Liputan6.com, Lampung - Muhammad Arnando Al Faaris, mantan mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung (Unila) angkatan 2024, buka suara soal kekerasan fisik yang dialaminya saat mengikuti pendidikan dasar (diksar) Mahasiswa Ekonomi Pencinta Lingkungan (Mahepel) Unila.
Faaris menyebut bahwa dirinya dan lima rekan lainnya mengikuti kegiatan diksar Mahepel pada 11-14 November 2024 di Desa Talang Mulya, Kabupaten Pesawaran. Salah satu peserta, Pratama Wijaya Kusuma, akhirnya meninggal dunia pada 28 April 2025 setelah sakit berkepanjangan diduga akibat kekerasan selama diksar.
"Saya dan lima teman lainnya ikut kegiatan ini, termasuk Pratama. Dia yang paling lemah fisiknya, tapi paling banyak menerima siksaan dari senior," ungkap Faaris, Senin (2/6/2025).
Faaris menjelaskan bahwa sejak awal kegiatan, para peserta sudah diminta menyerahkan HP dan dompet, serta diwajibkan mengikuti seluruh kegiatan secara bersama-sama. Perjalanan menuju lokasi diksar menempuh waktu hingga 15 jam dengan berjalan kaki sambil menggendong tas besar.
"Kami hanya diberi waktu istirahat 5-30 menit. Kalau ada yang sakit, tetap dipaksa lanjut. Pratama sejak awal sudah terlihat kelelahan. Kakinya remuk, punggungnya merah karena beban tas. Tapi tak ada toleransi," tutur Faaris.
Luka-Luka di Sekujur Tubuh
Menurut Faaris, hukuman fisik diberikan secara brutal. "Kalau salah push-up 8 seri, satu seri 25 kali. Itu bukan main capeknya. Kami juga dihukum karena dianggap tak hafal yel-yel, hingga ditampar satu per satu oleh panitia," katanya.
Malam pertama disebut sebagai momen terberat. Dari pukul 18.00 hingga 22.00 WIB, mereka harus menjalani hukuman fisik mulai dari push-up hingga tamparan berulang kali dari senior. "Pratama ditampar karena dianggap menghindar, padahal dia sudah tak kuat. Senior seperti tak peduli," jelas dia.
Faaris menyebut bahwa makanan dan minuman juga sangat terbatas. Dari 6 kg beras, tersisa setengah kg. Dari 24 liter air, tinggal sebotol. Peserta dibiarkan kelelahan dan kelaparan.
Merayap di Lumpur Berbatu dan Ancaman dari Senior
Puncak penderitaan terjadi saat para peserta dihukum merayap di lumpur sawah yang dipenuhi kerikil tajam. "Kami disuruh minum air sawah, lalu diseret. Teman saya Raja, dua kukunya copot. Pratama penuh luka di perut dan lengan," terang dia.
Dia bahkan kehilangan pendengaran di telinga kiri akibat tamparan keras yang diterimanya dari salah satu senior bernama Sures. "Hanya telinga kanan yang masih berfungsi. Saya ke dokter THT, biaya Rp500 ribu sekali periksa," ujar dia.
Pada hari terakhir, menurut Faaris, kekerasan makin parah karena kehadiran banyak alumni Mahepel. Tenda peserta dihancurkan dini hari, mereka dipaksa bangun dan kembali menjalani hukuman.
"Kami diancam, jangan cerita ke siapa-siapa. Dibilang Mahepel harus jadi prioritas. Saya takut, kuliah pun tak tenang. Akhirnya saya memutuskan keluar dari Unila dua minggu lalu," dia menjelaskan.
Harapan Keadilan
Faaris mengungkap bahwa usahanya melapor ke kampus justru berujung tekanan. "Nilai kuliah saya diancam akan diubah. Saya disuruh tanda tangan surat pernyataan bahwa ikut diksar atas kemauan sendiri. Tidak ada yang mau bantu," bebernya.
Sebelum meninggal, Faaris sempat menjenguk Pratama yang sudah tidak kuliah sejak bulan Ramadan. Kepalanya diperban, ada selang karena gangguan saraf akibat benturan. Menurut ibunya, Pratama sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit.
Kini, Faaris mengaku berupaya mencari kampus baru untuk melanjutkan kuliah. Ia berharap tragedi ini tak terulang.
"Saya harap Mahepel dibekukan. Pengkaderan harusnya tak pakai kekerasan. Ini bukan pembinaan, ini penyiksaan. Saya ingin ada perubahan nyata," pintanya.