OPINI: Menyalakan Kembali Api Deklarasi Bandung di Era Kolonialisme Digital

2 days ago 20

Liputan6.com, Jakarta - Isu 'kolonialisme digital' kini menjadi topik hangat di berbagai forum global seperti Internet Governance Forum 2024 dan RightsCon 2025. Kekhawatiran terhadap dominasi teknologi oleh negara-negara maju makin menguat. Kritik terhadap praktik monopoli platform digital, pengumpulan data pribadi secara masif, dan algoritma yang tak transparan makin sering dilontarkan.

Di perhelatan Rightscon Taipei, Taiwan, keresahan global akan praktik platform digital dalam mengawasi, memeras data pengguna, dan meletakkan kekuasaan di tangan segelintir orang direspon keras. Post-Western Digital Rights Manifesto diluncurkan. Isinya sebelas  aksi transformatif untuk merebut kembali kontrol atas Internet dari tangan perusahaan teknologi.

Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism (2019) menyoroti bagaimana perusahaan teknologi seperti Google dan Meta mengumpulkan serta mengeksploitasi data pengguna demi kepentingan komersial. Praktik ini dianggap melanggar hak-hak privasi dan melemahkan kedaulatan individu serta negara.

Di Indonesia sendiri, isu kolonialisme digital bergaung kencang. Protes atas monopoli pasar Google berujung putusan denda Rp 202,5 milyar dari KPPU awal Januari 2025.

Google dinilai memonopoli sistem pembayaran di Google Playstore serta tidak mengizinkan alternatif pembayaran lain dalam GPB system sehingga menghapus aplikasi-aplikasi buatan developer aplikasi yang tidak mengikuti kebijakan GBP system.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah kita sedang menghadapi bentuk baru kolonialisme? Jika iya, bagaimana cara melawannya?

Belajar dari Deklarasi Bandung 1955

Tahun ini menandai peringatan tujuh dekade Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Kala itu, negara-negara baru merdeka bersatu menyuarakan penolakan terhadap dominasi kolonial dalam bentuk politik, ekonomi, dan informasi. Mereka menyerukan lahirnya tatanan dunia yang lebih adil.

Pada dekade 1970-an, semangat ini melahirkan gagasan New International Information Order (NIIO) —usaha untuk memperjuangkan sistem informasi global yang tidak didominasi negara industri Barat. Herbert Schiller, dalam tulisannya Decolonization of Information (1978), menekankan pentingnya membebaskan narasi dari hegemoni kekuasaan kolonial.

Untuk mencapainya, didirikan kantor-kantor berita secara desentralisasi di negara Asia hingga Afrika, menerbangkan satelit sendiri ke luar angkasa, menyusun regulasi untuk mendorong sistem informasi yang lebih demokratis. Dominasi informasi Barat akhirnya bisa diimbangi.

Kini, tantangan serupa muncul kembali —hanya dalam bentuk baru.

Wajah Baru Kolonialisme

Jika dulu dominasi informasi dilakukan oleh media massa Barat, kini ia dilakukan oleh platform digital global. Google, Meta, dan Amazon menjadi pemain utama dalam apa yang disebut Andre Staltz (2017) sebagai trinet—tiga kekuatan yang mengendalikan arah lalu lintas digital dunia.

Ekonom Yanis Varoufakis menyebut para pemilik teknologi digital ini sebagai cloudalist. Dalam bukunya Technofeudalism (2024), ia menyatakan bahwa kapitalisme telah berevolusi menjadi sistem baru: teknofeodalisme. Di sistem ini, data menjadi sumber daya utama, dan kontrol atas platform menjadi bentuk kekuasaan baru.

Di Indonesia, dampaknya terasa nyata. Menurut data Kompas (2021), lebih dari 75 persen belanja iklan nasional dikuasai oleh Google dan Facebook. Media-media lokal dan nasional kesulitan bertahan. Banyak yang beralih ke daring demi efisiensi, melakukan PHK massal, bahkan terpaksa menjadi bagian dari ekosistem buzzer untuk bertahan hidup.

Dewan Pers mencatat bahwa sepanjang 2023 hingga 2024, sekitar 1.200 karyawan media, termasuk jurnalis, terkena PHK. Di 2025, KompasTV memangkas 150 karyawan, CNN Indonesia TV 200 karyawan, TVOne 75 karyawan, dan Emtek 100 karyawan.

Riset Center for Innovation Policy and Governance (CIPG) pada 2017 menyebutkan bahwa buzzer pertama kali muncul di Indonesia pada 2009 dan terus berevolusi dengan orkestrasi buzzer dimana media dan buzzer bekerjasama. Terungkapnya kasus Direktur Pemberitaan JakTV yang bergerak bersama 150 buzzer menjadi contoh terkini cara kerja buzzer sekarang ini.

Sementara itu, platform seperti YouTube dan Facebook menjadi sumber utama informasi masyarakat. Indonesia kini tercatat sebagai negara dengan pengguna YouTube terbesar di dunia (GlobalStats 2025). Namun bersamaan dengan itu, ruang informasi kita dibanjiri disinformasi, ujaran kebencian, dan algoritma yang tidak berpihak pada kepentingan publik.

Ketidakseimbangan konsumsi informasi ini menggerus tersedianya informasi yang berkualitas bagi publik dan kontrol atas jalannya pemerintahan yang biasanya dijaga oleh pilar keempat demokrasi. Melemahnya kekuatan media berimbas panjang pada jalannya demokrasi yang makin terseok.

Apa Jalan Keluarnya?

Semangat Deklarasi Bandung bisa menjadi inspirasi untuk mengubah dekolonisasi informasi menjadi dekolonisasi digital. Dekolonisasi digital harus dimulai dari pengakuan bahwa ruang digital bukan netral. Dalam kenyataannya, ruang digital dipenuhi relasi kuasa. Untuk melawan ketimpangan ini, dibutuhkan strategi yang konkret dan terkoordinasi.

Pertama, negara-negara Global South perlu membentuk Digital New Emerging Forces (DINEFO) —aliansi digital baru yang bisa menegosiasikan hak dan regulasi dalam tata kelola teknologi global. Negara-negara seperti India, Tiongkok, Korea Selatan, dan Indonesia punya posisi tawar yang kuat jika bersatu.

Kedua, ekosistem media lokal perlu diperkuat. Pemerintah bisa mempertimbangkan pembentukan dana abadi untuk media (media endowment fund) yang dijalankan secara independen.

Tujuannya: memastikan keberlangsungan jurnalisme berkualitas di tengah tekanan platform digital. Komite Publisher Rights yang dibentuk lewat Perpres 2024 harus diperkuat  agar mampu memberi sanksi bila platform digital tidak mau bekerjasama dengan media lokal.

Ketiga, kita perlu mendorong diplomasi siber. Perlindungan data pribadi harus menjadi bagian dari kebijakan luar negeri. Dalam era AI, negara-negara seperti Indonesia harus menegosiasikan keterlibatan bahasa lokal serta menuntut transfer teknologi dan pengetahuan dalam pertukaran sumber daya strategis.

Terakhir, masyarakat sipil perlu didorong untuk menggunakan dan mengembangkan platform alternatif yang lebih etis dan desentralistik. Web3, aplikasi-aplikasi tanpa pelacakan, serta inisiatif digital berbasis komunitas bisa menjadi cara merebut kembali ruang digital.

Menyalakan Kembali Api Bandung

Tujuh puluh tahun lalu, Bandung menjadi tempat bersatunya negara-negara Selatan melawan kolonialisme. Hari ini, tantangan itu belum selesai. Hanya bentuknya yang berubah.

Dominasi digital adalah bentuk baru kolonialisme. Dan seperti dulu, ia tak akan hilang jika kita diam. Dekolonisasi digital harus menjadi agenda bersama—bukan hanya wacana di ruang akademik, tapi juga perjuangan di meja perundingan, di ruang redaksi, dan di balik layar kode.

Semangat Bandung belum padam. Tinggal apakah kita cukup berani untuk menyalakannya kembali.

Penulis: Damar Juniarto/ Direktur KONDISI, Pendiri PIKAT Demokrasi, Dosen Politik Digital UPNVJ, Konsultan Badan Penasihat AI PBB, dan Anggota KTP2JB.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |