Liputan6.com, Jakarta - Kiwoom Sekuritas Indonesia menilai prospek sektor ritel pada paruh kedua 2025 masih akan dibayangi berbagai tantangan, terutama karena daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih sejak awal tahun.
“Kami berpandangan emiten sektor ritel masih akan penuh tantangan terlebih dengan daya beli yang masih belum pulih di 1H25, dimana tercatat sejak awal 2025, sudah terjadi 3x deflasi secara bulanan (Jan, Feb dan Mei),” ujar VP Marketing, Strategy & Planning Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi kepada Liputan6.com, Rabu (11/6/2025).
Menurutnya, tekanan terhadap kinerja ritel juga berasal dari nilai tukar Rupiah yang masih fluktuatif serta suku bunga yang belum menunjukkan arah pelonggaran yang konsisten. Hal ini menimbulkan tekanan pada biaya impor serta konsumsi barang-barang premium.
“Selain itu tekanan dari fluktuasi Rupiah terhadap USD berdampak pada biaya impor (khususnya elektronik, produk rumah tangga). Kebijakan suku bunga yang masih belum sepenuhnya dovish akan cenderung menekan demand ritel seiring dengan kredit konsumsi dan ekspansi yang lebih premium,” jelas Oktavianus.
Di sisi lain, ia mencermati sejumlah sentimen yang akan mewarnai sektor ritel di semester II, seperti potensi penurunan suku bunga acuan BI, paket stimulus ekonomi pemerintah, serta dinamika global terkait tarif impor AS.
Meski demikian, Kiwoom Sekuritas memberikan rekomendasi neutral untuk sektor ini, dengan saham pilihan yakni ACES (buy, TP: 684), AMRT (buy, TP: 2.640), dan MAPI (buy, TP: 1.450).
Banyak Ritel Modern Tutup, Mendag Ungkap Alasannya
Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menjelaskan penyebab semakin banyaknya ritel modern yang tutup belakangan ini. Menurutnya, fenomena ini disebabkan oleh perubahan gaya belanja masyarakat serta kurangnya inovasi dari pihak ritel.
Dalam diskusinya bersama Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Mendag mengungkap bahwa banyak ritel modern tidak mampu beradaptasi dengan tren baru.
“Ada yang bertanya kenapa banyak ritel modern tutup. Bahkan ada beberapa yang tutup. Nah, itu kalau kami diskusi dengan APPBI, itu ternyata kalau retail modern itu Hanya jualan ya, tidak ada experience di situ, tidak ada journey di situ. Ya dia pasti akan kalah dengan UMKM,” kata Mendag saat ditemui di kantor Kementerian Perdagangan, Rabu (4/6/2025).
Ia menyoroti, perubahan perilaku konsumen sebagai faktor utama. Dulu orang belanja untuk kebutuhan seminggu, dua minggu, bahkan sebulan. Sekarang, orang belanja untuk kebutuhan satu atau dua hari saja. Jadi, mereka memilih belanja di tempat yang paling dekat.
“Karena sekarang itu pola belanja atau lifestyle atau gaya belanja Ibu-ibu atau kita semuanya itu sudah berubah. Dulu kalau kita belanja kadang untuk butuh uang seminggu Dua minggu kadang sebulan. Sekarang itu belanjanya kadang untuk kebutuhan sehari dua hari. Akhirnya apa? Akhirnya belanja yang terdekat saja ritel-ritel yang terdekat saja,” jelasnya.
Perlu Berinovasi
Lebih lanjut, Budi juga menilai pusat perbelanjaan seperti mal dan department store yang tidak menawarkan nilai lebih seperti tempat makan, nongkrong, atau berkumpul akan sulit menarik pengunjung.
“Kemudian juga kalau mal department store itu hanya tempat belanja tidak ada tempat misalnya untuk makan untuk nongkrong, untuk ngumpul, ya akan sepi pengunjung,” ujarnya.
Maka dengan perubahan gaya hidup konsumen, Mendag menegaskan pentingnya inovasi dalam strategi penjualan untuk bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat.
“Nah, itu mungkin itu jadi gambaran kita bahwa kita juga harus bisa mengikuti trend yang ada, termasuk bagaimana nantinya berjualan ya terutama untuk UMKM,” pungkasnya.