Liputan6.com, Jakarta - Di antara hamparan warisan budaya Nusantara yang begitu kaya dan beragam, Baju Koja muncul sebagai salah satu identitas kultural yang tak hanya menonjolkan keindahan estetika busana tradisional, tetapi juga mengandung nilai-nilai simbolik mendalam yang mencerminkan karakter, kedudukan sosial, serta spiritualitas masyarakat yang mengenakannya.
Baju Koja adalah pakaian adat Ternate yang biasa dikenakan oleh kaum laki-laki, terdiri dari jubah panjang yang menjuntai hingga mata kaki, celana panjang yang serasi, serta tambahan khas berupa Toa Pulu penutup kepala yang tak sekadar pelengkap, namun juga simbol kehormatan dan kesalehan.
Pakaian ini banyak ditemukan di wilayah timur Indonesia, khususnya pada komunitas keturunan Arab di Sulawesi Selatan dan masyarakat yang memiliki hubungan erat dengan tradisi Islam dan budaya Timur Tengah. Meski demikian, penggunaan baju Koja Ternate telah mengalami akulturasi lokal, sehingga tampil sebagai busana adat yang khas dan penuh makna.
Baju Koja bukan hanya busana yang digunakan untuk menutupi tubuh, melainkan perwujudan dari martabat dan status sosial seorang laki-laki dalam masyarakat. Jubah panjang yang digunakan biasanya berwarna putih atau hitam, dua warna yang dalam tradisi banyak budaya mencerminkan kesucian, kebijaksanaan, dan keagungan.
Potongan jubah yang longgar tidak hanya memberikan kenyamanan dalam bergerak, namun juga menyimbolkan kerendahan hati dan ketenangan jiwa, dua sifat yang dijunjung tinggi dalam kehidupan sosial tradisional.
Sementara itu, celana panjang yang dikenakan bersamaan dengan jubah ini dirancang agar tetap memberikan keleluasaan dalam aktivitas sehari-hari, menandakan bahwa busana adat tidak sekadar simbolik, tetapi juga fungsional.
Perpaduan jubah dan celana ini menjadi cerminan dari keselarasan antara tradisi dan kebutuhan praktis manusia, yang membuat Baju Koja tetap relevan hingga hari ini, terutama dalam upacara adat, keagamaan, atau perhelatan penting seperti pernikahan dan pelantikan tokoh adat.
Satu elemen yang membuat Baju Koja tampak istimewa dan berbeda dari busana adat lainnya adalah keberadaan Toa Pulu, penutup kepala yang tidak hanya berfungsi sebagai pelindung dari panas matahari atau debu, tetapi juga sebagai simbol penghormatan terhadap leluhur dan ajaran agama.
Toa Pulu biasanya dikenakan dengan cara dililit atau dilipat secara khusus, menunjukkan status dan peran sosial dari pemakainya. Dalam beberapa tradisi, hanya tokoh masyarakat, pemuka agama, atau pria dewasa yang telah dianggap matang secara spiritual yang diperkenankan mengenakan Toa Pulu.
Bentuk Khas
Bentuknya yang khas dan cara memakainya yang unik sering kali diajarkan secara turun-temurun, menjadikannya bagian penting dari identitas budaya komunitas. Penutup kepala ini bukan hanya sekadar ornamen tambahan, tetapi penanda visual dari sikap hormat, kedewasaan, dan kebijaksanaan seorang pria yang mengenakannya.
Dalam konteks yang lebih luas, Baju Koja merepresentasikan warisan percampuran budaya yang terjadi secara alami dalam sejarah Nusantara. Pengaruh dari dunia Arab yang masuk melalui jalur perdagangan dan penyebaran agama Islam bertemu dengan kearifan lokal masyarakat Indonesia, lalu menghasilkan busana adat seperti Baju Koja yang bukan hanya indah dari segi tampilan, tetapi juga kaya secara historis dan spiritual.
Di balik potongan jubah dan lilitan Toa Pulu terdapat cerita-cerita tentang migrasi, dakwah, akulturasi, dan adaptasi budaya yang terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Oleh karena itu, mengenakan Baju Koja bukan sekadar soal mengikuti adat atau tampil dalam seremoni, melainkan bagian dari upaya menjaga kesinambungan budaya dan menghormati perjalanan panjang leluhur yang telah menenun jati diri melalui kain, benang, dan makna-makna simbolis yang melekat di setiap jahitan busana ini.
Kini, meskipun zaman telah berganti dan gaya hidup modern mendominasi kehidupan sehari-hari, Baju Koja tetap hidup dan digunakan, terutama dalam peristiwa-peristiwa penting seperti pernikahan adat, perayaan keagamaan, atau saat menyambut tamu kehormatan.
Dalam konteks kekinian, Baju Koja bahkan mengalami berbagai inovasi baik dari segi bahan, warna, maupun potongan namun tetap mempertahankan ciri khas dasarnya. Generasi muda mulai kembali melirik busana adat ini sebagai bagian dari ekspresi identitas dan kebanggaan budaya.
Baju Koja bukan hanya peninggalan sejarah yang diam di museum atau tersimpan dalam lemari, melainkan terus dipakai, dihidupkan, dan dirayakan sebagai bagian dari keberlanjutan budaya.
Dengan demikian, Baju Koja tidak hanya menjadi pakaian adat laki-laki semata, tetapi simbol kebesaran nilai, kehormatan lelaki, dan semangat pelestarian tradisi yang tak lekang oleh waktu.
Penulis: Belvana Fasya Saad