Liputan6.com, Gianyar - Fenomena "sound horeg" belakangan ini menjadi sorotan publik, memicu perbincangan hangat tetang batas ekspresi budaya dan dampaknya di masyarakat. Wakil Menteri Kebudayaan, Giring Ganesha Djumaryo, menanggapi isu ini dengan bijak. Ia menekankan penting mengawal setiap ekspresi budaya baru agar tetap menginspirasi, membawa kebahagian, dan tidak menyinggung siapapun.
"Itu kan ekspresi-ekspresi budaya yang baru muncul. Dan tetap saja ekspresi budaya yang baru muncul itu harus dikawal," ujar Wamen Giring usai dirinya meresmikan pameran tunggal seniman multidisiplin, Sherry Winata, bertajuk 'Inner Sacred Alchemy' di Museum Puri Lukisan, Ubud, Sabtu (19/7/2027). Mantan vokalis band Nidji ini menekankan bahwa Kementrian Kebudayaan terus memantau perkembangan ini.
Koordinasi dengan Badan Pelestarian Budaya (BPK) dan kepala daerah menjadi kunci untuk memahami dan merespons fenomana seperti "sound horeg" secara tepat. Meskipun demikian, Wamen Giring menyatakan bahwa pemerintah belum memiliki kepastian regulasi terkait hal ini dan masih dalam tahap pengkajian mendalam.
Wamen Giring juga menyoroti bagaimana pemerintah memantau fenoma viral yang positif, seperti Festival Pacu Jalur yang sukses besar. Ia mengungkapkan bahwa kementriannya bersama kementrian lain, bahkan Kementrian Pariwisata, akan turun langsung pada bulan Agustus untuk memastikan festival tersebut menjadi salah satu festival unggulan.
Komitmen ini tidak hanya sebatas dukungan acara, tetapi juga upaya untuk mendaftarkan Pacu Jalur sebagai Warisan Budaya Tak Benda tingkat dunia ke UNESCO, meskipun prosesnya memerlukan antrean panjang. "Yang sedang viral yang sangat positif ya Pacu Jalur. Bagaimana Agustus nanti, dari banyak kementrian bahkan Kementrian Pariwsata akan turun langsung memastikan festical tersebut menjadi salah satu festival unggulan," jelasnya.
Selain membahas ekspresi budaya modern, Wamen Giring juga menjelaskan tentang program Dana Indonesiana. Dimana program ini menjadi sebuah inisiatif strategi untuk mendukung para budayawan di seluruh Indonesia. Ia menegaskan bahwa dana ini tidak hanya terkonsentrasi di daerah sentra seni seperti Gianyar, Denpasar atau Badung, namun menyasar daerah-daerah yang lebih terpencil, bahkan yang kesulitan akses internet.
"Dana Indonesiana sudah dari 2-3 tahun yang lalu. Ada sahabat-sahabt kita yang dari Karangasem, sudah mendapatkan juga dan saya lihat digunakan dengan baik," ungkap Wamen Giring. Program ini bertujuan memastikan para pelaku budaya mendapatkan dukungan untuk mengembangkan sanggr tari, membeli alat musik atau mendokumentasikan eskpresi budaya agar tidak punah. Hingga saat ini tercatat ada 8.000 pendaftar, dengan target 1.000 penerima tahun ini yang sedang dalam tahap kurasi. Pendaftaran untuk tahun 2026 akan dibuka kembali akhir Oktober.
Inner Sacred Alchemy
Sementara itu di tengah isu dinamika budaya, pembukaan pameran tunggal Sherry Winata bertajuk 'Inner Sacred Alchemy' di Museum Puri Lukisan Ubud menawarkan perspektif lain tentang ekspresi seni. Pameran yang berlangsung hingga 10 Agustus 2025 ni menampilkan 23 lukisan Sherry yang unik, menggunakan media campur seperti batuan, mineral, kristal, resin dan glitter.
Menurut GM G3N Project, Andry Ismaya Permadi, material-material ini bukan sekadar elemen fisik, melainkan mediator energi yang menjembatani manusia dengan semesta. "Sherry juga dikenal sebagai sosok unik dalam lanskap seni kontemporer Indonesia. Ia bukan hanya seorang pelukis, tetapi juga seorang penulis, pematung, guru meditasi, penyembuh dengan sound healing dan praktisi spiritual," kata Andry.
Wamen Giring dalam sambutannya secara khusus menyoroti kesamaan visi dengan Sherry Winata dalam memahami pentingnya meditasi. "Saya punya kesamaan dengan sang seniman Mbak Sherry adalah kita berdua mengerti pentingnya meditasi di hidup kita", terangnya. Ia juga membagi pengalaman pribadinya mengenai disiplin meditasi yang membantunya mencapai ketenangan.
Menurut Giring, lukisan-lukisan Sherry adalah manifestasi dari seluruh cinta, jiwa dan fokusnya. "No wonder dia mendapatkan award di sana, di sini. No wonder pelukisannya dikoleksi oleh bahkan yang saya dengan adlaah orang terkaya di India. Karena mungkin mereka feel the same. Semuanya merasakan," kagumnya.
Penggunaan istilah 'sound healing' dalam konteks seniman multidisiplin seperti Sherry Winata menunjukkan bagaimana berbagai bentuk ekspresi, termasuk yang berbasis suara dapat menjadi bagian dari praktik spiritual dan artistik yang lebih luas. Sherry sendiri mengakui bahwa melukis adalah proses spiritual yang menyatu dengan jiwanya, tempat ia menyalurkan energi dari berbagi lapisan kesadaran.
Saat ditanya soal pemilihan aliran abstrak dalam lukisannya, Sherry menjelaskan dirinya ingin memberikan bentuk kepada sesuatu yang tidak berbentuk dan memberikan suara kepada yang tidak bersuara. "Karya saya itu adalah perluasan jiwa saya. Jadi apa yang saya rasakan, apa yang saya lihat, saya percaya seni bisa menjadi portal untuk menyimpan secret frekuensi kepada orang-orang," tutur dirinya.
Kurator Asmudjo J.Irianto menambahkan bahwa karya Sherry membuka ruang bagi pengalaman spiritual dalam seni kontemporer, mengundang penonton untuk terhubung dengan dimensi terdalam dari dirinya melalui warna, gestur dan resonansi emosi. Pameran ini menjadi bukti bahwa seni dapat menjadi jembatan lintas kesadaran, dimana 'suara jiwa' dan intuisi dapat terekspresi dengan bebas, sejalan dengan pesan Wamen Giring untuk terus mengawal ekspresi budaya agar selalu positif dan membawa kebaikan.