Liputan6.com, Jakarta - Pasar obligasi diperkirakan mengalami pergerakan positif pada paruh kedua 2025, seiring dengan proyeksi kenaikan yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun yang bisa mencapai 6%.
Kenaikan yield ini terjadi di tengah ekspektasi capital inflow dari kawasan Asia, serta perubahan arah kebijakan moneter global yang lebih akomodatif. Bagi investor, imbal hasil yang lebih tinggi ini menjadi daya tarik tersendiri untuk kembali menempatkan dana di pasar surat utang Indonesia.
Peningkatan yield juga menjadi momentum strategis bagi pemerintah maupun korporasi untuk mengoptimalkan penerbitan obligasi.
Dengan potensi permintaan yang lebih tinggi dari investor institusi asing, perusahaan swasta diprediksi lebih agresif melakukan fundraising melalui pasar obligasi. Selain itu, kondisi makro yang lebih stabil dan terkendalinya inflasi juga menjadi faktor pendorong.
"Dengan yield obligasi 10 tahun Indonesia yang berpotensi naik ke 6%, ini jadi kesempatan bagi korporasi untuk menerbitkan obligasi di level harga yang masih rasional, dengan potensi permintaan asing yang cukup besar,” kata Chief Economist PT Trimegah Sekuritas Indonesia Tbk, Fakhrul Fulvian, Selasa (3/6/2025).
Inflow Asia Dorong Penguatan Pasar Surat Utang
Arus modal asing yang diprediksi masuk ke Indonesia, khususnya dari kawasan Asia, dipandang akan memperkuat pasar surat utang domestik. Likuiditas tinggi di China, Jepang, dan Korea Selatan berpotensi mencari yield menarik di negara berkembang seperti Indonesia. Ini memberikan sinyal positif bagi pasar, terutama untuk surat utang dengan tenor menengah dan panjang.
Ketidakpastian di Negara Maju
Selain faktor likuiditas, ketidakpastian di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa turut membuat aset emerging market menjadi alternatif yang lebih menarik. Indonesia, dengan fundamental fiskal yang relatif kuat dan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang stabil, berada dalam radar investor asing sebagai tujuan penempatan dana yang prospektif.
Pemerintah Indonesia diprediksi akan menerbitkan obligasi berdenominasi Renminbi (CNH) pada kuartal ketiga 2025. Momentum ini dianggap strategis karena kondisi likuiditas di China sangat melimpah, dengan benchmark obligasi 10 tahun hanya di kisaran 1,6%.
Di tengah berkurangnya pasokan dolar dan meningkatnya permintaan instrumen dalam mata uang lain, yield obligasi Indonesia dalam Renminbi diperkirakan bisa serendah 3%, menciptakan peluang pembiayaan murah bagi pemerintah.
"Kalau pemerintah masuk ke pasar CNH, yield kita bisa serendah 3% karena likuiditas di China lagi membuncah,” kata Fakhrul.
Momentum Positif di Tengah Pelemahan Dolar AS
Selain inflow Asia, pelemahan dolar AS menjadi faktor tambahan yang memperkuat potensi apresiasi pasar obligasi Indonesia.
Saat dolar AS kehilangan daya tarik karena ekspektasi penurunan suku bunga The Fed, investor global cenderung melakukan diversifikasi portofolio ke aset berdenominasi mata uang lain, termasuk rupiah. Situasi ini menciptakan ruang bagi penguatan nilai tukar dan peningkatan daya beli investor asing terhadap obligasi lokal.
Nilai tukar rupiah yang menguat secara bertahap juga menjadi sentimen positif terhadap pasar obligasi karena menurunkan risiko nilai tukar. Kombinasi antara yield yang meningkat dan volatilitas yang mereda akan menarik bagi investor institusi global yang mengincar stabilitas imbal hasil jangka panjang. Tak hanya pemerintah, sektor swasta pun ikut terdorong oleh kondisi ini.
"Strengthening rupiah ditambah dengan pelemahan dolar akan bikin carry trade jadi menarik lagi. Investor asing pasti cari negara yang punya yield tinggi, risiko rendah, dan stabil secara makro. Indonesia sekarang ada di posisi itu,” kata Fakhrul.
Waktunya Korporasi Masuk Pasar Obligasi
Dengan yield yang berpotensi menyentuh 6% dan inflow asing yang kuat, tahun 2025 dinilai sebagai momen ideal bagi emiten korporasi untuk menerbitkan obligasi.
Banyak perusahaan yang sempat menunda aksi korporasi tahun sebelumnya karena volatilitas global, kini mulai melihat jendela peluang baru. Sentimen pasar yang lebih stabil serta meningkatnya minat investor akan mendukung pricing yang lebih kompetitif.
Perusahaan-perusahaan dari sektor infrastruktur, energi, dan keuangan diprediksi menjadi yang paling aktif dalam menerbitkan obligasi. Di sisi lain, perbankan juga cenderung kembali aktif menyerap obligasi korporasi sebagai bagian dari diversifikasi aset.
Dukungan regulator seperti relaksasi kebijakan pajak atas bunga obligasi juga memperkuat potensi pertumbuhan pasar ini.
"Kita lihat sudah mulai ada pipeline penerbitan dari sektor-sektor besar. Kalau yield obligasi pemerintah stabil di 6%, maka harga obligasi korporasi bisa lebih optimal. Momentum ini harus dimanfaatkan sebelum The Fed benar-benar berubah sikap,” ujar Fakhrul.