Liputan6.com, Gunungkidul Suasana di Bangsal Sewokoprojo, Kamis (24/7/2025), terasa berbeda dari hari biasanya. Aroma kembang setaman menyeruak, air jeruk nipis dan warangan disiapkan dengan hati-hati, dan pusaka-pusaka tua dibaringkan di atas kain mori putih. Di tempat bersejarah inilah, untuk pertama kalinya, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul menggelar Jamasan Tosan Aji, sebuah ritual sakral dalam tradisi Jawa untuk membersihkan pusaka, sekaligus menyucikan nilai-nilai leluhur.
Lebih dari sekadar pencucian benda warisan, jamasan dalam budaya Jawa mengandung makna spiritual yang mendalam. Tosan Aji yang mencakup keris, tombak, wedung, hingga patrem bukan hanya senjata pusaka, tetapi simbol keutamaan hidup. “Ini adalah nilai-nilai ini, yang diwariskan secara turun-temurun,” kata Bupati Gunungkidul, Endah Subekti Kuntariningsih.
Ia menegaskan hal tersebut dipercaya mampu membentuk karakter manusia Jawa yang halus budi dan kokoh pendirian. kegiatan ini juga bukan sekadar pelestarian benda budaya, melainkan pengingat akan jati diri. "Tosan Aji adalah simbol kearifan, keberanian, dan keteguhan. Nilai-nilai ini penting untuk kita hidupkan kembali sebagai fondasi membangun karakter bangsa yang tangguh dan beradab," ujar Endah.
Ia menambahkan, proses jamasan juga bermakna sebagai penyucian jiwa, sebuah upaya membersihkan diri dari segala hal yang kotor dalam arti bukan hanya secara fisik, namun juga spiritual. Filosofinya tidak hanya membersihkan rongkonnya saja, tapi juga membersihkan segalanya secara batin. Prosesi yang digelar di Bangsal Sewokoprojo ini melibatkan pusaka-pusaka milik Pemerintah Daerah dan para kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Pusaka-pusaka tersebut dicuci menggunakan air kembang dan bahan alami lainnya, kemudian dilap dengan kain mori putih, mengikuti tata cara adat Jawa yang penuh khidmat.
Bangsal Sewokoprojo sendiri adalah bangunan cagar budaya yang memiliki nilai historis tinggi. Dengan menggelar jamasan di tempat ini, Dinas Kebudayaan berharap bisa memantik ketertarikan masyarakat, terutama generasi muda, terhadap warisan budaya nenek moyang.
Tak berhenti pada kalangan pejabat, kegiatan serupa juga akan difasilitasi bagi masyarakat umum di 10 lokasi berbeda. Bupati menyebutkan bahwa banyak petani dan pedagang di Gunungkidul yang juga memiliki pusaka. "Sesuai dengan kodamnya masing-masing, ada yang untuk penglarisan, pertanian, dan sebagainya. Maka kita fasilitasi juga masyarakat untuk melakukan jamasan," ujarnya.
Kepala Dinas Kebudayaan Gunungkidul, Chairul Agus Mantara, mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan inisiatif bersama antara Dinas Kebudayaan dan para abdi dalem. Gagasan itu muncul dari kepedulian Bupati terhadap pentingnya merawat tradisi yang mulai terpinggirkan. "Kegiatan ini baru pertama kali kami selenggarakan. Sebelumnya belum pernah ada jamasan ageng seperti ini di lingkungan pemerintah. Harapannya, ke depan bisa menjadi agenda tahunan dan menjadi daya tarik wisata budaya," jelas Agus.
Sementara itu, bagi jajaran kepala bagian dan pegawai pemerintah daerah, prosesi lanjutan akan digelar di Taman Budaya Gunungkidul pada pekan berikutnya. Kegiatan ini sekaligus menjadi sarana edukasi kebudayaan. “Ternyata tidak banyak yang tahu bahwa keris itu memiliki pamor yang sarat makna, bukan hanya sekadar motif. Ada pamor cunjung derajat, udang emas, jaran goyang, dan lainnya. Ini penting dikenalkan kepada anak-anak kita,” lanjut Agus.
Melalui kegiatan ini, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul berharap agar pelestarian budaya tak hanya berhenti di tataran seremoni, tetapi benar-benar menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. "Saya mengajak seluruh elemen masyarakat untuk melestarikan budaya sebagai warisan yang memperkuat jati diri bangsa," pungkasnya.
Arak-arakan itu memecah keheningan di Pakan Raba'a, Satu Nagari di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Bararak, merupakan bagian prosesi yang khas dari rangkaian pernikahan adat Minangkabau.