Liputan6.com, Jakarta - Di tengah hamparan sabana luas yang membentang di wilayah selatan Papua, khususnya di Merauke, berdirilah sebuah struktur alami yang tampak sederhana, namun menyimpan keajaiban luar biasa yakni musamus. Bagi sebagian orang luar, musamus mungkin sekadar gundukan tanah liat berwarna kemerahan yang terlihat seperti tumpukan semut biasa.
Namun bagi masyarakat Merauke, khususnya suku Marind yang mendiami wilayah tersebut secara turun-temurun, musamus bukan hanya sarang rayap ia adalah ikon budaya, simbol ketekunan, serta representasi nilai-nilai kehidupan yang dijunjung tinggi dalam kehidupan sosial mereka.
Musamus dibangun oleh sejenis rayap tanah yang disebut Macrotermes dengan kerja sama kolektif yang luar biasa, membentuk struktur yang bisa mencapai tinggi hingga tiga meter dan bertahan bertahun-tahun lamanya.
Dalam pandangan masyarakat setempat, keberadaan musamus telah menjadi bagian dari keseharian mereka, bukan hanya secara fisik sebagai penanda lanskap, tetapi juga secara simbolis sebagai cerminan falsafah hidup yang menghargai kerja keras, kesabaran, dan gotong royong.
Keunikan musamus terletak pada cara pembuatannya yang sangat sistematis dan efisien meskipun dilakukan oleh makhluk-makhluk kecil tanpa pemimpin formal. Rayap-rayap pembuat musamus bekerja siang dan malam, memindahkan butir demi butir tanah yang dicampur air liur mereka untuk menciptakan struktur yang kokoh dan tahan terhadap panas ekstrem sabana maupun curah hujan tinggi.
Di dalam musamus terdapat sistem ventilasi alami, lorong-lorong, dan ruang-ruang khusus yang berfungsi untuk tempat tinggal, penyimpanan makanan, dan pengasuhan larva.
Struktur internal ini, yang sulit terlihat dari luar, merepresentasikan kecanggihan arsitektur biologis yang telah menginspirasi banyak penelitian ilmiah tentang ventilasi pasif dan konstruksi ramah lingkungan.
Bagi masyarakat Marind, kerja sama rayap dalam membangun musamus menjadi metafora kehidupan sosial mereka sendiri bahwa kekuatan sejati terletak pada kebersamaan, bukan individualitas.
Simak Video Pilihan Ini:
Ops Pekat Candi 2024 Pemalang, Kasus Narkoba hingga Kamar Mesum Prostitusi
Identitas Budaya
Musamus menjadi lambang bahwa keberhasilan bukan hasil kerja satu tangan, melainkan hasil perjuangan kolektif yang terus-menerus, bahkan dalam sunyi.Seiring berjalannya waktu, musamus tidak hanya menjadi simbol lokal yang hidup dalam narasi-narasi adat dan cerita rakyat, tetapi juga telah diangkat menjadi ikon resmi Kabupaten Merauke.
Replika musamus dibangun di berbagai tempat strategis sebagai penanda identitas kultural daerah, mulai dari bundaran kota hingga taman-taman publik. Tidak sedikit pula karya seni, motif batik Papua, hingga souvenir khas Merauke yang mengambil inspirasi dari bentuk musamus.
Ini menunjukkan bagaimana suatu elemen alami dapat diberdayakan menjadi simbol budaya yang mendalam dan membanggakan, bahkan dalam dunia modern yang serba cepat dan terputus dari alam.
Kehadiran musamus menjadi pengingat yang konstan akan hubungan manusia dengan lingkungannya, akan pentingnya belajar dari kebijaksanaan alam yang diam-diam menyimpan pelajaran hidup yang lebih besar daripada yang kita bayangkan. Dalam perspektif masyarakat Merauke, menjaga musamus berarti juga menjaga jati diri, warisan leluhur, dan prinsip hidup yang tak lekang oleh zaman.
Namun, musamus dan keberadaannya kini menghadapi tantangan baru yang datang dari perkembangan wilayah dan ekspansi pembangunan yang tidak selalu memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Pembukaan lahan secara besar-besaran, pembangunan infrastruktur, serta perubahan pola hidup masyarakat urbanisasi dapat mengancam keberlangsungan habitat rayap pembuat musamus.
Ironisnya, di saat musamus diangkat sebagai simbol kebanggaan daerah, di saat yang sama habitat aslinya mulai menyusut. Ancaman ini bukan hanya soal kelestarian lingkungan, tetapi juga soal bagaimana masyarakat Merauke dan generasi muda memandang nilai-nilai lokal mereka di tengah arus budaya luar yang terus berdatangan.
Apakah musamus akan tetap menjadi simbol hidup yang dinamis, atau hanya akan menjadi artefak statis yang terpajang di pinggir jalan tanpa makna yang dipahami? Untuk itu, pelestarian musamus tidak cukup hanya dalam bentuk simbolik, tetapi juga memerlukan pendekatan edukatif, ekologis, dan budaya yang saling terintegrasi.
Musamus ini, dalam segala kesederhanaannya, mengajarkan kita tentang keuletan, tentang kolaborasi, dan tentang bagaimana makhluk kecil sekalipun bisa membangun sesuatu yang monumental jika dilakukan bersama dan penuh ketekunan. Ia adalah karya alam yang menjelma menjadi narasi budaya, yang tidak hanya memikat para peneliti dan pecinta alam, tetapi juga menyentuh nurani masyarakat Merauke sendiri untuk terus menjaga dan merayakan identitas mereka.
Dalam dunia yang sering kali terpesona oleh kemegahan buatan manusia, musamus hadir sebagai pengingat bahwa kebesaran sejati bisa lahir dari sesuatu yang kecil, alami, dan penuh makna.
Maka, ketika kita melihat musamus, marilah kita melihat lebih dari sekadar sarang rayap lihatlah semangat hidup masyarakat yang membangunnya, warisan nilai yang melekat padanya, dan harapan masa depan yang terkandung dalam tanah merahnya.
Penulis: Belvana Fasya Saad