Liputan6.com, Jakarta - Di sebuah sudut tenang Pulau Bali, tersembunyi sebuah desa kecil bernama Trunyan yang terletak di tepi timur Danau Batur, Kabupaten Bangli. Desa Trunyan tidak hanya dikenal karena keindahan alam dan ketenangan yang menyelimutinya, tetapi juga karena sebuah tradisi pemakaman yang sangat unik dan jarang ditemukan di belahan dunia manapun.
Tradisi ini disebut Mepasah, atau dalam istilah yang lebih populer disebut sebagai kubur angin. Tradisi ini berdiri teguh dalam harmoni spiritual dan keseimbangan kosmis masyarakat Bali Aga kelompok etnis asli Bali yang mempertahankan warisan leluhur tanpa banyak pengaruh Hindu Majapahit.
Berbeda dengan praktik pemakaman pada umumnya yang melibatkan pembakaran atau penguburan, masyarakat Trunyan Bali membiarkan jenazah yang telah meninggal dunia terbaring di atas tanah, tidak dikubur dan tidak pula dibakar, namun diletakkan di bawah naungan pohon besar sakral bernama Taru Menyan.
Pohon ini dipercaya memiliki kemampuan mistis untuk menyerap bau tak sedap dari jasad manusia yang membusuk, sehingga meskipun jenazah dibiarkan terbuka, udara di sekitar tempat pemakaman tidak pernah berbau busuk. Ritual pemakaman Mepasah bukan sekadar proses pengembalian tubuh ke alam, melainkan simbol dari keterhubungan mendalam antara manusia, leluhur, dan semesta.
Jenazah yang diletakkan di pemakaman Trunyan ditempatkan dalam sebuah kurungan bambu tradisional yang disebut ancak saji, lalu diletakkan rapi di samping jenazah-jenazah lainnya, dalam sebuah barisan yang sunyi namun terasa hidup dalam nuansa sakral.
Hanya orang-orang yang meninggal secara wajar bukan karena kecelakaan atau kematian tragis yang boleh dipakamkan dengan cara ini. Selain itu, pemakaman Mepasah hanya diperuntukkan bagi jumlah jenazah tertentu dalam satu waktu begitu jumlahnya melebihi kapasitas, jenazah yang lebih lama akan dipindahkan untuk memberi tempat bagi yang baru, sementara tulang-belulangnya akan ditata di sekitar area pemakaman.
Uniknya, meskipun terbuka dan terekspos alam bebas, tidak ada hewan liar yang mengganggu atau mencabik tubuh jenazah, seolah semesta turut menjaga kesucian tempat tersebut.
Penduduk lokal percaya bahwa Taru Menyan tidak hanya menyerap bau, tetapi juga memancarkan aura pelindung spiritual yang menenangkan makhluk hidup dan menjaga keharmonisan antara roh orang mati dan dunia yang ditinggalkannya.
Pemahaman Filosofis
Di balik ketenangan pemakaman Mepasah, tersimpan filosofi kehidupan yang dalam dan penuh makna. Masyarakat Trunyan memandang kematian bukan sebagai akhir, melainkan fase alamiah dalam siklus keberadaan manusia.
Mereka tidak menganggap tubuh sebagai sesuatu yang harus disembunyikan dalam tanah atau dilenyapkan lewat api, tetapi sebagai bagian dari bumi yang akan kembali menyatu dengan alam secara alami. Oleh karena itu, proses pembusukan dipandang bukan dengan rasa jijik, melainkan dengan penuh penghormatan sebagai bentuk kejujuran eksistensial manusia.
Tradisi ini juga menjadi simbol kejujuran ekologis dan kerendahan hati di hadapan alam semesta: manusia datang dari alam, hidup di atas alam, dan pada akhirnya harus kembali dengan cara yang paling alami.
Dalam heningnya pemakaman Trunyan, setiap daun yang gugur, setiap desir angin yang menyapu danau, menjadi puisi yang merayakan keberadaan manusia dari awal hingga akhir. Di bawah naungan Taru Menyan yang megah, sunyi tidak lagi berarti sepi, melainkan bentuk komunikasi paling dalam antara jiwa yang telah pergi dengan bumi yang mengasuhnya sejak semula.
Jika ditelisik lebih dalam, keberadaan tradisi Mepasah juga menjadi pengingat bagi dunia modern bahwa tidak semua kebudayaan harus mengikuti arus globalisasi dan homogenisasi praktik budaya. Trunyan adalah bukti bahwa lokalitas dan spiritualitas bisa hidup berdampingan tanpa harus kehilangan jati diri.
Ketika dunia luar terus berkembang dengan teknologi dan efisiensi, masyarakat Trunyan justru memilih untuk mempertahankan kearifan lokal yang diwariskan secara lisan dan sakral dari generasi ke generasi.
Mepasah bukan sekadar tradisi pemakaman ia adalah bentuk manifestasi dari pemahaman filosofis, ekologis, dan spiritual yang sangat dalam. Setiap langkah di pemakaman itu adalah langkah menuju pemahaman bahwa kematian tidak harus diratapi, tetapi bisa dirayakan dalam sunyi, dengan cara yang tak kalah agung.
Maka tak heran jika Trunyan menjadi tempat yang tak hanya mengundang wisatawan karena keunikannya, tetapi juga mengajak manusia modern untuk merenung tentang bagaimana kita memperlakukan tubuh setelah jiwa meninggalkannya, dan bagaimana kita seharusnya hidup berdampingan dengan kematian, bukan takut padanya, tetapi memahami dan menghormatinya.
Penulis: Belvana Fasya Saad