Liputan6.com, Jakarta - Obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) jangka panjang alami tekanan jual secara global. Hal itu seiring meningkatnya kekhawatiran terhadap ekonomi AS dan upaya melawan inflasi serta tarif dagang.
Mengutip laman Anadolu Ajansi, ditulis Minggu (7/9/2025), pengadilan banding federal di Washington, AS memutuskan pekan lalu Presiden AS Donald Trump melampaui wewenang kepresidenannya dengan menerapkan tarif timbal balik.
Jika Mahkamah Agung (MA) memutuskan tarif itu ilegal masih belum jelas bagaimana ekonomi AS akan mengkompensasi pendapatan yang dihasilkan dari tarif itu. Sementara itu, the Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral AS akan memangkas suku bunga pada 17 September 2025.
Di sisi lain, imbal hasil obligasi di sejumlah negara alami kenaikan. Obligasi bertenor 10 tahun AS naik menjadi 4,3%, obligasi 10 tahun Jepang naik menjadi 1,63%, dan di zona euro, obligasi 10 tahun Prancis mencapai 3,58% dan obligasi 10 tahun Inggris 4,69%, dua negara di mana ketidakpastian masih berlanjut.
Dalam situasi ini, bank sentral dan investor institusional beralih ke emas, yang mencapai titik tertinggi sepanjang masa di USD 3.578,54 per ons pada Rabu.
Menurut para analis, obligasi dan emas merupakan aset safe haven utama pada masa seperti ini.
Defisit Anggaran
Kepala ekonom di perusahaan jasa keuangan Tacirler yang berbasis di Turki, Ekin Cinar mengatakan kepada Anadolu, utang dan defisit anggaran negara-negara berdampak pada imbal hasil obligasi jangka panjang, terutama di Inggris. Di mana defisit anggaran memberikan tekanan pada obligasi negara tersebut dan pound sterling.
"Meskipun situasi ini juga terjadi di Jepang, kasus AS berbeda; saya memperkirakan meningkatnya tekanan pada The Fed untuk memangkas suku bunganya akan mengintensifkan kurva imbal hasil yang semakin curam di periode mendatang," ujar dia.
Cinar yakin imbal hasil obligasi akan turun dalam jangka pendek. Namun, serangkaian pemangkasan suku bunga yang dikeluarkan "tanpa memperhatikan fundamental ekonomi" dapat mengakibatkan lingkungan suku bunga yang lebih tinggi yang mungkin akan bertahan untuk jangka waktu yang lebih lama.
Imbal Hasil Obligasi AS Meningkat
Ia mencatat, imbal hasil obligasi jangka panjang terus meningkat, terutama di AS.
"RUU belanja besar telah disahkan di AS, dan Trump telah mendorong pemotongan suku bunga mereka mungkin akan memotong suku bunga secara berurutan di periode mendatang,”
"Hal ini tidak sejalan dengan justifikasi ekonomi -- lapangan kerja masih lemah, dan inflasi masih tinggi, yang berarti pemotongan suku bunga yang cepat akan meningkatkan persepsi bahwa The Fed mungkin perlu mengetatkan kebijakan lebih ketat di beberapa titik, yang akan menyebabkan kenaikan imbal hasil obligasi jangka panjang," ia menambahkan.
Sentimen The Fed
Cinar mengatakan The Fed diperkirakan memotong suku bunga dua kali hingga akhir tahun.
"Perkiraan pasar menunjukkan pemotongan suku bunga pada bulan September dengan probabilitas 90%, tetapi tahun depan sedikit lebih penting," ujarnya.
"Masa jabatan (Ketua The Fed Jerome) Powell akan berakhir, dan kita melihat semakin banyak anggota The Fed yang digantikan dengan lebih banyak 'nama-nama dovish', jadi, saat ini, kami memperkirakan dua kemungkinan pemotongan suku bunga untuk tahun ini, tetapi kami memperkirakan volatilitas akan terus berlanjut dalam estimasi pasar," ia menambahkan.
Seorang spesialis riset di perusahaan jasa keuangan Turki, Gedik Investment, Burak Pirlanta mengatakan, kenaikan obligasi AS terutama disebabkan oleh masalah fiskal negara tersebut, karena defisit anggaran mencapai rekor tertinggi dan pemotongan pajak serta rencana belanja baru menambah beban utang, sehingga melemahkan kepercayaan investor.
Kondisi Jepang dan Inggris Menambah Tekanan
Pirlanta mengatakan, obligasi jangka panjang AS mencapai titik tertingginya dalam beberapa tahun terakhir, sementara perkembangan seperti usulan Trump untuk tarif yang lebih tinggi bagi Chin memicu inflasi dengan mengganggu rantai perdagangan global dan mengurangi permintaan obligasi.
Ia mencatat perkembangan di Jepang dan Inggris memperdalam krisis.
"Inflasi di Jepang melampaui AS, dan defisit anggaran negara tersebut tetap sangat tinggi -- hal ini memperkuat ekspektasi bahwa Bank of Japan (BoJ) akan menaikkan suku bunganya," ujar dia kepada Anandolu.
"Lelang obligasi terakhir menunjukkan permintaan yang lemah, yang menyebabkan biaya pinjaman yang lebih tinggi."
"Pengeluaran Inggris jauh melebihi pendapatannya, dan imbal hasil obligasi mencapai titik tertinggi sejak 1998.Bank of England (BoE) terpaksa memangkas suku bunga di tengah inflasi dan meningkatnya kebangkrutan, yang merusak kepercayaan," ia menambahkan.
Imbal Hasil Obligasi Jangka Panjang Bakal Tetap Tinggi
Pirlanta yakin, meskipun The Fed mulai memangkas suku bunga, imbal hasil obligasi jangka panjang mungkin tidak turun karena pemangkasan suku bunga berisiko menyebabkan dolar AS melemah atau biaya pinjaman naik.
“Menyempitnya selisih suku bunga global dapat mendorong peralihan investor dari obligasi AS ke obligasi Jepang,” ujarnya.
"Dan meskipun kenaikan ini dapat berdampak luas pada pasar, saham mungkin mengalami pergerakan serupa dengan fluktuasi Agustus 2024,"
Ia menekankan, aset seperti emas dan perak sedang naik pesat. Emas naik lebih dari 35% tahun ini, menunjukkan kepercayaan investor telah bergeser ke aset yang lebih nyata seperti logam mulia.
"Seiring menurunnya porsi dolar AS dalam cadangan global, cadangan emas mencapai titik tertinggi dalam 30 tahun,” ujarnya.
"Kenaikan imbal hasil obligasi disebabkan oleh masalah keuangan, tekanan inflasi, dan kebijakan bank sentral, krisis di Jepang dan Inggris harus dianggap sebagai tanda peringatan bagi pasar global, karena investor mungkin menghindari obligasi jangka panjang dan mencari aset yang lebih aman seperti emas,” tambahnya.