Perusahaan Indonesia Rentan Serangan Siber, Peluang Talenta Digital Tersertifikasi

2 days ago 16

Liputan6.com, Sleman Mayoritas perusahaan swasta di Indonesia ternyata belum siap menghadapi serangan siber di tengah masifnya disrupsi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Diperlukan lebih banyak talenta-talenta digital untuk memperkuat ‘benteng’ keamanan siber.

Menyajikan data yang dirilis Cybersecurity Readiness Index oleh Cisco, sebuah perusahaan teknologi global. Ketua Umum Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF) Saga Iqranegara mengungkap hanya 11 persen korporasi di Indonesia yang memiliki kesiapan untuk menghadapi ancaman keamanan siber.

“Itu artinya 89 persen perusahaan rentan mengalami serangan siber yang mengancam keamanan basis data dan aktivitas digital organisasi,” jelasnya Sabtu (31/5/2025).

Perkembangan AI yang begitu pesat menurutnya juga telah merevolusi keamanan siber dan menaikkan tingkat ancaman, dengan 9 dari 10 organisasi (91 persen) mengalami insiden keamanan yang berhubungan dengan AI tahun lalu.

Riset ini juga menemukan hal menarik, dimana 61 persen organisasi yang menghadapi serangan siber justru dihambat oleh framework keamanan yang kompleks dengan solusi sistem yang tidak terintegrasi (disparate point solution).

Merespons temuan Cisco tersebut, Saga menjelaskan pandemi Covid-19 memang mendorong perusahaan melakukan transformasi digital. Namun menurut dia tidak banyak perusahaan yang memperhatikan keamanan sistem dan data mereka.

"Biasanya perusahaan baru memanggil ahli keamanan siber saat sudah terjadi masalah, semestinya itu bisa dicegah sejak awal," kata Saga.

Jasa keamanan siber memang membutuhkan biaya yang sangat besar. Kondisi ini pada akhirnya membuat tidak banyak perusahaan yang mampu menyiapkan dan menjaga keamanan sibernya. Namun risiko atas kondisi ini membuat kerugian perusahaan akan jauh lebih besar.

Butuh Banyak Lulusan Tersertifikasi

Saga mendorong lahirnya lebih banyak talenta digital yang memiliki kualifikasi dalam menghadapi ancaman di dunia digital. Indonesia saat ini membutuhkan lebih banyak lulusan keamanan siber yang tersertifikasi.

Direktur Politeknik AI Budi Mulia Dua (PLAI BMD), Ridho Rahmadi menegaskan perlunya perguruan tinggi dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas para talenta dan profesional di bidang AI, khususnya yang menguasai keamanan siber.

"Apalagi pada 2030, Indonesia diperkirakan membutuhkan 9 juta talenta digital yang artinya bisa sekian kali lipat jika diproyeksikan pada kebutuhan talenta AI dengan kepakaran lebih spesifik di dalam spektrum digitalisasi, seperti untuk menjaga keamanan siber," ujar doktor di bidang data science and machine learning Universitas Radboud Belanda ini.

Menurut penyandang gelar master di bidang AI dari dua kampus Eropa, yakni Universitas Johannes Kepler Linz dan Universitas Teknik Ceko, penguatan keamanan dunia siber memerlukan talenta-talenta digital yang dibekali keterampilan teknis dan telah belajar langsung tentang cyber security dari dunia industri.

Kualifikasi ini diterapkan di PLAI BMD yang berdiri pada April 2025 dan berbasis di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai kampus AI pertama di Indonesia.

"PLAI BMD menawarkan tiga program studi unggulan, salah satunya adalah Rekayasa Keamanan Siber yang diperkuat pengajar profesional dan praktisi andal,” tuturnya.

Dengan kurikulumnya terdiri dari 70 persen praktik dan 30 persen teori, serta bekerja sama dengan 13 mitra industri. Mahasiswa yang lulus siap menghadapi ancaman dunia siber sesungguhnya.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |