Liputan6.com, Semarang - Kejaksaan sebagai pilar penegak hukum, mendapat bantuan pengamanan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pengamanan kantor kejaksaan seluruh Indonesia ini memantik perdebatan publik. Satu sisi melihat sebagai masuknya militer ke ranah sipil, sisi lain memandang sebagai langkah menjaga stabilitas kelembagaan negara. Pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna, SH. MH menjabarkan bahwa secara hukum, pelibatan TNI dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
UU tersebut memungkinkan TNI membantu pemerintah, mendukung Polri dalam menjaga keamanan masyarakat, serta mengamankan objek vital nasional melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Namun, langkah ini hanya sah jika didasarkan pada keputusan politik negara, seperti perintah presiden atau nota kesepahaman resmi. "Sebaliknya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri menegaskan bahwa pengamanan institusi sipil, termasuk kejaksaan, adalah tanggung jawab utama Polri," kata Henry.
Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2015 juga membatasi peran TNI hanya pada situasi yang mengancam stabilitas nasional, dengan syarat adanya koordinasi ketat bersama Polri. “Pelibatan TNI jaga kejaksaan jika tanpa dasar hukum yang jelas dapat memicu dualisme komando dan bahkan pelanggaran prosedur hukum,” katanya.
Dualisme Komando
Henry menyoroti risiko tumpang tindih peran antara TNI dan Polri, yang berpotensi memunculkan ketidakpastian akuntabilitas hingga kekhawatiran pelanggaran hak asasi manusia. Kejaksaan hanya memiliki satuan pengamanan internal berupa satpam dan petugas sipil, tanpa struktur militer. Hal ini menguatkan argumen bahwa Polri seharusnya menjadi garda terdepan dalam pengamanan institusi ini. “Pengamanan oleh TNI sah secara hukum, tetapi hanya jika memenuhi syarat OMSP dan didasarkan pada keputusan politik negara,” kata Henry.
Menurutnya tanpa regulasi yang ketat, langkah ini berisiko memicu kontroversi politik dan hukum. "Sesuai pemikiran Michael Foucault, kekuasaan tidak pernah netral, ia selalu beroperasi dalam jaringan relasi yang kompleks dan sering kali ambigu," katanya.
Henry mengingatkan bahwa pelibatan TNI, sebagai wujud kekuasaan militer, harus diatur dengan cermat agar tidak menciptakan ambiguitas atau penyalahgunaan dalam konteks sipil. Ada beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan. Pertama, penyusunan nota kesepahaman antara kejaksaan dan TNI yang mengatur batas waktu, jenis dukungan, dan mekanisme pengawasan. Kedua, internal kejaksaan perlu memperkuat satuan pengamanan internalnya dan bekerja sama dengan Polri. "Ketiga, pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang TNI dan Polri untuk memperjelas pembagian peran, terutama terkait pengamanan institusi sipil. Dan terakhir, pengamanan acara atau kasus khusus oleh TNI harus didasarkan pada izin resmi dari Presiden atau Menteri Pertahanan," katanya.
Pelibatan TNI dalam pengamanan kejaksaan ibarat pedang bermata dua. Jika dilakukan dengan cermat dan sesuai hukum, langkah ini dapat memperkuat stabilitas. "Namun, jika tak dilindungi payung hukum ada risiko politis dan pelanggaran prosedur hukum akan selalu mengintai,” kata Henry.
Keseimbangan antara perlindungan dan kepastian hukum menjadi kunci agar langkah ini tidak berujung pada kontroversi yang merugikan, sebagaimana Foucault memperingatkan tentang sifat kompleks dan ambigu dari kekuasaan.