kerap dijaga adalah tidak diperkenankannya menggelar hajatan atau perayaan, seperti pernikahan atau pesta pindah rumah.

Pantangan

Masyarakat Jawa percaya bahwa malam satu Suro bukanlah waktu yang tepat untuk menyambut kebahagiaan duniawi karena energi malam ini lebih cenderung berkaitan dengan hal-hal spiritual dan penyucian diri.

Menggelar pernikahan di malam satu Suro dianggap sebagai bentuk ketidakselarasan antara niat perayaan dengan energi kesunyian dan kekhusyukan malam tersebut.

Sebuah pernikahan yang dipaksakan pada malam satu Suro diyakini dapat membawa hal-hal yang tidak diinginkan dalam perjalanan rumah tangga, bukan karena malam itu sial, melainkan karena tidak selaras dengan nilai-nilai kebatinan yang dijunjung tinggi dalam tradisi Jawa.

Begitu pula dengan pindah rumah, yang dalam tradisi Jawa dianggap sebagai peristiwa besar yang memerlukan perhitungan matang dan restu spiritual. Melakukannya pada malam satu Suro dikhawatirkan akan mengganggu harmoni antara penghuni rumah baru dengan energi yang bersemayam di tempat tersebut.

Pantangan lainnya adalah larangan untuk berbicara keras, berteriak, atau membuat keributan pada malam satu Suro. Dalam budaya Jawa, suara yang keras tidak hanya mengganggu kenyamanan fisik, tetapi juga diyakini dapat mengusik makhluk-makhluk halus yang sedang bergentayangan atau melakukan perjalanan di malam yang penuh kekuatan spiritual ini.

Karena itulah, suasana malam satu Suro biasanya sunyi, penuh ketenangan, bahkan di beberapa desa, warga memilih untuk memadamkan lampu lebih awal sebagai bentuk penghormatan terhadap malam yang diyakini membawa dimensi spiritual tinggi.

Keheningan ini bukanlah bentuk ketakutan, melainkan wujud dari pengendalian diri, penghormatan terhadap yang tak terlihat, dan ikhtiar untuk menyelaraskan diri dengan alam semesta. Dalam keheningan itu pula, masyarakat diajak untuk merenung, menyucikan niat, serta mengingat kembali nilai-nilai kebajikan yang telah diwariskan oleh leluhur.

Tradisi-tradisi ini memang tidak lagi dipegang oleh semua lapisan masyarakat, terlebih di era modern yang kian rasional. Namun demikian, keberadaan pantangan malam satu Suro tetap menjadi warisan kultural yang kaya akan makna dan filosofi.

Ia mengajarkan manusia untuk memberi ruang bagi keheningan, untuk menahan diri dari kebisingan duniawi, serta untuk menghargai siklus waktu yang diyakini memiliki energi tersendiri. Pantangan-pantangan ini bukanlah larangan mutlak yang harus ditakuti, melainkan bentuk ajakan untuk hidup lebih sadar, lebih menghargai makna malam, dan lebih berserah pada kekuatan yang lebih tinggi.

Dalam konteks kekinian, mungkin kita tak lagi memaknai malam satu Suro secara mistik, namun esensinya tetap bisa diresapi: malam sebagai waktu untuk jeda, untuk pulang ke dalam diri, dan untuk menyambung kembali hubungan spiritual yang kerap terputus oleh kesibukan dunia.

Penulis: Belvana Fasya Saad

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |