Liputan6.com, Jakarta - Apa yang melintas dalam pikiran saat mendengar kata Kamasutra? Buku porno atau kitab seks? Selama ini banyak yang menyalahartikan teks kuno itu hanya sebagai 'buku panduan bercinta', padahal teks yang bisa dibilang sebagai karya sastra itu berisi lebih dari sekadar panduan seks, dia punya makna filosofis kehidupan yang lebih luas. Teks klasik dari India yang ditulis Vatsyayana pada abad ke-3 Masehi ini, isinya secara rinci memberikan panduan tentang bagaimana mencapai keseimbangan kepuasaan emosional dan fisik dalam hubungan romantis.
Menurut buku Kamasutra terjemahan bahasa Inggris terbitan Oxford University Press disebutkan, secara etimologi, 'Kamasutra' berasal dari bahasa Sansekerta. 'Kama' artinya keinginan, hasrat, cinta, dan nafsu. Sedangkan 'Sutra' punya makna benang atau rangkaian. Sehingga secara harfiah, Kamasutra dapat diartikan sebagai prinsip-prinsi bercinta.
Secara keseluruhan buku Kamasutra terdiri dari 36 bab yang terbagi menjadi 7 bagian, antara lain bagian Pendahuluan, bagian ini menjelaskan tujuan dan struktur teks, serta pentingnya memahami seni bercinta sebagai bagian dari kehidupan yang seimbang. Bagian kedua: Seni Bercinta, membahas teknik dan posisi bercinta, tetapi juga menekankan pentingnya komunikasi dan saling pengertian antara pasangan. Bagian ketiga: Mencari Pasangan, berisi panduan tentang bagaimana memilih pasangan yang tepat dan membangun hubungan yang sehat dan memuaskan.
Bagian keempat: Istri dan Kewajiban Rumah Tangga, isinya menggambarkan peran dan tanggung jawab dalam pernikahan, serta cara menjaga keharmonisan rumah tangga. Bagian kelima: Istri Lain, bagian ini membahas hubungan di luar pernikahan dan bagaimana mengelolanya dengan bijaksana, meskipun bagian ini sering kali diperdebatkan dalam konteks etika modern. Bagian keenam: Pelacuran, menjelajahi peran pelacuran dalam masyarakat dan bagaimana hubungan dengan pelacur dapat dikelola. Dan terakhir bagian ketujuh: Daya Tarik Pribadi, isinya memberikan saran tentang bagaimana meningkatkan daya tarik pribadi dan memperkuat hubungan melalui penampilan dan perilaku.
Meskipun diyakini ditulis sejak ribuan tahun lalu, banyak konsep dalam Kamasutra yang dianggap masih relevan hari-hari ini. Misal, dalam dunia yang semakin modern, semakin sibuk, yang kebanyakan terhubung secara digital, Kamasutra mengingatkan banyak orang tentang pentingnya konektivitas fisik manusia yang mendalam, tentang pentingnya sebuah keintiman. Tak hanya itu, dalam dimensi kekinian, teks yang dianggap banyak orang cuma sebagai 'buku panduan seks' itu, menekankan pentingnya komunikasi dan saling pengertian sebagai fondasi yang harus dijaga kokoh dalam menjalin hubungan.
Tapi siapa yang sangka, jauh di masa lampau, orang Jawa juga sudah mengenal Serat Centhini, yang disebut-sebut 'Kamasutra Jawa'. Padahal di dalamnya juga tak melulu bicara soal seks. Ditulis Adipati Anom Amangkunagara III, dengan bantuan tiga orang pujangga istana, yakni Kiai Ngabehi Ranggasutrasna, Kiai Ngabehi Yasadipura II, dan Kiai Ngabehi Sastradipura, Serat Centhini bisa disebut sebagai Ensiklopedia-nya orang Jawa, karena isinya merangkum semua tentang tata cara, adat istiadat, dan pengetahuan lainnya dalam tradisi masyarakat Jawa.
Pada awalnya Serat Centhini bernama Suluk Tembangraras, ditulis atas prakarsa Sri Susuhanan Pakubuwana V, saat dirinya masih menjadi putra mahkota bergerla KGPA Amangkunagara. Serat ini ditulis dalam bentuk tembang yang terbagi dalam tiga pupuh, dan diyakini memiliki 12 versi. Di era modern, Serat Centhini ringkasannnya pernah ditulis dalam bahasa Jawa oleh Suhatmaka pada 1931. Lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Balai Pustaja pda 1992.
Jika dibandingkan antara teks Kamasutra dan Serat Centhini ada benang merah yang membuat keduanya disinyalir memiliki kesamaan, yaitu pembahasan tentang seksualitas. Hampir sama dengan stigma Kamasutra di mata anak-anak 90an, naskah Serat Centhini juga mendapat stigma sebagai bacaan porno, karena di dalamnya dibahas juga tentang resep kecantikan, kanuragan, mantra-mantra, dan tentang asmaragama yang diceritakan secara lugas dengan bahasa yang apa adanya dan cenderung vulgar. Mungkin karena hal itulah, Serat Centhini terus mendapat stigma sebagai bacaan porno, sehingga anak-anak muda di era 70-90an dilarang membacanya dan dianggap tabu.
Jika ditelisik lebih dalam, cerita tentang Asmaragama dalam Serat Centhini menggambarkan bahwa aspek seksualitas dalam masyarakat Jawa sejak dulu dimaknai bukan hanya sekadar melanjutkan keturunan, atau bahkan sebagai pelampiasan hawa nafsu belaka. Lebih dari itu, Asmaragama menjadi lambang penyatuan (senggama) dan wujud dari penyatuan manusia dengan penciptanya.
Secara rinci pandangaan seksualitas masyarakat Jawa yang tertulis dalam Serat Centhini, selain soal Asmaragama, juga dibahas tentang hari-hari baik dalam bersenggama, dan kekurangan wanita, yaitu tentang ciri-ciri wanita yang untuk disenggamai. Bagi masyarakat Jawa yang menganggap seksualitas hanya sekadar pemenuhan nafsu belaka, mereka tidak segan-segan melakukan seks di mana saja, dengan siapa saja bahkan dengan binatang sekali pun. Soal ini digambarkan melalui tokoh Mas Cebolang dan Nurwitri melalui narasi cerita yang sangat vulgar. Tidak heran jika banyak orangtua dari anak-anak tahun 90an yang melarang anaknya membaca Serat Centhini.
Namun kini saat masyarakat Jawa pada umumnya telah masuk dalam zaman keterbukaan pasca-reformasi, persoalan seksualitas bukan lagi suatu hal yang tabu, yang tidak boleh anak-anak remaja menjamahnya, bahkan untuk mendengarnya saja tidak boleh. Justru anak-anak remaja perlu tahu seksualitas sebagai pendidikan seks, sehingga mereka tidak tersesat terhadap tubuhnya sendiri.
Seksualitas sendiri punya makna yang lebih luas dari sekadar gender dan seks. Seksualitas merupakan suatu ekspresi hasrat erotik atau birahi manusia yang dikonstruksikan dan diwariskan dari generasi ke generasi yang melibatkan banyak faktor, seperti faktor politik, ekonomi, budaya, hingga agama. Seksualitas tidak bekerja secara alami dalam diri manusia, melainkan hasil konstruksi dari masyarakat di mana seseorang tinggal.
Masyarakat pada umumnya memang masih menganggap seksualitas sebagai suatu hal yang negatif dan tabu untuk diperbincangkan, sehingga banyak hal dari seksualitas yang disembunyikan bahkan diingkari untuk kepentingan kelompok tertentu. Pada dasarnya, perempuan dan laki-laki punya sepenuhnya atas tubuhnya sendiri. Perempuan dan tubuhnya punya hak untuk mengapresiasi dan mengekspresikan tubuhnya sendiri. Pengingkaran atas hal tersebutlah yang kemudian mengakibatkan munculnya diskriminasi dan kekerasan terhadap pertempuan. Pada tahap inilah perempuan ditempatkan sebagai pihak tersubordinasi yang terus dilanggengkan dalam budaya patriarki.
Munculnya diksi-diksi seperti pelacur, pecun, janda, perawan tua, nenek sihir, merupakan fakta bahwa sejak lama perempuan terisolasi dalam struktur sosial yang terus dipermainkan oleh budaya patriarki. Namun Serat Centhini, yang notabene merupakan teks kuno dalam tradisi Jawa, bahkan telah lama mendobrak sistem patriarki yang digambarkan lewat profesi Gowok.
Gowok menurut jurnal penelitian berjudul Gowokan, Persiapan Pernikahan Laki-Laki Banyumas (Perspektif Etic dan EMic pada Kesejajaran dengan Praktik Prostitusi) yang ditulis Dyah Siti Septiningsih, diartikan sebagai sebuah profesi dari seorang perempuan yang biasanya adalah seorang ronggeng. Seorang gowok biasanya berusia masih muda, antara 23 sampai 30 tahun. Secara fungsional dia bertugas sebagai orang yang memberikan pemahaman tentang hubungan seks kepada calon pengantin pria, sebelum pengantin pria itu benar-benar berumah tangga dengan memperistri anak orang. Interaksi antara seorang gowok dengan perjaka yang menjadi muridnya disebut Gowokan.
Meski ditentang banyak kalangan, tradisi gowokan sendiri awalnya berangkat dari makna filosofi yang dalam bahwa seorang laki-laki merupakan seorang 'guru', kepala rumah tangga yang harus punya kemampuan saat menjadi seorang suami. Dalam rumah tangga, suami merupakan sumber utama kekuatan bagi keluarga, maka dari itu, sebelum menikah harus mendapatkan ilmu, terutama ilmu hubungan seks terlebih dahulu, yang mustahil didapatnya dari orangtua.
Cara menentukan Gowok pun tidak sembarangan, melainkan harus mendapat persetujuan kedua keluarga calon pengantin. Usai acara lamaran diterima pihak perempuan dan tanggal pernikahan sudah ditentukan, kedua keluarga dan pasangan calon pengatin menentukan gowok mana yang akan mendidik calon pengantin laki-laki. Usai kedua keluarga bersetuju, barulah mereka menghubungi gowok dan melakukan transaksi. Setelah gowok menyanggupi, pihak keluarga kemudian memberikan mahar, nilainya sama seperti mahar yang diberikan kepada calon pengantin perempuan ditambah dengan 'bebungah', yaitu hadiah berupa uang atau apapun sesuai kesepakatan mereka. Masa pergowokan sendiri dilakukan beberapa hari atau yang paling lama seminggu.
Yang paling menarik dari profesi gowok adalah proses mempersiapkan seorang laki-laki remaja yang akan menikah, agar tidak mendapat malu di malam pertama. Sastrawan Ahmad Tohari dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk menggambarkan, bagaimana seorang laki-laki di malam pertama harus mahir dalam berhubunga seksual, demi memberikan kepuasan kepada sang istri dalam perannya sebagai guru laki dalam rumah tangga.
Dengan kata lain, tradisi gowokan sebenarnya dimaksudkan agar pengantin pria sudah mahir dalam urusan seks di malam pertama, lalu akan mengajarinya kepada sang istri bagaimana cara melakukan hubungamn seks yang baik, yang bisa memuaskan diri si istri.
Sejalan dengan kemajuan zaman, tradisi Gowokan mulai memudar di masyarakat Jawa. Era digital dan keterbukaan informasi, membuat informasi apapun dapat dengan mudah didapat, termasuk juga tentang edukasi seks. Sehingga banyak orang, khususnya orang Jawa sendiri, yang menilai tradisi gowokan sudah tidak relevan jika masih dilakukan di zaman sekarang.
Kalau pun masih ada praktiknya saat ini, tentu hal itu tidak bisa dibilang sebagai upaya para suami 'belajar seks' demi memuaskan istri-istri mereka. Sehingga secara etik, tradisi gowokan saat ini lebih dekat dengan praktik prostitusi daripada edukasi seks demi menjadi suami yang berlabel 'guru'.