Liputan6.com, Bandung - Gubernur Jawa Barat (Jabar), Dedi Mulyadi, mengusulkan agar kawasan Kampung Adat Cireundeu di Kota Cimahi berstatus Cagar Budaya. Usul itu diklaim sebagai upaya perlindungan nilai, bentang alam, dan tatanan tradisi.
Dedi Mulyadi berucap, akan menyampaikan usulnya itu langsung kepada Wali Kota Cimahi.
“Nanti saya ngomong ke Pak Wali Kota, kita tetapkan saja sebagai Cagar Budaya, cagar masyarakat tradisi. Agar tidak terintervensi perkembangan yang lain,” katanya dikutip dari siaran media pribadinya, diunggah Minggu, 22 Juni 2025.
Masyarakat adat di Kampung Cireundeu lama dikenal dengan beras singkong. Secara mandiri, mereka memproduksi dan mengonsumsi beras singkong yang temurun ditanam di tanah adat.
Dedi Mulyadi menegaskan, program ketahanan pangan yang hari ini digencarkan pemerintah sejatinya telah lama berlangsung dalam kehidupan masyarakat adat, termasuk di Kampung Adat Cireundeu.
“Jadi ketahanan pangan yang digalakkan oleh pemerintah pusat hari ini sesungguhnya sudah hidup di dalam masyarakat kaum tradisi,” kata Dedi.
“Yang penting arealnya tidak diganggu, dia (warga) punya domba, punya ayam, punya singkong. Sudah tidak usah lagi pakai dana PKH, bantuan pangan non-tunai. Edun didieu mah, mandiri (Mantap disini mah, mandiri)” imbuh Dedi.
Selain itu, Dedi mengusulkan agar Kampung Adat Cireundeu juga membuat aturan adat yang melarang masuknya plastik, sekaligus melindungi pangan lokal.
“Kumaha pami gaduh larangan teu kengeng lebet plastik kadieu? Pengunjungna dipasihan wartos, supados tong nyandak barang tuangeun berplastik ti luar kadieu. Nu paling utami mah kedah didamel aturan adat teu kengeng lebet tuangeun ti luar kadieu, kanggo memproteksi.
(Bagaimana kalau ada larangan plastik tidak boleh masuk ke sini? Pengunjung diberi tahu, agar tidak membawa makanan kemasan plastik dari luar. Yang utama harus dibuat aturan adat tidak makanan dari luar tidak boleh masuk ke kampung, demi memproteksi)”.
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Dalam siaran pers Pemkot Cimahi, Desember 2024, kampung adat yang terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi itu telah resmi menjadi bagian dari Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA).
Penulis buku "Sejarah Cireundeu" dari Program Studi Ilmu Sejarah, Unpad, Miftahul Falah, mengatakan, potensi kearifan lokal yang dimiliki Kampung Adat Cireundeu begitu besar dan harus mendapat perhatian dari pemerintah daerah dalam upaya pelestariannya.
Secara legal, katanya, pemerintah harus membuat regulasi yang lebih mengakui dan melindungi Kampung Adat Cireundeu.
"Secara legal itu belum sepenuhnya diakui. Bahkan ada beberapa yang mencoba untuk seakan meniadakan baik dari aspek sosial budaya, bukan hanya karena semata-mata berbeda kepercayaan. Padahal, perbedaan kepercayaan bukan sesuatu yang harus diperdebatkan," ungkap Miftahul dikutip secara tertulis.
Menurutnya, masyarakat Kota Cimahi tidak perlu jauh-jauh mencari ke daerah lain bila ingin mempelajari sejarah leluhur Sunda. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu adalah miniatur budaya Sunda zaman dulu, terlepas dari berbagai proses dinamika yang menyertai Cireundeu sejak awal.
“Kampung Adat Cireundeu ini berbeda dengan kampung adat lainnya, bukan sekumpulan masyarakat yang awalnya memiliki suatu keyakinan kemudian dibentuk, artinya baru. Cireundeu itu sudah jadi kesatuan adat sejak pertamanya. Cimahi sejak awal telah memiliki suatu identitas, dan ini terkait dengan Kota Cimahi. Ini luar biasa jangan sampai hilang," pungkasnya.
Masyarakat Adat, Masyarakat Sejahtera
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyebut, masyarakat adat adalah manusia kiwari yang paling sejahtera di tanah Jawa Barat. Masyarakat luas dinilai mesti belajar ulang menata peradaban pada mereka yang sepanjang hayat telah menjaga ulayat, di kabuyutan-kabuyutan, di padukuhan-padukuhan, tatar Sunda.
Tak hanya makmur dengan kemandirian pangan, selama ini masyarakat adat konsisten sebagai pelestari alam yang sungguhan, dan penata lingkungan sosial-masyarakat yang lebih adil, rukun dan damai.
“Hari ini, dari literatur yang saya baca menunjukan bahwa di kampung-kampung adat itulah kemakmuran terjadi. Jadi, kalau bicara riset, siapakah manusia yang paling sejahtera di Jawa Barat? Manusia yang tinggal di kampung adat,” kata Dedi Mulyadi di Subang, diikuti lewat unggahan siaran Lembur Pakuan, Rabu, 4 Juni 2025.
“Kehidupannya tenang tentram, bukankah ini yang dikejar oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat?” tanya dia.
Pada kesempatannya, gubernur yang dilandih Bapak Aing itu, menawarkan perspektif soal riwayat Siliwangi. Menurutnya, Prabu Siliwangi bukan ngahiang berubah jadi maung.
Tapi, suatu masa, “melakukan perubahan diri, dari seorang raja kemudian turun tahta, menjadi seorang biasa, bertani membangun kampung-kampung adat yang disebut dengan padukuhan dan kabuyutan”.
Maka, sambung Dedi, lahirlah citra-rasa kabuyutan-kabuyutan seperti kampung adat Sirnaresmi, Ciptagelar, Kanekes, Kampung Naga, Cigugur. “Itu sebetulnya pengembaraan, dia menyampaikan bahwa dia ada pada seluruh relung masyarakat Sunda”.
Dedi Mulyadi memuji kearifan masyarakat adat antara lain mengenai model pengelolaan tanah yang kolektif, dengan sistem kepemilikan yang tidak didasarkan pada penguasaan individual tapi nilai spiritual.
“Tidak ada kepemilikan hak personal, jadi manusia tidak boleh mengklaim itu sawah saya, tapi dia hanya menggarap saja. Ini (tanah) yang punya Hyang Tunggal,” katanya.
Spirit lain yang patut dicontoh adalah sikap mawas diri masyarakat adat sebagai manusia yang terhubung dengan semesta alam. Sikap mereka yang rendah hati dan terbiasa berbagi kepada semua makhluk, jauh dari sikap kemaruk.
“Orang wiwitan itu kalau berdoa nanam padi bukan minta hasilnya melimpah, tapi ‘Hyang Tunggal, kula melak pare, pek bising beurit hayang, pek bising manuk hayang, pek bising careuh hayang, sesakeun weh kengen kula dahar sa-anak incu'. (Hyang Tunggal, aku menanam padi, silakan jika tikus pun mau, silakan jika burung pun mau, silakan jika musang pun mau, maka sisakan saja untuk makan anak cucu kami).”