Dedi Mulyadi: Orang Sunda 'Pamali' Bisnis Tambang, Lebih Baik Bertani

2 days ago 11

Liputan6.com, Bandung - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyampaikan, orang Sunda pamali berbisnis tambang. Lebih baik bertani, katanya. Ia mempertanyakan, apakah eksploitasi alam lewat pertambangan benar-benar membuat rakyat makmur?

Pernyataan itu disampaikannya pada pidato berbahasa Sunda dalam rangka Hari Jadi Bogor ke-534, saat Rapat Paripurna DPRD Kota Bogor, Selasa, 3 Juni 2025.

Pamali biasa dipahami sebagai larangan dalam tata nilai atau kearifan budaya Sunda. Antara lain, kerap dikaitkan dengan suatu perbuatan yang bisa mengundang marabencana.

Cik pang damelkeun riset, tunjukeun ka kuring, daerah mana anu terus-terusan ditambang rakyatna subur makmur? Cik tunjukeun ka kuring, di daerah mana nu taneuhna ditambang terus-terusan, taneuhna ditugaran, rakyatna gemah ripah repeh rapih tentrem ayem?

(Coba buatkan riset, tunjukan pada saya, daerah mana yang terus-terus ditambang rakyatnya makmur? Coba tunjukkan pada saya, di daerah mana yang tanahnya terus ditambang, rakyatnya tentram?)” kata Dedi Mulyadi dikutip Liputan6.com lewat siaran daring.

Di Sunda kunoan batuan mineral disumputkeun dinu halimun? Sabab urang Sunda pahing nambang, teu meunang. Pamali. (Di Sunda, kenapa batuan mineral disembunyikan kabut? Sebab urang Sunda tak boleh nambang. Pamali),” klaimnya.

Bagi orang Sunda, katanya, tanah adalah Sunan Ambu atau Ibu Pertiwi dalam konteks kebangsaan Indonesia. Karenanya, tanah harus dimuliakan sebagaimana manusia memuliakan ibunya. Dedi pun menyetarakan eksploitasi alam secara kemaruk dengan pemerkosaan.

“Tapi kenapa Sunan Ambu, Ibu Pertiwi, diperkosa wae?” katanya.

Peradaban Gunung dan Laku Tani

Tanah Sunda adalah tanah yang subur. Dedi Mulyadi percaya, kemakmuran di Jawa Barat bisa dicapai lewat pertanian, bukan pertambangan.

Ia mengingatkan, gunung sudah sejak dahulu kala menjadi penopang peradaban Sunda. Bogor beserta Gunung Salaka atau Gunung Salak merupakan bagian dari sejarah kejayaan masyarakat Sunda, rakyat Pakuan Pajajaran yang agraris, pada masanya.

Dengan tanah yang subur, orang Sunda tidak perlu mengeruk tanah dalam-dalam, hanya butuh menggali secukupnya guna menanam aneka benih. Karenanya, kata Dedi, orang Sunda jangan membolongi gunung, membuat galian-galian, mengeksploitasi ragam mineral bumi.

Kulantaran lapisan taneuhna geus subur, teu kudu digalian taneuhna ujang, dipelakan taleus oge jadi taleus Bogor, dipelakan kadu oge jadi kadu Bogor, dipelakan rambutan oge jadi rambutan Bogor, dipelakkan manggu oge jadi manggu Bogor.

(Sebab lapisan tanahnya sudah subur, tidak perlu digali tanahnya ujang, ditanam talas juga jadi talas Bogor, ditanam pohon durian jadi durian Bogor, ditanam pohon rambutan jadi rambutan Bogor, ditanam manggis jadi manggis Bogor)” katanya.

Laku agraris yang jauh dari pertambangan, sambung Dedi, bukanlah suatu ciri kemunduran. Sebaliknya, pertanian Sunda mesti hudang alias bangkit guna menjelang kemajuan dan kemakmuran seperti Selandia Baru, kiwari.

“Aya nagara nu subur makmur ngaranna Selandia Baru, New Zeland, wargana dilarang nambang, padahal kekayaan mineralna luar biasa, lamun ditanya ‘nanti akan kami gali ketika pada suatu saat seluruh cadangan alam di dunia sudah habis. Kalau kami terpaksa kami akan menggalinya, tapi kami sudah makmur dengan domba, dengan apel, dengan hasil pertanian. Kami memuliakan alam’”.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |