Liputan6.com, Sleman - Gamelan mengalun perlahan di pelataran sendang tua. Di sela ritmenya yang syahdu, lantunan ayat suci Al-Qur’an menyusup pelan-pelan, mengisi ruang hati dan ruang budaya yang telah lama kosong. Malam itu, Joholanang tak sekadar menggelar pertunjukan. Ia sedang membangkitkan kembali ruh kebudayaan Jawa yang nyaris padam.
Ratusan warga berdatangan. Mereka duduk bersila di atas tikar, menghadap ke panggung wayang yang didirikan di dekat sumber mata air sendang. Tempat itu diyakini masyarakat sebagai salah satu titik penting penyebaran Islam oleh Sunan Kalijaga di masa lalu.
Namun pentas malam itu bukan sekadar hiburan. Di balik kelir, ada niat mulia yang sedang dirajut untuk menyatukan kembali budaya dan agama dalam harmoni yang pernah menjadi jati diri Jawa.
Adalah Min Suratna (50), tokoh masyarakat Joholanang, yang menggagas kegiatan bertajuk "Merti Dusun dan Pengajian Budaya" ini. Ia menyebutnya sebagai dakwah kultural merupakan cara menyampaikan nilai-nilai Islam melalui pendekatan budaya.
"Dulu Sunan Kalijaga menyampaikan syariat Islam pakai pendekatan budaya. Wayang, tembang, gamelan. Jadi orang menerima Islam itu dengan sukarela, dengan rasa," ucap Suratna.
Di masa lalu, merti dusun atau bersih desa adalah tradisi penting masyarakat Jawa. Ia menjadi medium untuk menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Namun belasan tahun terakhir, tradisi ini perlahan memudar.
Budaya Jawa semakin tergerus oleh modernisasi. Anak-anak tak lagi mengenal tembang dolanan, gamelan tak lagi berbunyi di langgar-langgar, bahkan kenduri pun dianggap “kuno”.
"Inilah yang membuat saya merasa harus bertindak. Jawa sudah mulai hilang Jawane,” kata Suratna.
Wilayah Joholanang sendiri dikelilingi oleh situs-situs sejarah dan candi, namun ironisnya, nilai-nilai budaya justru nyaris hilang dari keseharian warga. Lewat Merti Dusun, Suratna ingin membangkitkan kembali semangat gotong royong, spiritualitas, dan seni budaya yang pernah menyatu erat dalam kehidupan masyarakat.
“Kali ini nuansanya menyatu dengan nilai-nilai keislaman. Seni budaya pewayangan dipadukan dengan pengajian dan sholawatan,” jelasnya.
Tidak sembarang tempat dipilih sebagai lokasi kegiatan. Pelataran sendang tua yang digunakan malam itu menyimpan makna simbolik yang kuat bagi warga. Dalam tradisi Jawa, sendang bukan sekadar sumber air, tetapi simbol keseimbangan, kehidupan, dan kesucian. Ia juga menjadi ruang kontemplasi, tempat bertapa, hingga sarana bersuci secara lahir batin.
“Sendang itu identitas. Di masa lalu, banyak pertapaan dan penyebaran Islam juga berawal dari tempat-tempat seperti ini,” tutur Suratna.
Lewat Merti Dusun, mereka tak hanya membersihkan lingkungan fisik, tapi juga membersihkan batin dan warisan budaya yang nyaris terkubur oleh zaman.
Karena di tanah Jawa, agama dan budaya pernah saling berjalan beriringan dan Joholanang kini mencoba menggenggamnya kembali,” jelas Suratna.
Dengan menggelar pentas budaya di pelataran sendang, kegiatan ini menjadi semacam napak tilas spiritual. Mengajak warga kembali menengok akar tradisi mereka sendiri, lalu menyulamnya dengan ajaran Islam yang lembut dan inklusif.
Pentas wayang malam itu dipandu oleh Ki Dalang Budi Sutowiyoso, seorang dalang yang dikenal konsisten mengangkat nilai-nilai spiritual dalam lakon-lakonnya. Ia menegaskan bahwa wayang bukan sekadar seni, melainkan media dakwah yang lembut namun mengena.
"Dulu penyebaran agama, khususnya Islam, dilakukan lewat pendekatan budaya. Orang datang menonton wayang, lalu di dalam ceritanya mereka diajarkan tentang kebaikan, tentang tauhid, tentang hidup yang selaras dengan ajaran Islam," ungkapnya.
Dalam pertunjukannya, Ki Dalang membawakan lakon "Wahyu Keprabon", sebuah cerita pewayangan yang mengisahkan turunnya wahyu kepemimpinan kepada raja yang amanah. Wahyu Keprabon sendiri mengandung makna mendalam bagi kepercayaan masyarakat jawa.
“Wahyu Keprabon adalah wahyu yang diberikan kepada seorang pemimpin tidak hanya dipilih karena kekuasaan, tetapi karena keluhuran budi, kebijaksanaan, dan kedekatannya kepada Tuhan,” ulas Ki Dalang.
Dalam lakon ini, kepemimpinan disandingkan dengan nilai-nilai keislaman seperti kejujuran, keadilan, dan pengabdian. Maka tak heran, pagelaran ini bukan hanya menghibur, tapi juga mendidik secara rohani.
Simak Video Pilihan Ini:
Pejabat Jatuh dari Kuda di Kirab Hari Jadi Banyumas