Liputan6.com, Jakarta Setelah bertahun-tahun hidup di kandang, dua individu orang utan jantan bernama Mungky dan Dodo akhirnya kembali menghirup udara Kalimantan Timur. Mereka bukan sekadar dipindahkan, melainkan disiapkan untuk menempati sebuah pulau suaka semi-liar yang sedang dibangun di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN).
Translokasi kedua orang utan bukan perkara mudah. Proses ini membutuhkan ketelitian, pengawasan medis dan logistik yang kompleks.
Perjalanan Mungky dimulai pada Mei 2025 dari Sintang, Kalimantan Barat. Dari sekolah hutan Jerora, ia dibawa menempuh delapan jam perjalanan darat menuju Bandara Supadio, Pontianak.
Dari sana, Mungky diterbangkan ke Jakarta, transit, lalu melanjutkan penerbangan ke Balikpapan. Malam harinya, ia kembali diguncang perjalanan darat menuju Sepaku. Pukul 22.45 WITA, Mungky akhirnya menempati kandang rehabilitasi di PSO Arsari.
Dua bulan kemudian, giliran Dodo menempuh jalur serupa. Dari Sukabumi menuju Jakarta, lalu Balikpapan, kemudian darat hingga Sepaku. Bedanya, ia ditangani dengan sistem logistik door-to-door.
Kepala Balai KSDA Kalimantan Barat, Murlan Dameria Pane, menegaskan translokasi ini bukan sekadar pemindahan satwa.
“Kegiatan ini mencerminkan sinergi antarlembaga dalam pelestarian satwa liar endemik Kalimantan. Kami berharap Mungky dapat menjalani kehidupan yang lebih baik dan aman di habitat barunya,” kata Dameria.
Pemulangan keduanya tidak hanya soal penyelamatan satwa, tetapi juga penegasan komitmen berbagai pihak terhadap konservasi orang utan di Borneo. Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD), yang menjadi inisiator suaka ini, menilai perjalanan Mungky dan Dodo adalah momentum penting bagi perlindungan satwa endemik.
“Ini bukan sekadar translokasi, tapi simbol kepedulian banyak pihak terhadap satwa endemik Kalimantan,” ujar Wakil Ketua YAD S. Indrawati Djojohadikusumo, Kamis (11/09/2025).
Pemulangan Mungky dan Dodo merupakan langkah penting untuk memastikan kesejahteraan mereka setelah lebih dari satu dekade hidup dalam jeruji.
Mungky diselamatkan dari pemeliharaan ilegal di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, pada 2014. Ia datang dalam kondisi sehat secara fisik, tetapi sudah kehilangan banyak perilaku alaminya.
“Kalau dari segi fisik dan kesehatan, dia bagus, sehat, anatomis lengkap. (Hanya) data tingkah lakunya tidak bisa didapat. Karena sudah lama dipelihara, dia tidak bisa dilepasliarkan,” jelas Manajer Program Sintang Orangutan Center drh. Vicktor Vernandes.
Sementara itu, Dodo memiliki cerita yang lebih panjang. Ia diamankan dari rumah warga di Bogor pada 2008. Hampir sepanjang hidupnya, ia tidak pernah merasakan hutan.
“Walaupun secara medis, Dodo dinyatakan sehat, namun karena ia sudah berada di dalam kandang sejak lahir, insting survive-nya sangat kecil,” ujar drh. Anatasha Reza Widiantoro, dokter hewan dari PPS Cikananga, tempat Dodo dirawat selama 17 tahun.
Kedua orang utan ini kini dititiprawatkan di pusat konservasi Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara.
Ke depannya, Mungky dan Dodo akan menempati Pulau Kelawasan, sebuah pulau suaka semi-liar yang sedang dibangun di wilayah IKN. Pulau ini menjadi model baru konservasi, tempat orang utan tetap bisa mengekspresikan perilaku alaminya meski dengan intervensi manusia.
Dukungan dari IKN dan BKSDA Kaltim
Bagi Otorita IKN, kehadiran Mungky dan Dodo menjadi bagian dari upaya memperkaya biodiversitas di kawasan calon ibu kota baru. Direktur Pengembangan Pemanfaatan Kehutanan dan Sumber Daya Air OIKN, Pungky Widiaryanto, menyebut dua satwa endemik Kalimantan ini menambah warna baru Ibu Kota Nusantara di masa depan.
“Dengan perpindahan ini, keanekaragaman hayati di IKN akan semakin kaya. Kehadiran mereka di Pulau Kelawasan adalah simbol bahwa pembangunan bisa berjalan seiring konservasi,” katanya.
Senada, Kepala Balai KSDA Kalimantan Timur, Ari Wibawanto menambahkan, pemindahan Mungky dan Dodo terakait dengan kesejahteraan satwa. Meski bukan di alam liar sesungguhnya, setidaknya Pulau Kelawasan, dua orang utan ini merasakan masa tua serasa berada di alam.
“Ketika mereka tidak bisa dilepasliarkan, paling tidak mereka dapat hidup di habitat alaminya. Mereka bisa mengekspresikan perilaku alami, bukan lagi di dalam kandang, melainkan di hutan Borneo,” kata Ari.