Misteri Sungai Kapuas Menelan Kru Kapal, Pencarian Penuh Harap

1 month ago 17

Liputan6.com, Jakarta Di kejauhan, permukaan Sungai Kapuas tampak tenang. Seperti lukisan alam yang diam, tak bergelora.

Namun, siapa sangka, di dasar sungai terpanjang di Indonesia ini 1.143 kilometer membelah jantung Kalimantan Barat tersimpan duka mengiris.

Bukan hanya sebagai urat nadi transportasi dan ekonomi, Kapuas juga menjadi saksi bisu pergulatan hidup dan mati.

Imanuel Ramebunu, 36 tahun, kru kapal TB Kapuas Bahari 15, hilang tanpa jejak. Bukan karena badai, bukan karena kecelakaan spektakuler.

Tapi karena tugas mulia, memotong tali yang tersangkut di baling-baling kapal.

Ia menyelam. Seperti biasa. Seperti yang pernah dilakukannya berkali-kali. Tapi kali ini, alam berkata lain.

Arus yang tak terduga menariknya masuk ke dalam pelukan gelap. Tak ada jeritan. Tak ada tanda. Hanya riak kecil yang segera lenyap ditelan ketenangan permukaan.

Inilah paradoks Sungai Kapuas. Tenang di atas, ganas di bawah. Seperti hidup para pekerja sungai terlihat biasa, tapi menyimpan risiko luar biasa.

Mereka yang bekerja di atas dan di dalam air ini, adalah pahlawan tanpa tanda jasa—yang setiap hari bermain judi dengan alam. Dan kali ini, alam menang.

Manusia Bertarung

Tim SAR Gabungan tak tinggal diam. Sejak Selasa, 2 September 2025, pukul 10.00 pagi, ketika Imanuel terakhir terlihat menyelam, operasi pencarian digelar tanpa henti.

Memasuki hari ketiga, Sabtu, 6 September 2025, upaya pencarian semakin intensif. Kepala Kantor SAR Pontianak, I Made Junetra, dengan suara yang berat namun penuh tekad, mengungkapkan detail operasi.

“Aqua Eye dan Echomap Livescope kami kerahkan,” ujarnya. Dua teknologi mutakhir yang biasanya dipakai untuk survei bawah air kini jadi senjata utama dalam misi kemanusiaan.

Aqua Eye, perangkat pemindai permukaan air berbasis drone dan sensor optik. Echomap Livescope, sonar real-time yang bisa memetakan dasar sungai hingga kedalaman ekstrem. Teknologi canggih, ya. Tapi tetap tak cukup melawan keganasan alam.

Arus Sungai Kapuas, kata Junetra, tak main-main. Deras. Tak terduga. Dan terus bergerak.

“Kami perluas area pencarian hingga enam nautical mile ke hilir,” tambahnya. Enam mil laut itu sekitar 11 kilometer dari titik tenggelam.

Bayangkan mencari satu tubuh manusia di sungai selebar ratusan meter, dengan arus yang terus menghanyutkan, di antara akar, batang kayu, dan endapan lumpur abadi.

Tapi tim SAR tak menyerah. Mereka tahu, setiap detik berharga. Setiap gelombang bisa membawa petunjuk. Atau justru mengubur harapan.

“Kami optimalkan hingga hari ketujuh,” tegas Junetra. Regulasi SAR memang memberi batas waktu. Tapi hati manusia? Tak mengenal batas.

Di balik seragam oranye, di balik peralatan canggih, ada manusia-manusia biasa yang berjuang melawan waktu, cuaca, dan kelelahan.

Mereka yang tak tidur demi secercah harapan. Mereka yang berdoa sambil memegang sonar. Mereka yang tahu, teknologi bisa gagal tapi tekad tak boleh padam.

Sebuah Doa Menyusuri

Lalu, di mana letak manusia dalam cerita ini? Imanuel bukan nama kosong. Ia ayah, suami, saudara, rekan. Ia manusia yang punya cerita, punya mimpi, punya janji yang belum ditepati.

Di kampung halamannya, mungkin ada anak kecil yang menunggu kepulangannya. Ada istri yang menatap pintu setiap sore. Ada ibu yang berdoa sambil memegang foto usang.

Dan di sisi lain, ada keluarga besar Kapuas sungai yang memberi hidup sekaligus mengambil nyawa. Masyarakat Kalimantan Barat tahu betul sungai ini adalah ibu sekaligus pemangsa.

Ia memberi ikan, jalur dagang, air minum tapi juga bisa menelan manusia tanpa ampun. Tradisi, ritual, dan kearifan lokal lahir dari pergulatan abadi ini.

Tapi modernitas datang dengan kapal-kapal besar, mesin diesel, dan tali-tali yang mudah tersangkut. Manusia lupa, alam tak bisa dikalahkan. Hanya bisa diajak berdamai.

Teknologi SAR canggih memang membantu. Tapi tak bisa menggantikan naluri, pengalaman, dan yang paling penting doa.

Di tepian Sungai Kapuas, masyarakat setempat mulai menggelar doa bersama. Lilin dinyalakan. Bunga ditaburkan. Mantra-mantra tua dibisikkan ke arus. Karena di sini, logika dan teknologi punya batas. Tapi kepercayaan? Tak terbatas.

Junetra tahu itu. Ia tak hanya mengandalkan sonar dan drone. Ia juga mendengarkan nelayan tua yang tahu pola arus.

Ia meminta petunjuk dari pawang sungai. Karena dalam dunia nyata terutama di Pulau Kalimantan ilmu pengetahuan dan kearifan lokal harus berjalan seiring. Bukan saling mengalahkan.

“Kita semua berharap korban segera ditemukan,” ucapnya pelan, seolah kalimat itu bukan sekadar protokol, tapi doa yang terucap dari lubuk hati terdalam.

Teknologi, Alam dan Kemanusiaan

Peristiwa hilangnya Imanuel Ramebunu bukan sekadar kecelakaan kerja. Ini adalah cerminan dari pertarungan abadi antara manusia dan alam yang kini dimediasi oleh teknologi.

Di satu sisi, kita punya Aqua Eye, Echomap, GPS, drone, dan sistem komunikasi canggih.

Di sisi lain, kita tetap takluk pada arus sungai yang tak terprediksi, pada kegelapan dasar air, pada ketidaksiapan sistem keselamatan kerja di sektor maritim pedalaman.

Fakta pahit, banyak pekerja seperti Imanuel tak dilengkapi alat selam standar, tak ada buddy system, tak ada prosedur darurat bawah air.

Mereka menyelam dengan nekat. Ini karena tuntutan pekerjaan, karena tekanan ekonomi, karena “dulu juga begini, aman-aman saja.” Sampai suatu hari, alam berkata, cukup.

Ini juga cerita tentang disparitas teknologi. Di Jakarta, drone SAR bisa terbang otomatis dengan AI.

Di Sungai Kapuas? Tim SAR masih bergantung pada perahu karet dan tenaga manusia. Infrastruktur teknologi penyelamatan di daerah terpencil masih jauh tertinggal. Anggaran? Terbatas. Perhatian? Sering teralihkan ke kota-kota besar.

Tapi justru di sinilah letak kekuatan manusia: ketangguhan, solidaritas, dan kearifan lokal.

Masyarakat bantaran Sungai Kapuas tak menyerah. Mereka yang tak punya sonar, punya insting.

Yang tak punya drone, punya perahu dayung dan pengetahuan turun temurun tentang sungai. Dan yang paling penting: mereka punya hati.

Air Tak Pernah Lupa

Sungai Kapuas mungkin tak mengembalikan Imanuel hari ini. Atau besok. Tapi ia akan menyimpan ceritanya.

Di setiap gelombang, di setiap pusaran, di setiap tetes airnya ada jejak perjuangan manusia yang tak mau menyerah.

Ada cinta yang tak mau padam. Ada teknologi yang terus belajar. Dan ada doa yang terus mengalir.

Kita mungkin tak bisa mengalahkan alam. Tapi kita bisa belajar darinya. Menghormatinya. Dan yang paling penting kita bisa saling menjaga.

Untuk Imanuel di mana pun berada, Sungai Kapuas tahu, dia pahlawan keluarga. Tim SAR tahu, dia pejuang.

Keluarganya tahu, dia segalanya. Dan kita? Hanya bisa menunggu, berdoa, dan menuliskan kisah agar tak ada lagi yang hilang tanpa perlindungan. Agar Sungai Kapuas tak lagi menangis.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |