Liputan6.com, Medan - Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Sofyan Tan, menyoroti soal 4 pulau Provinsi Aceh masuk ke Sumatera Utara (Sumut). Menurutnya, kekhawatiran Presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno, terbukti.
Kekhawatiran itu terkait potensi perpecahan bangsa akibat konflik internal yang diakibatkan oleh bangsa sendiri dengan adanya 4 pulau Aceh yang diserahkan ke Sumut diduga memanipulasi fakta dan sejarah.
"Ini bertentangan dengan Undang-Undang dan Perjanjian Helsinki. Masa Soekarno pun pulau-pulau itu tercatat sebagai milik Aceh," kata Sofyan Tan dalam Sarasehan Peringatan Bulan Bung Karno bertema "Setialah Kepada Sumbermu: Kekuatan Rakyat sebagai Api Perjuangan" yang digelar di Kampus STIE Eka Prasetya, Kota Medan, Sabtu (14/6/2025).
"Apa yang dikhawatirkan Bung Karno dulu kini terbukti nyata, musuh kita bukan dari luar, tapi dari bangsa kita sendiri," sambungnya.
Sofyan Tan juga menyoroti kasus penyerobotan 4 pulau yang secara historis dan yuridis milik Aceh, namun kini diklaim sebagai wilayah Sumut.
"Peristiwa ini adalah bentuk nyata dari krisis integrasi nasional yang sejak awal telah diwaspadai Bung Karno," sebutnya.
Simak Video Pilihan Ini:
Mobil Pengangsu Pertalite Terbakar di Tambak Banyumas
Semangat Persatuan yang Rapuh
Menurut Sofyan Tan, kejadian ini menggambarkan betapa rapuhnya semangat persatuan jika tidak dilandasi oleh semangat keadilan.
Dia mengingatkan kembali visi Bung Karno yang sangat memahami potensi perpecahan di negeri yang sangat majemuk seperti Indonesia
Sofyan Tan juga mengatakan Soekarno adalah sosok visioner yang menggali dan menciptakan Pancasila sebagai jalan hidup bangsa Indonesia buah hasil perenungan mendalam setelah melihat sendiri keragaman suku, agama, dan budaya dari Sabang hingga Merauke.
"Kemajemukan bangsa Indonesia sangat rentan terjadi perpecahan, disintegrasi bangsa. Inilah yang dilihat Bung Karno sehingga Indonesia harus ada pegangan hidup sebagai perekat bangsa saat merdeka, yakni Pancasila," tegasnya.
Jangan Usik Keharmonisan Masyarakat Sumut-Aceh
Polemik alih wilayah 4 pulau antara Provinsi Aceh dan Sumut kian memanas. Komunitas Milenial Berkarya Indonesia (MBI) Wilayah Aceh secara tegas menyuarakan penolakan terhadap Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.
Padahal sebelumnya, keempat pulau tersebut tercatat berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil.
"Kami mendesak Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian segera mencabut keputusan itu. Kebijakan ini tidak hanya melukai masyarakat Aceh, tetapi juga mengancam keharmonisan yang telah lama terjalin antara Aceh dan Sumut," kata Koordinator Komunitas MBI Wilayah Aceh, Muchlis, kepada Liputan6.com, Sabtu (14/6/2025).
Muchlis menilai, keputusan tersebut berpotensi mengusik kedamaian pasca-konflik yang selama ini telah dibangun dengan susah payah di Aceh.
Dia menyoroti bahwa persoalan alih administrasi ini bukan sekadar urusan batas wilayah, melainkan telah menyentuh akar sejarah dan semangat rekonsiliasi.
"Ini mencederai ruh Perjanjian Helsinki dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, yang telah menjadi pijakan historis dalam mengatur batas-batas wilayah Aceh sebagai daerah otonomi khusus," sebutnya.
Keputusan Kontraproduktif
Menurut Muchlis, keputusan Kemendagri juga kontraproduktif terhadap semangat pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto, yang tengah membangun narasi Astacita dan stabilitas nasional.
"Situasi masyarakat Aceh saat ini adalah respons normal yang mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap pusat,” ujarnya.
MBI Wilayah Aceh mengimbau agar generasi muda dan seluruh elemen masyarakat, baik di Aceh maupun Sumut, tidak terjebak dalam konflik horizontal yang bisa dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab.
Dialog dan semangat kekeluargaan dinilai sebagai kunci untuk mengatasi persoalan tapal batas ini.
"Aceh dan Sumut satu tubuh yang hanya dipisahkan batas administratif. Kami melihat banyak generasi muda Sumut juga berempati dan menyesalkan keputusan ini. Artinya, ada solidaritas yang masih hidup dan harus dijaga," bebernya.
Pentingnya Langkah Bijak dan Arif
Muchlis juga menekankan pentingnya langkah bijak dan arif dari pemerintah pusat, terutama Mendagri Tito Karnavian untuk membatalkan keputusan tersebut demi menjaga stabilitas sosial dan politik kawasan.
Komunitas MBI mengingatkan, menjaga semangat perdamaian di Aceh bukan hanya tugas masyarakat setempat, tetapi juga menjadi tanggung jawab nasional.
"Kami berharap pemerintah pusat lebih peka terhadap dampak sosial dan psikologis dari setiap kebijakan yang menyangkut wilayah Aceh," tandasnya.