Liputan6.com, Jakarta Ratusan demonstran menggelar aksi selama empat hari di Mapolres Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, dari hari Senin (08/09/2025) sampai Kamis (11/09/2025). Mereka protes atas penahanan aktivis lingkungan Erasmus Frans, yang mengkritisi penutupan akses masuk ke Pantai Bo'a yang diduga dilakukan oleh perusahaan swasta.
Kritikan mantan anggota DPRD itu justru berujung pidana. Hingga akhirnya Erasmus Frans ditahan Polres Rote Ndao pada Senin (01/09/2025).
Dalam perkara ini, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Rote Ndao menemukan adanya dugaan penggunaan kayu mangrove secara Ilegal oleh perusahaan swasta sebagai pagar hotel.
Sebanyak 2.200 batang kayu mangrove yang dipakai merupakan hasil penebangan liar dari kawasan hutan lindung Loudanon, Desa Oebela, Kecamatan Loaholu.
Kasus penebangan liar itu telah dilaporkan ke Polres Rote Ndao sejak Agustus 2024. Ironisnya, kasus tersebut tidak ada kejelasan penanganannya. Polisi justru menahan aktivis yang getol memprotes penebangan pohon mangrove.
Penahanan itu berujung aksi demo. Ketika demo berlangsung, terjadi insiden pemukulan yang mengakibatkan beberapa pendemo terluka. Salah satunya adalah Melianus. Ia mengalami luka di bagian kepala karena dipukul polisi.
"Saya akan buat laporan di Propam Polda. Saya dipukul polisi menggunakan pentung, padahal aksi kami tidak anarkis," ujar Melianus, Kamis (11/05/2025).
Melianus mengkritisi kinerja polisi yang belum juga menuntaskan kasus penebangan tersebut.
“Kenapa kasus penebangan mangrove tidak dituntaskan, sedangkan Erasmus Frans hanya mengkritik di Facebook malah dijadikan tersangka dan ditahan," ujarnya.
Dalam aksi itu, nama Erasmus Frans Mandato kembali digaungkan. Ia dikenal sebagai mantan anggota DPRD dua periode, tokoh olahraga yang mengharumkan NTT di ajang PON, sekaligus penggerak pariwisata Rote Ndao.
“Dia bukan penjahat, dia pejuang. Apa yang diperjuangkan Erasmus adalah masa depan ekonomi lokal dan pariwisata Rote,” teriak massa.
Tak hanya itu, massa juga menuntut Kapolri mencopot Kapolres Rote Ndao AKBP Mardiono karena dinilai telah menunjukkan sikap buruk sebagai seorang pimpinan.
Sementara itu, Mardiono enggan menjawab pertanyaan wartawan saat dikonfirmasi terkait dugaan penganiayaan oleh anggotanya terhadap massa aksi.
Respons Polda NTT
Polda NTT merespons dugaan penganiayaan polisi terhadap massa aksi. Tim dari Polda akan diturunkan ke Rote Ndao untuk menangani perkara ini.
"Kapolda NTT telah menindaklanjuti, besok Jumat (12/09), Polda akan menurunkan tim terpadu yang terdiri dari Irwasda, Propam, Ditreskrimsus dan Ditreskrimum untuk mencari fakta secara objektif atas insiden tersebut. Apabila ditemukan adanya pelanggaran oleh anggota, maka akan diproses sesuai hukum yang berlaku,” kata Kabid Humas Polda NTT Kombes Pol Henry Novika Chandra.
Langkah ini diambil sebagai bentuk tanggung jawab dan keseriusan dalam menjaga marwah Polri di mata masyarakat.
“Kapolda NTT menekankan, pengamanan unjuk rasa harus mengedepankan pendekatan humanis, dialogis dan sesuai aturan. Jika ada kesalahan, tentu akan ada konsekuensinya. Polri harus hadir sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, bukan sebaliknya,” ujarnya.
Ia mengajak seluruh masyarakat, khususnya di Kabupaten Rote Ndao, untuk tetap menjaga suasana aman dan kondusif.
“Polda NTT berkomitmen menjaga hak masyarakat dalam menyampaikan pendapat, sekaligus memastikan tidak ada tindakan yang berlebihan dalam pengamanan. Mari kita bersama-sama menjaga kedamaian NTT,” pungkasnya.