Liputan6.com, Bandung - Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy meminta pemerintah agar mempertimbangkan peningkatan tax ratio dengan kebijakan-kebijakan yang justru menyusahkan masyarakat. Hal ini disampaikan Ichsanuddin Noorsy menanggapi wacana pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk Benang Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY). Wacana tersebut dikhawatirkan berdampak buruk pada industri tekstil dalam negeri, salah satunya adalah ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. “Pemerintah egois. Pemerintah hanya memikirkan meningkatnya tax ratio, kan itu poinnya,” kata Ichsanuddin Noorsy ketika dikonfirmasi.
Menurut Ichsanuddin pengenaan BMAD justru bakal membuat skema struktur biaya berubah drastis, yang berimbas pada kenaikan harga jual di tengah daya beli yang sedang lesu. Hal ini menjadi ancaman serius bagi industri tekstil Tanah Air, mereka terancam gulung tikar karena hasil produksi terancam tak laku di pasaran. “Ya cari jalan keluarnya kan. Jalan keluarnya satu-satunya adalah restrukturisasi biaya. Kalau restrukturisasi biaya, anti-dumping tetap diterapkan. Yang paling gampang, ya PHK,” ujarnya.
Sementara itu peneliti ekonomi Universitas Indonesia, Jahen F. Rezki menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah bakal mencapai 8% bakal sulit dicapai. "Kita akan semakin melambat perekonomiannya. Jadi, even ambisi untuk mencapai 8% (pertumbuhan ekonomi) mungkin perlu dibuang jauh-jauh, karena untuk mendapatkan 5% saja, itu sudah susah buat pemerintah," kata Jahen dalam podcast @rhenald.kasali di YouTube, Minggu (18/5/2025).
"Jadi mungkin yang kita cukup worry ya, dengan kondisi ekonomi ditambah juga sekarang isu pengangguran yang banyak. Jadi kalau kita lihat memang secara persentase ya, percentage itu unemployment-nya turun oke tapi ada kenaikan jumlah penganggurannya 800.000 orang dibandingkan dengan tahun sebelumnya di bulan Februari," imbuhnya.
Lebih lanjut Ichsanuddin menegaskan bahwa, BMAD terhadap produk Benang Partially Oriented Yarn dan Drawn Textured Yarn adalah penerapan fiskal pajak yang tidak adil, pemerintah terkesan secara sengaja memiskinkan orang miskin dengan memajaki seluruh aspek transaksi kehidupan dan transaksi ekonomi, namun di saat yang bersamaan pemerintah justru memberi keringanan pajak pada pihak tertentu. Baginya, industri tekstil tidak bisa dipajaki secara sewenang-wenang sebab ia adalah industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Karena sesungguhnya tekstil adalah hajat hidup orang banyak. Sandang itu hajat hidup orang banyak, dia tidak bisa sepenuhnya dilepas ke pasar. Yang bisa dilepas ke pasar itu hanya industri dari kain ke distribusi, ke garmen. Di garmen pun ada lagi yang nggak bisa dilepas ke pasar. Jadi tidak semuanya. Di sini ketinggalan jamannya, di sini ketinggalan jamannya pemerintah Republik Indonesia,” tegasnya.
Ichsanuddin menegaskan, sistem pajak yang diberlakukan pemerintah Indonesia sudah usang dan ketinggalan jaman. Di negara-negara lain kata dia mereka memandang industri tekstil sebagai industri sandang, mereka benar-benar melindungi industri ini dengan memberi berbagai keringan pajak, itu kontradiktif dengan yang terjadi di Indonesia sekarang ini. “Kalau melihat kebijakan Jepang, kebijakan India, Pakistan, India, Bangladesh, Vietnam, Inggris, dan Amerika sendiri, mereka masih bicara full perlindungan industri tekstil mereka dengan baik. Tetapi tidak dengan tegas-tegas melakukan perlindungan. Karena kata kuncinya adalah mereka masih melihat industri tekstil sebagai industri sandang itu,” ucapnya.
Sementara itu Ian Syarif, Direktur PT. Sipatamoda Indonesia, perusahaan tekstil yang terletak di Kabupaten Bandung, Jawa Barat mengutarakan keprihatinan yang sama. “Industri sangat memahami pentingnya instrumen trade remedies seperti BMAD untuk melindungi produsen dalam negeri. Namun, pelaksanaannya perlu mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan hulu dan hilir agar tidak menimbulkan tekanan berlebih pada pelaku usaha, khususnya sektor hilir yang padat karya,” ujar Ian.
Senada dengan Ian, Wilky Kurniawan, Direktur PT. Anggana Kurnia Putra, perusahaan tekstil yang berada di kawasan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jabar menyatakan bahwa tantangan industri TPT nasional semakin berat dengan kondisi saat ini. “Biaya produksi yang tinggi dan daya beli masyarakat yang menurun menyebabkan tantangan Industri TPT nasional semakin berat, sedangkan biaya operasional Industri TPT tidak dapat dipangkas, khususnya untuk membayar upah pekerja. Industri TPT nasional akan semakin terpuruk dan gugur satu per satu dengan dikenakannya BMAD oleh Pemerintah Indonesia. Terakhir, produk POY dan DTY akan dikenakan BMAD dengan tarif tertinggi sebesar 42,30% tentunya akan meningkatkan biaya produksi secara signifikan," ungkap Wilky.
Sebelum badai PHK itu benar-benar membenamkan industri tekstil dalam negeri, kata Ichsanuddin, pemerintah sebetulnya masih punya satu kesempatan melakukan pembenahan menyeluruh. Menurut Ichsanuddin, cara pandang pemerintah terkait peningkatan tax ratio tak harus terpaku pada BMAD, masih banyak sumber pajak yang lebih menjanjikan jika digarap dengan dengan sungguh-sungguh. Dia menegaskan pemasukan pajak yang seret sekarang ini disebabkan oleh pemerintah yang tak mampu menumpas kejahatan pajak yang dilakukan korporasi besar baik di dalam maupun luar negeri. Baginya hal ini harus segera dituntaskan.
“Pemerintah tidak mampu mengatasi kejahatan perpajakan yang dilakukan oleh korporasi-korporasi besar baik domestik maupun luar negeri. Nah, artinya penyelesaian peningkatan perpajakan tidak bisa hanya bicara anti dumping. Coba lihat dulu kebijakan pelaksanaan dan pengawasan perpajakannya udah benar atau belum. Kan saya bilang kebijakan perpajakannya fiskalnya itu masih, bahasa saudara-saudara saya, kebijakan fiskalnya itu masih tidak adil. Memiskinkan orang miskin, memperkaya orang kaya gitu kebijakan fiskalnya. Nah, ketika ditempatkan pada anti-damping, dia tidak fair pada struktur industri,” tegasnya.
Presiden Jokowi melarang aktivitas berbelanja pakaian bekas impor atau thrifting karena sangat merugikan industri tekstil dalam negeri. Para pedagang pun resah karena menurut mereka itulah sumber mata pencaharian mereka selama ini.