Liputan6.com, Batam - Meskipun Rempang Eco City tak tercantum dalam 77 Proyek Strategis Nasional Presiden Prabowo, namun hingga kini masih jadi perdebatan sehingga tak ada kepastian hukum proyek tersebut.
Sementara itu, ancaman juga menimpa hutan mangrove di Kampung Tua Nongsa yang yang dihuni 100 Kepala Keluarga. Ancaman itu datang setelah ada pengukuran lahan tanpa melibatkan warga.
Ekosistem hijau yang berusia ratusan tahun itu dn diwariskan dari generasi ke generasi, tiba-tiba diklaim sebuah perusahaan.
Menurut Geri, pengelola Desa Wisata Bakau Serip, klaim diawali kedatangan petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Batam bersama perwakilan perusahaan.
“Tiba-tiba ada pengukuran, mereka klaim kawasan Bakau Serip ini masuk area perusahaan,” kata Geri.
Menurutnya, pengukuran lahan tersebut tak pernah dikomunikasikan. Parahnya pemerintahan setempat, kelurahan, RW, maupun RT setempat tidak mengetahuinya.
"Tidak ada satu pun perangkat pemerintahan setempat yang mengetahui rencana itu," kata Geri
Geri menjelaskan bahwa kampung tua itu memiliki sejarah yang kuat. Kampung itu juga memiliki batas (Patok) sejak zaman dulu .
"Kami punya tanggung jawab menjaga kawasan ini sebagai warisan para leluhur," katanya.
Masyarakat kampung tua itu juga telah mengirim surat keberatan ke Badan Pengusahaan (BP) Batam, berharap langkah hukum dan administratif dapat menghentikan klaim sepihak tersebut.
Salah Satu Konservasi Alam
Bakau Serip bukan sekadar lahan kosong penuh lumpur. Ini adalah ekosistem hidup, yang telah menyatu dengan identitas masyarakat Kampung Tua Nongsa. Di sana, pohon-pohon mangrove berusia lebih seabad menjadi penjaga alami dari abrasi laut.
“Kalau pohon itu bisa bicara, dia akan menceritakan bagaimana kampung ini dulu terbentuk. Kami menyebutnya ‘hutan leluhur’,” kata Geri.
Tidak hanya tumbuhan, kawasan ini juga menjadi rumah bagi satwa liar yang mulai langka. Lutung hitam sering terlihat bergelantungan di atas pohon mangrove. Ular bakau, yang dikenal pemalu namun penting dalam rantai ekosistem, hidup damai di bawah akar-akar. Bahkan, kawasan ini dikenal sebagai tempat kawin dan pemijahan bagi ikan Dugong, mamalia laut yang hampir punah di perairan Indonesia.
“Dugong itu sangat pemilih. Kalau dia mau berkembang biak di sini, itu artinya lingkungan kami masih sehat. Tapi manusia serakah yang tak pernah puas justru mengancam itu semua,” kata Geri.
Komitmen warga untuk menjaga ekosistem Bakau Serip telah menarik perhatian nasional. Tahun lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno menetapkan kawasan ini sebagai Desa Wisata Kampung Tua sebagai bentuk apresiasi atas pelestarian lingkungan dan budaya.
Sejak itu, kawasan Bakau Serip mulai dikembangkan secara perlahan. Wisata edukasi mangrove, susur bakau dengan perahu, hingga program tanam mangrove untuk pelajar menjadi bagian dari rutinitas warga. Semua dikerjakan dengan semangat gotong royong
Ekonomi Warga Hancur, Satwa Langka Punah
Kekhawatiran Geri dan warga bukan tanpa alasan. Di berbagai titik Batam, reklamasi dan pembangunan kawasan bisnis telah menggerus banyak pesisir alami. Dari Teluk Tering hingga Tanjung Pinggir, mangrove tergusur untuk perumahan, pelabuhan, dan properti mewah.
“Kalau Bakau Serip sampai dikorbankan demi uang atas nama pembangunan dan tak ramah lingkungan, maka Indonesia benar-benar sudah kehilangan arah," katanya.
Dia menyebutkan, ancaman nyata datang dari proyek-proyek yang mengabaikan ekosistem, mengejar keuntungan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan. Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir, aktivitas reklamasi sudah mulai merambat ke dekat kawasan Bakau Serip.
Dihadapkan dengan tekanan besar uang dan kekuasaan, masyarakat Kampung Tua Nongsa tetap bertahan. Mereka menggelar musyawarah adat, membuat dokumentasi batas-batas wilayah, hingga menyusun peta partisipatif untuk memperkuat klaim historis dan ekologis mereka.
“Kami akan lawan dengan cara yang benar. Kami tidak akan menyerah. Ini bukan cuma tentang tanah, tapi tentang hidup,” kata Geri.