Cita Mineral Investindo Pertahankan Target Produksi Bauksit 4,7 Juta Ton di 2025

4 weeks ago 47
Update Info Hot Malam Akurat

Liputan6.com, Jakarta - PT Cita Mineral Investindo Tbk (CITA) menargetkan produksi bauksit pada tahun 2025 tetap di kisaran 4,7 juta ton, serupa dengan capaian tahun sebelumnya. Pada 2024, Cita Mineral Investindo mencatatkan produksi sebesar 4,7 juta ton dengan penjualan mencapai 3,6 juta ton.

Meski persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk tahun 2025 sebenarnya memberikan ruang produksi lebih besar, CITA memilih tetap fokus pada dua Izin Usaha Pertambangan (IUP) utama, yaitu IUP 107 dan 108 di wilayah Air Upas.

Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari strategi konservatif dan berkelanjutan perusahaan dalam mengelola sumber daya dan menjaga stabilitas operasional. Dengan tetap mempertahankan level produksi, CITA juga dinilai mampu menyesuaikan diri dengan dinamika pasar bauksit dan alumina yang fluktuatif.

“2024 produksi cita adalah sebesar 4,7 juta ton dengan penjualan 3,6 juta. Kemudian 2025 juga relatif lebih kurang sama meskipun secara persetujuan RKAB kami sebetulnya memiliki persetujuan yang lebih besar daripada itu,” kata Direktur PT Cita Mineral Investindo Tbk, Yusak Lumba Pardede dalam paparan publik perseroan, Jumat (16/5/2025).

CITA mematok target produksi bauksit olahan (Metallurgical Grade Bauxite/MGB) sebesar 4,8 juta ton dan target penjualan sebesar 4,4 juta ton sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) yang telah disetujui oleh Kementerian ESDM. Seluruh penjualan MGB tahun 2024 dilakukan kepada entitas asosiasi dengan rata-rata harga Rp 41,05 juta per DMT.

Kinerja Kuartal I-2025 Melesat, Laba Bersih Naik 161,8%

Memasuki kuartal pertama tahun 2025, CITA menunjukkan awal yang menjanjikan dengan pertumbuhan laba bersih yang sangat signifikan. Laba bersih pada periode ini meningkat sebesar 161,8% menjadi Rp 1,03 triliun dibandingkan Rp 394,17 miliar pada kuartal pertama tahun sebelumnya. Peningkatan ini sebagian besar didorong oleh bagian laba dari entitas asosiasi WHI.

Dari sisi pendapatan, penjualan turun tipis sebesar 2,38% menjadi Rp 670,61 miliar dibandingkan Rp 686,97 miliar pada kuartal pertama 2024. Namun, laba kotor justru mengalami kenaikan sebesar 1,75% menjadi Rp 265,35 miliar, mencerminkan adanya perbaikan efisiensi operasional dan harga jual yang relatif stabil.

"Laba bersih pada kuartal pertama tahun 2025 meningkat menjadi Rp 1,03 triliun, meningkat 161,8% dari Rp 394,17 miliar pada kuartal I 2024," ungkap Yusak.

Dampak Harga Alumina terhadap Kinerja WHW dan CITA

Salah satu faktor eksternal yang dinilai akan memengaruhi kinerja CITA ke depan adalah dinamika harga pasang alumina. Harga ini sangat bergantung pada kebijakan dan operasional dari PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW), mitra strategis CITA dalam hilirisasi bauksit.

Perubahan harga alumina akan berdampak langsung terhadap kinerja keuangan WHW. Sebagai pemegang saham di WHW, performa anak usaha ini otomatis akan memengaruhi kontribusi terhadap laba CITA secara keseluruhan.

CITA menyadari bahwa strategi jangka panjang di sektor hilirisasi akan sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga komoditas serta efisiensi operasional smelter. Oleh karena itu, perusahaan akan terus memantau pergerakan pasar dan mengambil langkah adaptif yang diperlukan.

“Dari sisi produksinya sekitar 4,7 juta ton. Tapi kalau kita bicara kondisi surplus pasang alumina akan sangat dipengaruhi oleh harga pasang alumina yang dilakukan oleh WHW. Kemudian dari kinerja WHW sendiri yang akan berdampak terhadap kepemilikan CITA di WHW itu," jelas Yusak.

Hilirisasi Bauksit Butuh Sinergi Pemerintah dan Pelaku Usaha

CITA menilai prospek hilirisasi bauksit di Indonesia pada 2025 masih cukup positif, terutama melihat banyaknya rencana investasi dari pelaku usaha di sektor smelter grade alumina (SGA) maupun aluminium. Perusahaan meyakini bahwa tren investasi ini menunjukkan kepercayaan terhadap kebijakan hilirisasi nasional.

Namun, keberhasilan hilirisasi tak bisa berjalan sendiri. Perlu kolaborasi erat antara pemerintah, pelaku usaha, dan investor untuk memastikan seluruh rantai pasok berjalan efisien. Tantangan utama saat ini adalah minimnya jumlah smelter aktif dibandingkan dengan potensi produksi nasional.

Dengan hanya ada beberapa smelter yang beroperasi, antara lain WHW, Bintan Alumina Indonesia (BAI), dan Borneo Alumina, kapasitas pengolahan domestik masih terbatas. Oleh karena itu, CITA mendorong agar evaluasi dan pengawasan dilakukan secara komprehensif agar hilirisasi tidak hanya menjadi jargon, tetapi betul-betul membawa nilai tambah bagi perekonomian nasional.

“Kita lihat pemerintahan maupun perkembangan saat ini ada begitu banyak sebetulnya rencana pelaku usaha untuk melakukan investasi di SKA maupun aluminium. Jadi menurut pertimbangan kami tentunya ini masih cukup prospektif," ujar Yusak.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |