Liputan6.com, Jakarta - Bursa saham Asia Pasifik dibuka bervariasi pada perdagangan Senin (11/8/2025). Pelaku pasar menanti pengumuman apakah batas waktu 12 Agustus untuk gencatan tarif Amerika Serikat (AS)-China akan diperpanjang.
Mengutip CNBC, indeks Korea Selatan dan Australia membuka perdagangan dengan bervariasi. Indeks Kospi dan Kosdaq di Korea Selatan mendatar.
Saham SK Hynix naik 2,72% setelah produsen chip Korea Selatan tersebut memperkirakan permintaan chip memori bandwidth tinggi yang digunakan dalam kecerdasan buatan akan naik 30% setiap tahun hingga akhir dekade ini, ujar seorang eksekutif senior kepada Reuters.
Kepala Perencanaan Bisnis HBM di SK Hynix, Choi Joon-yong menuturkan, belanja modal untuk AI oleh penyedia cloud besar yakni Amazon, Microsoft, dan Google kemungkinan akan direvisi lebih tinggi, sebuah perkembangan yang akan menguntungkan pasar HBM.
“Permintaan AI dari pengguna akhir cukup kuat dan solid,” ujar Choi.
Sementara itu, indeks ASX 200 di Australia naik 0,43%. Bank sentral Australia dijadwalkan mengumumkan keputusan suku bunga pada Selasa pekan ini.
Di sisi lain, bursa saham China dibuka sedikit menguat seiring pelaku pasar mencermati indikator-indikator yang menunjukkan batas waktu gencatan tarif Amerika Serikat-China pada 12 Agustus akan diperpanjang.
Indeks acuan CSI 300 China daratan naik 0,13%. Indeks Hang Seng di Hong Kong menguat tipis 0,07%.
Morgan Stanley menyatakan dalam sebuah catatan pasar Hong Kong kemungkinan akan "melanjutkan momentumnya" beberapa waktu setelah musim panas, dengan asumsi adanya kejelasan yang lebih baik mengenai hubungan perdagangan AS-China, serta terungkapnya rencana pertumbuhan lima tahun ke depan untuk China.
Wall Street Perkasa, Indeks Nasdaq Sentuh Rekor Berkat Saham Apple
Sebelumnya, bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street menguat pada perdagangan Jumat, 8 Agustus 2025. Wall street melesat didorong sektor teknologi.
Mengutip CNBC, Sabtu (9/10/2025), indeks Nasdaq melonjak 0,98%, mencapai rekor di posisi 21.450,02. Indeks yang didominasi saham teknologi ini mencapai rekor tertinggi intraday baru pada awal hari.
Indeks S&P 500 menguat 0,78% dan ditutup ke posisi 6.389,45, sedikit di bawah rekor penutupan. Indeks Dow Jones bertambah 206,97 poin atau 0,47% ke posisi 44.175,61.
Rata-rata saham utama membukukan kinerja yang positif. Indeks Dow Jones yang terdiri dari 30 saham melonjak sekitar 1,4%. Indeks S&P 500 bertambah 2,4%. Indeks Nasdaq melesat 3,9% dalam sepekan.
Saham Apple mengangkat sektor teknologi di S&P 500 dan Nasdaq. Saham produsen iPhone ini melonjak 13% pekan ini setelah mengumumkan rencana untuk menghabiskan sekitar USD 600 miliar atau Rp 9.751 triliun (asumsi kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 16.252) selama empat tahun di AS dalam upaya memenangkan hati Presiden AS Donald Trump. Saham Apple mencatta kinerja mingguan terbaik sejak Juli 2020.
Lonjakan terbaru Apple semakin intensif ketika Trump mengumumkan awal pekan ini akan mengenakan tarif 100% pada semikonduktor dan chip impor dengan pengecualian bagi perusahaan yang membangun di Amerika Serikat. Saham Apple kembali naik 4,2% pada Jumat pekan ini.
Kebijakan Perdagangan Trump
Investor tidak hanya tampak menafsirkan tarif semikonduktor sebagai sesuatu yang lebih ringan dari yang diantisipasi, mereka juga tampaknya mengabaikan tarif timbal balik Trump yang mulai berlaku pada Kamis pekan ini. Beberapa tarif terberat termasuk 41% untuk Suriah dan 40% untuk Laos dan Myanmar.
Dinamika yang Rumit
Trump memperingatkan pengadilan AS pada Jumat agar tidak membatalkan kebijakan tarifnya, menulis dalam sebuah unggahan di Truth Social jika pengadilan melakukan itu, "Ini akan terulang kembali seperti tahun 1929, DEPRESI BESAR."
Ia juga mengatakan bea masuk tersebut telah memberikan "dampak positif yang sangat besar" pada pasar. Saham anjlok setelah pengumuman tarif Trump yang luas pada April, dengan S&P 500 jatuh ke wilayah koreksi setelah mengalami kerugian satu hari terbesar sejak 2020.
"Reaksi pasar terhadap pengumuman 2 April menunjukkan bagaimana perasaan pasar terhadap tarif," kata Baird Investment Strategist, Ross Mayfield.
Ia menuturkan, investor sebagian besar mengantisipasi pemerintah tidak menindaklanjuti rencana tarif yang sangat agresif.
"Jika pasar mengantisipasi hal itu tetapi tidak bereaksi karena mereka menunggu kapitulasi, pemerintah mungkin menganggap pasar sedang menegakkan kebijakan alih-alih mengantisipasi perubahan, jadi ini adalah dinamika yang agak rumit," lanjutnya.