Lebih Dekat dengan Didong: Simfoni Budaya Gayo dalam Syair, Musik, dan Gerakan

1 day ago 8

Liputan6.com, Blangkejeren - Di tengah-tengah dataran tinggi Gayo yang berhawa sejuk dan berbalut pesona alam yang memesona, tersembunyi sebuah warisan budaya yang bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntunan yang sarat makna. Didong, demikian nama kesenian tradisional ini, merupakan ekspresi budaya yang khas dari masyarakat Aceh Tengah, terutama di kalangan suku Gayo. Didong bukanlah kesenian yang lahir dari ruang kosong ia merupakan cerminan dari semangat kolektif, nilai-nilai sosial, dan tradisi lisan yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat.

Kesenian ini merupakan paduan indah antara syair yang disuarakan dalam bahasa Gayo yang kaya metafora, irama musik yang dimainkan dengan alat-alat sederhana seperti bantal didong yang dipukul berirama, serta gerakan-gerakan tubuh yang dinamis namun penuh makna. Dalam setiap pertunjukannya, Didong menyuguhkan semacam simfoni budaya yang tak hanya menghibur, tetapi juga mendidik dan membentuk karakter masyarakat. Didong berkembang di lingkungan masyarakat agraris yang menjunjung tinggi nilai-nilai gotong royong dan solidaritas sosial. 

Dahulu, pertunjukan Didong sering digelar di bale (balai desa) atau di lapangan terbuka sebagai hiburan rakyat selepas panen atau menjelang musim tanam, sekaligus menjadi media penyebaran pesan moral, pendidikan, hingga sindiran sosial yang disampaikan melalui syair. Setiap grup Didong, yang disebut ceh didong, akan beradu kreativitas menyusun syair-syair yang tidak hanya indah secara bunyi, tetapi juga mengandung filosofi dan kritik sosial. Dalam pertunjukan yang bisa berlangsung semalam suntuk ini, dua kelompok akan saling bertukar syair dalam format seperti debat yang berbalas-balasan, namun tetap dalam suasana yang santun dan penuh estetika.

Penonton pun diajak terlibat secara emosional, karena setiap bait syair yang dilantunkan mampu menggugah, mengajak berpikir, bahkan menghibur dengan jenaka yang khas. Uniknya, dalam Didong, syair tidak hanya dinyanyikan, tetapi juga diiringi dengan hentakan-hentakan ritmis menggunakan bantal yang dipukul ke telapak tangan atau paha, menciptakan bunyi perkusif yang khas.

Hentakan tersebut dilakukan secara serempak oleh para penampil yang duduk berjejer, menciptakan efek akustik yang menakjubkan. Gerakan tangan, kepala, dan tubuh mereka pun mengikuti irama, menambah daya tarik visual dari pertunjukan ini.

Latihan Serius

Sinkronisasi gerak dan bunyi ini menuntut latihan yang serius dan kebersamaan yang erat antar anggota kelompok. Di sinilah terletak kekuatan Didong sebagai bentuk seni kolektif, ia bukan hanya memerlukan suara dan syair yang bagus, tetapi juga kekompakan, rasa, dan penghayatan yang mendalam.

Hal ini mencerminkan filosofi hidup masyarakat Gayo yang selalu menjunjung tinggi kebersamaan dan harmoni dalam kehidupan sosial mereka. Lebih dari sekadar hiburan, Didong telah menjadi wadah pelestarian nilai-nilai adat, sejarah, dan identitas budaya Gayo.

Dalam banyak syairnya, Didong menyuarakan pesan-pesan religius, semangat perjuangan, pentingnya pendidikan, hingga pelestarian lingkungan. Bahkan dalam perkembangannya di era modern, Didong telah mengalami transformasi baik dari segi bentuk pertunjukan maupun tema yang diangkat.

Generasi muda kini mulai mengemas Didong dengan pendekatan yang lebih segar, seperti menggabungkan unsur puisi kontemporer, menyisipkan pesan-pesan sosial yang kontekstual, atau menampilkan Didong dalam festival-festival seni lintas daerah. Namun demikian, esensi dari Didong tetap terjaga sebagai media komunikasi budaya yang hidup, yang mampu beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan jati dirinya.

Melestarikan Didong di tengah arus globalisasi budaya bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan kesadaran kolektif dari masyarakat, dukungan dari lembaga kebudayaan, serta perhatian dari pemerintah daerah untuk menjadikannya sebagai bagian dari pendidikan karakter dan identitas lokal.

Kesenian ini tidak hanya penting bagi masyarakat Gayo, tetapi juga bagi kekayaan budaya Indonesia secara keseluruhan. Didong adalah contoh nyata bahwa seni tradisi dapat menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara generasi tua dan muda, antara lokalitas dan universalitas.

Ia adalah bukti bahwa dari sebuah dataran tinggi yang sunyi, dapat lahir suara-suara yang lantang menyuarakan kemanusiaan, kebijaksanaan, dan cinta akan budaya. Maka, menjaga Didong bukan sekadar melestarikan tradisi, tetapi juga merawat jiwa sebuah bangsa.

Penulis: Belvana Fasya Saad

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |