Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih betah di zona merah pada perdagangan saham Selasa (9/9/2025). Koreksi IHSG terjadi di tengah mayoritas sektor saham memerah dan nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Mengutip data RTI, IHSG hari ini ditutup anjlok 1,78% ke posisi 7.628,60. Indeks LQ45 terpangkas 1,74% ke posisi 769,92. Sebagian besar indeks saham acuan memerah.
Pada perdagangan Selasa pekan ini, IHSG berada di level tertinggi 7.791,33 dan level terendah 7.619,71. Sebanyak 465 saham memerah sehingga menekan IHSG. 222 saham menguat dan 118 saham diam di tempat.
Total frekuensi perdagangan 2.368.949 kali dengan volume perdagangan 39,7 miliar saham. Nilai transaksi harian Rp 24,9 triliun. Posisi dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 16.465.
Dari 11 sektor saham, empat sektor saham menghijau. Sektor saham transportasi naik 0,72% dan catat kenaikan terbesar. Lalu sektor saham consumer siklikal menguat 0,68%, sektor saham industri dan kesehatan masing-masing naik 0,11%.
Selain itu, sektor saham teknologi melemah 1,86% dan catat koreksi terbesar. Sektor saham keuangan terpangkas 1,73%, sektor saham infrastruktur merosot 1,36%. Lalu sektor saham basic susut 0,24%, sektor saham consumer nonsiklikal tergelincir 0,29%, sektor saham properti melemah 0,94%.
Gerak Saham
Pada Selasa pekan ini, saham CUAN melemah 3,05% ke posisi Rp 1.430 per saham. Saham CUAN dibuka stagnan di posisi Rp 1.475 per saham. Harga saham CUAN berada di level tertinggi Rp 1.490 dan terendah Rp 1.405 per saham. Saham CUAN ditransaksikan 21.709 kali dengan volume perdagangan 857.149 saham. Nilai transaksi Rp 123 miliar.
Harga saham AALI berbalik arah menghijau. Saham AALI bertambah 1,71% ke posisi Rp 7.425 per saham. Harga saham AALI dibuka turun 25 poin ke posisi Rp 7.275 per saham. Saham AALI berada di level tertinggi Rp 7.425 dan terendah Rp 7.175 per saham. Total frekuensi perdagangan 1.879 kali dengan volume perdagangan 23.6111 saham. Nilai transaksi Rp 17,3 miliar.
Saham IPCC terpangkas 2,2% ke posisi Rp 1.110 per saham. Harga saham IPCC dibuka stagnan di posisi Rp 1.135 per saham. Saham IPCC berada di level tertinggi Rp 1.150 dan terendah Rp 1.110 per saham. Total frekuensi perdagangan 1.046 kali dengan volume perdagangan 38.055 saham. Nilai transaksi Rp 4,3 miliar.
Top Gainers-Losers
Saham-saham LQ45 yang catat top gainers antara lain:
- Saham BBTN naik 5,63%
- Saham JPFA naik 5,62%
- Saham UNTR naik 2,84%
- Saham MDKA naik 2,27%
- Saham ASII naik 1,84%
Saham-saham LQ45 yang masuk top losers antara lain:
- Saham AMMN merosot 4,63%
- Saham BMRI merosot 4,01%
- Saham ISAT merosot 3,90%
- Saham BRIS merosot 3,88%
- Saham INKP merosot 3,49%
Saham-saham LQ45 teraktif berdasarkan nilai antara lain:
- Saham BBCA senilai Rp 4,5 triliun
- Saham BMRI senilai Rp 2,2 triliun
- Saham ANTM senilai Rp 1,9 triliun
- Saham BBRI senilai Rp 1,2 triliun
- Saham MDKA senilai Rp 618,1 miliar
Saham-saham LQ45 teraktif berdasarkan frekuensi antara lain:
- Saham BBCA tercatat 165.219 kali
- Saham BMRI tercatat 104.753 kali
- Saham ANTM tercatat 90.734 kali
- Saham BBRI tercatat 72.009 kali
- Saham MDKA tercatat 36.088 kali
Sentimen IHSG
Dalam riset Kiwoom Sekuritas Indonesia menyebutkan, IHSG melemah di tengah pasar berhati-hati untuk melihat kedisiplinan fiskal ke depan. Hal ini setelah Presiden Prabowo Subianto menggantikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan menunjuk Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan.
Sementara itu, credit default swap (CDS) atau kontrak proteksi risiko kredit 5 tahun Indonesia naik sekitar 71-73 basis poin (bps) dari kisaran 66-70 bps pekan lalu. Beberapa pelaporan mencatat 71,6 bps pada 8 September dan intraday 72,5 bps pada Selasa pagi ini. Yield Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun bergerak ke sekitar 6,45%-6,47%.
"Kenaikan CDS dan yield berarti premi risiko kita melebar relatif terhaadap sejumlah emerging market (EM) Asia, sehingga cost of capital naik dan sebagian investor global dapat menahan alokasi,” demikian seperti dikutip.
Dalam riset itu juga menyebutkan ada dua penyangga yakni kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) sudah tidak setinggi dulu sehingga potensi outflow teknikal lebih terbatas. Selain itu, Bank Indonesia (BI) punya amunisi intervensi yang memadai dan telah menunjukkan kesediaan menstabilkan pasar.
Menanti Kebijakan Ekonomi ke Depan
"Jika Menkeu baru cepat memberi rambu disiplin fiskal yang kredibel jalur defisit, komitmen batas defisit, dan prioritas belanja, spread bisa mengerut kembali dan diferensiasi terhadap EM peers membaik. Sampai itu terjadi, Indonesia berpotensi “trade at a discount” terhadap EM Asia yang persepsi fiskalnya lebih ajeg,” demikian seperti dikutip.
Selain itu, dalam riset Kiwoom Sekuritas juga menyebutkan jika nett sell berlanjut tekanan dapat paling terasa di perbankan besar dan konstruksi yang sensitif pada biaya modal dan sentimen makro.
“Sedangkan sektor defensif seperti telekomunikasi, dan berpendapatan dolar AS cenderung relatif lebih tahan. Sisi positifnya beberapa manajer global tetap melihat durasi panjang SBN Indonesia menarik sehingga stabilisasi di pasar obligasi dapat meredam volatilitas ekuitas,” demikian seperti dikutip.