Festival Teater Semarang 2025, Proses Batin atau Sekadar Tepuk Tangan?

1 day ago 6

Liputan6.com, Semarang - Seorang Plato melihat seni sebagai bayang-bayang ide sejati. Bukan sekadar pamer dan eksplorasi keindahan, namun ada proses pemanusiaan agar manusia tak melulu berkutat urusan duniawi.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Semarang bersama Dewan Kesenian Semarang (Dekase) mencoba menghadirkan tafsir itu dengan meluncurkan Festival Teater Semarang 2025, Jumat (18/7/2025). Acara ini bukan hanya perayaan seni pertunjukan, tetapi juga ruang kontemplasi tentang esensi teater sebagai cermin pencarian kebenaran dan keindahan.

Hadir perwakilan komunitas teater pelajar, kampus, hingga umum, serta pelaku seni lintas bidang. Lilies Yaniarti, S.P., Sub Koordinator Pembinaan Kesenian Disbudpar, menjelasksn pentingnya ruang berekspresi bagi generasi muda. 

“Teater adalah tempat jiwa manusia berbicara," katanya.

Festival ini mengajak publik kesenian dan masyarakat umum untuk memahami pandangan Martin Heidegger yang melihat seni sebagai cara mengungkap kebenaran dalam keberadaan.

Kondisi teater saat ini memang semakin jauh dari yang diwariskan Konstantin Stanislavski, pelopor metode akting. Stanislavki menekankan kebenaran emosional. Ia mengajarkan bahwa aktor harus “hidup dalam peran,” mencari kejujuran batin untuk menghidupkan karakter. 

Metode ini menuntut aktor menggali pengalaman pribadi untuk membangun keaslian. Itulah dasar atau fondasi teater modern. Kondisi saat ini, seni pertunjukan memang makin eksperimental. Ibaratnya tak ada lagi proses batin mendalam bagi teaterawan. Kemudian digantikan oleh gaya-gaya performatif yang lebih spontan atau visual.  

Simak Video Pilihan Ini:

Banjir Rob di Desa Kaliprau Pemalang

'Teater Kekejaman', Sebuah Ritual

Eugen Berthold Friedrich Brecht adalah seorang dramawan, penyair, dan sutradara teater asal Jerman. Ia lahir pada 10 Februari 1898 di Augsburg, Bayern, Jerman. Brecht dikenal sebagai pencetus "teater epik," yang menekankan kesadaran kritis penonton melalui efek jarak (Verfremdungseffekt) untuk merenungkan isu sosial dan politik, agar tak terhanyut emosi.

Ada Antoine Marie Joseph Artaud, seorang dramawan, penyair, aktor, dan teoretikus teater asal Prancis. Ia lahir pada 4 September 1896 di Marseille, Prancis. Artaud dikenal dengan konsep "Teater Kekejaman" (Theatre of Cruelty), yang mengutamakan pengalaman teater sebagai ritual intens untuk membangkitkan emosi mentah dan mengguncang kesadaran penonton, menolak narasi konvensional demi dampak visceral. Artaud, menyerukan teater sebagai ritual penuh intensitas. 

Saat ini teater yang pernah menjadi media untuk menuju proses menjadi manusia, seolah terkikis tren kontemporer yang mengutamakan estetika instan.

Deasy Ismalia, S.E., Kepala Bidang Kesenian Disbudpar, menyampaikan visi agar festival ini berkembang dari Semarang ke skala Jawa Tengah, bahkan nasional. 

“Kami mulai dari sini, dengan harapan menjadikan teater sebagai cermin zaman,” katanya. 

Visi itu sejalan dengan gagasan Immanuel Kant yang menyebut bahwa keindahan seni menyatukan manusia dalam pengalaman estetis yang universal.

Kejar Proses atau Sorak?

Menurut Deasy, festival ini ingin mengembalikan teater sebagai ruang refleksi, bukan sekadar hiburan.

Festival Teater Semarang 2025 akan digelar pada 25 Oktober 2025 di Gedung Baru Taman Budaya Raden Saleh. Formatnya kompetisi pementasan dengan juara satu hingga tiga serta juara harapan satu sampai tiga. Hadiah puluhan juta rupiah disiapkan untuk mengapresiasi karya-karya terbaik.

Festival ini diharapkan menjadi panggilan untuk merenungkan kembali esensi teater. Kita bayangkan pertanyaan Stanislavski, apakah aktor masa kini masih mencari kebenaran batin, atau hanya mengejar sorak penonton?

Festival Teater Semarang 2025 menawarkan ruang untuk menjawab pertanyaan itu. Johann Christoph Friedrich von Schiller, seorang penyair, dramawan, filsuf, dan sejarawan asal Jerman yang lahir pada 10 November 1759 di Marbach am Neckar, Württemberg, Jerman menulis dalam esai Letters on the Aesthetic Education of Man. Ia percaya seni, termasuk teater, dapat menyatukan aspek rasional dan emosional manusia, membentuk harmoni moral dan estetis yang mendidik serta membebaskan jiwa. 

Teater Semarang memiliki tantangan untuk menemukan keseimbangan antara warisan masa lalu dan denyut zaman.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |