Liputan6.com, Jakarta - Saham produsen mobil listrik asal China, BYD, merosot hingga 8 persen pada perdagangan Senin, 1 September 2025 setelah perusahaan melaporkan penurunan laba bersih imbas perang harga di sektor otomotif.
Dalam laporan keuangan yang dirilis Jumat lalu, BYD mencatat laba bersih hanya Yuan 6,4 miliar atau sekitar USD 900 juta (Rp 14,77 triliun, asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 16.412) pada kuartal II 2025. Angka itu turun 30 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
BYD menyatakan,dalam keterangannya "persaingan harga yang meningkat" di antara merek kendaraan listrik (EV) Cina menjadi faktor utama yang membebani kinerja industri.
Perang Harga Tak Terhindarkan
Sebagai produsen EV terbesar di China, BYD kini menghadapi pasar yang semakin padat. Perusahaan asal Shenzhen ini bersaing langsung dengan Tesla, Nio, dan XPeng, yang semuanya ikut memangkas harga demi menarik pembeli.
Saham BYD sempat jatuh pada pembukaan perdagangan di bursa Hong Kong, namun sedikit pulih menjelang penutupan.
Harga Mobil di China Turun 19%
Dalam pernyataannya, BYD menyebut kompetisi di sektor otomotif China telah mencapai "titik panas". Perusahaan juga menuding adanya praktik tidak sehat seperti "pemasaran berlebihan" yang memperburuk kondisi pasar.
Banyak produsen EV di Cina menawarkan subsidi bagi dealer hingga kredit tanpa bunga bagi pembeli, menjadikan persaingan semakin sengit. Kondisi ini membuat pemerintah Beijing turun tangan, menyerukan agar produsen menghentikan diskon agresif demi menjaga stabilitas ekonomi.
Data industri mencatat, harga rata-rata mobil di China turun 19% dalam dua tahun terakhir, kini berada di kisaran Yuan 165.000 atau sekitar USD 23.100 (Rp 380 juta).
Meski penjualan ke luar negeri terus meningkat, kinerja BYD tetap mengecewakan analis yang sebelumnya memperkirakan ada kenaikan laba tipis.
Perusahaan menargetkan penjualan global 5,5 juta unit sepanjang 2025, tetapi hingga akhir Juli baru terealisasi 2,49 juta unit.
Kata Pengamat
Menurut pakar kebijakan industri dari Nanyang Technological University, Prof Laura Wu, hasil kinerja BYD yang mengejutkan ini menunjukkan bahwa bahkan pemimpin pasar EV di Cina sekalipun tidak kebal dari perang harga brutal.
“Penurunan harga saham pagi ini menandakan kekecewaan investor,” ujarnya.
Wu menambahkan, dorongan Beijing untuk mengakhiri perang harga tidaklah mudah, mengingat kebijakan masa lalu telah memunculkan terlalu banyak pemain di sektor EV.
Ia menilai, pemotongan harga memang menguntungkan konsumen, namun berisiko menimbulkan kelebihan pasokan EV di masa depan.
Meski begitu, kinerja BYD tidak perlu dipandang terlalu negatif, kata Kepala Downing Fund Managers, Judith MacKenzie.
“Mereka sudah mengalami kenaikan luar biasa, jadi wajar kalau ada sedikit guncangan di jalan,” ujarnya kepada BBC.
BYD sendiri telah tumbuh menjadi produsen EV terbesar di dunia, bahkan melampaui Tesla dalam pendapatan tahunan pada 2024, berkat popularitas besar mobil hybrid di Cina, Asia, dan pasar Eropa.
Namun, pada perdagangan Selasa, 2 September 2025, harga saham BYD bergerak di zona hijau. Harga saham BYD naik 0,29% ke posisi 110,02 yuan.
Bursa Saham Asia Pasifik
Sebelumnya, mayoritas pasar saham Asia-Pasifik dibuka menguat pada pembukaan perdagangan Selasa (3/9/2025), seiring investor mencermati pertemuan tingkat tinggi Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) di Tianjin.
Namun, sentimen pasar di bursa Asia masih dibayangi ketidakpastian terkait kebijakan tarif baru setelah keputusan pengadilan AS.
Sebelumnya, pada Jumat lalu, pengadilan banding federal Amerika Serikat (AS) menyatakan sebagian besar tarif perdagangan global era Presiden Donald Trump ilegal.
Mengutip CNBC, Selasa (2/9/2025), di Jepang, indeks Nikkei 225 naik 0,31%, sedangkan Topix menguat 0,28%.
Dari Korea Selatan, Kospi naik 0,45% dan Kosdaq yang berkapitalisasi kecil bertambah 0,14%. Data inflasi menunjukkan, indeks harga konsumen Korea Selatan naik 1,7% pada Agustus dibanding tahun sebelumnya, lebih lambat dari kenaikan 2,1% pada bulan sebelumnya sekaligus terendah sejak November.
Angka ini juga di bawah perkiraan ekonom yang memperkirakan kenaikan 2%.
Sementara itu, indeks S&P/ASX 200 Australia melemah 0,41%. Investor menanti rilis data neraca transaksi berjalan kuartal II yang diperkirakan defisit sebesar USD 10,49 miliar, lebih tinggi dibanding defisit pada kuartal sebelumnya.
Dari Hong Kong, kontrak berjangka Hang Seng berada di level 25.463, mengindikasikan pembukaan yang lebih lemah dibanding penutupan terakhir indeks HSI di 25.617,42.