Kesadaran ESG di Indonesia Meningkat, OJK Harap Penerbitan Obligasi Hijau Melonjak

1 day ago 31

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memaparkan ada 22 penawaran umum atas efek bersifat utang dan sukuk (EBUS) berkelanjutan dari 2022-8 Mei 2025. Nilainya sekitar Rp 36 triliun.

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan, Derivatif, dan Bursa Karbon OJK (KE PMDK) Inarno Djajadi menuturkan, nilai penawaran obligasi berkelanjutan atau obligasi hijau tersebut memang masih kecil jika dibandingkan dengan nilai emisi penerbitan efek bersifat utang dan atau sukuk non keberlanjutan.

"Namun demikian, dengan meningkatnya kesadaran akan isu-isu enviromental, sosial and governance (ESG) di Indonesia, diharapkan jumlah penerbit dan nilai penerbitan obligasi berkelanjutan di Indonesia akan terus meningkat,” ujar Inarno dalam jawaban tertulis, dikutip Senin, (2/6/2025).

Pada 2023, OJK telah menerbitkan POJK Nomor 18 Tahun 2023. POJK ini menggantikan dan memperluas cakupan dari POJK sebelumnya mengenai green bond dengan memasukkan obligasi sosial (social bond) dan obligasi berkelanjutan atau sustainability bond ke dalam kerangka hukum yang jelas, dan mempermudah akses perusahaan untuk menerbitkan EBUS keberlanjutan. "Hal ini semakin memperkuat peran pasar modal sebagai instrument pembangunan berkelanjutan,” ujar dia.

OJK Targetkan Penghimpunan Dana Pasar Modal Capai Rp 220 Triliun

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) targetkan penghimpunan dana di pasar modal capai Rp220 triliun pada 2025. Target ini meningkat 10 persen dibandingkan dengan target pada 2024.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar menuturkan sepanjang 2024, Penghimpunan dana di pasar modal berhasil melampaui target di atas Rp200 triliun mencapai Rp259,24 triliun dari 199 penawaran umum yang secara nominal didominasi oleh penawaran umum sektor keuangan sebesar 36 persen.

“Di sisi permintaan, jumlah investor pasar modal tumbuh enam kali lipat dalam lima tahun terakhir menjadi 14,87 juta investor per akhir Desember 2024,” kata Mahendra dalam sambutannya pada acara Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJK) 2025, Selasa (11/2/2025).

Pada kesempatan yang sama, OJK juga memberikan outlook pertumbuhan sektor jasa keuangan lainnya pada 2025 yaitu kredit perbankan diproyeksikan tumbuh 9-11 persen, didukung pertumbuhan dana pihak ketiga 6-8 persen.

Kemudian piutang perusahaan pembiayaan diproyeksikan tumbuh 8-10 persen. Aset asuransi diperkirakan tumbuh 6-8 persen, aset dana pensiun diperkirakan tumbuh 9-11 persen, dan aset penjaminan diperkirakan tumbuh 6-8 persen.

“Kami akan senantiasa melakukan review outlook ini secara berkala untuk diselaraskan dengan perkembangan outlook pertumbuhan ekonomi nasional,” jelas Mahendra.

Ketua OJK Soroti Dampak Kesepakatan Dagang Global ke Pasar Keuangan RI

Sebelumnya, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, mengungkapkan bahwa dinamika perdagangan internasional belakangan ini memberikan dampak signifikan terhadap pasar keuangan global.

Pernyataan tersebut merespons perkembangan terbaru dari kesepakatan dagang antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Inggris.

Mahendra mengatakan, kesepakatan dagang permanen antara Amerika Serikat dan Inggris yang tercapai pada 8 Mei 2025 menjadi sorotan utama. Ini merupakan kesepakatan permanen pertama yang disepakati AS setelah sebelumnya memberlakukan penundaan tarif resiprokal.

Tak hanya itu, kesepakatan dagang sementara antara AS dan Tiongkok pada 12 Mei 2025 yang berlaku selama 90 hari juga dinilai berkontribusi dalam meredakan ketegangan perdagangan global.

"Pelaku pasar menyambut baik kesepakatan tersebut sehingga mendorong penguatan pasar keuangan global diikuti juga penurunan volaitilitas pasar keuangan dan capital inflow ke pasar negara-negara berkembang," kata Mahendra dalam RDKB Mei 2025, di Jakarta, Senin (2/6/2025).

Indonesia Terdampak?

Meskipun ketegangan geopolitik masih meningkat di beberapa wilayah, Mahendra menyatakan bahwa dampaknya sejauh ini masih terbatas dan cenderung terlokalisasi.

Sementara itu, data pertumbuhan ekonomi global pada kuartal pertama 2025 menunjukkan adanya pelemahan, yang disertai tren penurunan inflasi.

Kondisi ini mencerminkan menurunnya permintaan global dan mendorong bank-bank sentral dunia untuk menerapkan kebijakan moneter yang lebih akomodatif. Beberapa di antaranya bahkan menurunkan suku bunga, menyuntikkan likuiditas, serta menyesuaikan rasio cadangan wajib (reserve requirement).

Kebijakan Fiskal Global

Dari sisi fiskal, Mahendra mencatat kebijakan fiskal global cenderung ekspansif, meskipun terbatas oleh ruang fiskal yang semakin sempit.

Di tengah situasi tersebut, bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), masih mempertahankan pendekatan hati-hati melalui kebijakan suku bunga tinggi dalam waktu yang lebih lama (high for longer).

"Di tengah perkembangan itu The Fed bank sentral di Amerika Serikat menyiratkan kebijakan The Fed Fund Rate High for longer, yang menunggu kepastian dari kebijakan tarif dan dampaknya terhadap beberapa indikator perekonomian," ujarnya.

Mahendra juga menyoroti potensi dampak dari rencana undang-undang besar yang dijuluki “One Big Beautiful Bill” oleh Presiden AS Donald Trump. RUU ini diprediksi akan meningkatkan defisit fiskal AS, yang pada akhirnya mendorong lembaga pemeringkat Woodys untuk menurunkan peringkat utang negara tersebut.

"Hal ini mendorong pasar menurunkan estimasi penuruna Fed Fund Rate menjadi 2 kali di tahun 2025 dari sebelumnya 3-4 kali penurunan, dan penurunan pertama diperkriakan mundur ke bulan September 2025," ujarnya.

"Beberapa hal tersebut mendorong pelemahan pasar obligasi dan nilai tukar dollar Amerika Serikat," tambahnya.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |