Kisah Perempuan Tangguh di Tengah Banjir Denpasar

2 days ago 10

Liputan6.com, Jakarta Rabu dini hari, air mulai naik di kawasan Pulau Biak II nomor 11, Denpasar. Hujan deras yang mengguyur sejak malam sebelumnya membuat debit sungai meluap, merendam permukiman hingga ketinggian air mencapai dua meter.

Jalan Pulau Biak merupakan salah satu wilayah yang terdampak air bah cukup parah, selain dari 231 titik banjir lain yang ada di Bali.

Dalam hitungan jam, kontrakan dan indekos yang biasanya menjadi tempat tinggal nyaman berubah menjadi genangan besar penuh lumpur.

Hari berganti, suasana Kamis pagi kemarin tampak kacau. Warga bergegas menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi. Kendaraan yang terparkir di halaman direndam oleh air bah.

Pengungsi didominasi anak-anak dan wanita. Sementara para lelaki, bertahan di tengah rendaman banjir.

Sekira pukul 10.00 hari itu, banjir mulai surut dengan intensitas hujan yang rendah. Warga mulai menyelamatkan apa saja yang masih bisa diambil dari rumah mereka.

Kursi, kasur, lemari, bahkan alat dapur dikeluarkan ke halaman atau pinggir jalan. Semuanya basah kuyup, beberapa bahkan sudah tidak bisa dipakai lagi.

Warga terlihat sibuk mengangkat barang, mencari benda yang bisa diselamatkan, dan membersihkannya dari lumuran lumpur.

Ari Ardani (47), perempuan pemilik lahan dan indekos bertutur, terdapat sekitar 50 kepala keluarga (KK) yang menghuni kawasan itu.

“Kos-kosan ini semua ada sekitar 47 rumah. Kalau sama yang di depan, ada 50-an orang tinggal di sini. Semuanya terdampak,” kata Ari, Kamis (11/09/2025).

Bagi Ari, banjir kali ini adalah yang terparah dalam hidupnya. Ia masih ingat, pernah juga mengalami banjir pada 12 tahun lalu, tetapi tidak sampai menggenangi kamar, apalagi mencapai atap rumah. Kali ini, air naik begitu cepat hingga melampaui kepala orang dewasa.

“Ini adalah banjir yang terparah untuk tahun ini. Pernah banjir sekitar 12 tahun lalu, itu enggak sampai naik ke kamar. Tapi hari ini sampai di atas kepala,” cerita Ari.

Saat kejadian, Ari sedang berjualan di Pasar Badung. Air sudah mulai masuk ke pasar, membuatnya cemas. Ia segera menelepons anak dan suaminya di rumah.

Dari ujung telepon, keluarganya panik memberi kabar bahwa air terus naik. Waktu itu masih pukul dua dini hari.

“Di Pasar Badung itu udah naik airnya, terus saya telepon anak saya, suami saya. Mereka kaget, katanya, air udah naik, Bu. Itu jam 2 pagi,” kenangnya.

Ia pun mencoba pulang. Namun perjalanan menuju rumah penuh rintangan. Motor terpaksa ditinggal jauh dari rumah, lalu ia melanjutkan dengan berjalan kaki di tengah air setinggi dada orang dewasa.

“Saya harus taruh motor jauh dari rumah, jalan kaki ke sini. Di jalan raya air sudah segini (dada orang dewasa). Arus deras sekali,” ujarnya.

Ketika akhirnya tiba di depan rumah, Ari sempat diliputi ketakutan. Membuka pintu bisa membuat lumpur dan kotoran masuk semakin banyak. Tetapi yang terpenting baginya hanya satu: bertemu keluarga.

“Pokoknya saya berusaha biar ketemu sama suami, sama anak saya. Udah enggak enak hati. Saya harus melawan arus. Astungkara saya bisa sampai di rumah,” kata Ari.

Syukurlah, keluarga Ari berhasil menyelamatkan diri dengan naik ke bangunan tingkat yang belum rampung. Namun, harta benda dan usahanya luluh lantak diterjang banjir.

Ari bukan sekadar pemilik indekos. Ia juga seorang pengusaha kue yang sudah 10 tahun berjualan di Pasar Badung. Dari usaha inilah ia menopang keluarganya, terutama karena suaminya sakit-sakitan.

Namun, banjir kali ini memporak-porandakan semua peralatan dan bahan yang ia miliki.

“Motor saya mati, elektronik saya habis. Rice cooker tiga rusak, kulkas dua enggak bisa dipakai lagi. Blender, semua alat kue, bahan kue habis. Usaha yang saya rintis juga hancur lebur,” katanya.

Ari menjual berbagai macam kue basah, bolu, dan jajanan pasar yang biasa dibutuhkan masyarakat Bali untuk acara adat. Kini, semua tidak bisa lagi ia produksi.

“Itu usaha kue saya sudah 10 tahun. Karena saya tulang punggung keluarga, suami sakit-sakitan. Saya punya anak dua, masih kecil, dua lagi sudah kerja untuk dirinya sendiri. Saya nanggung semuanya,” ujarnya lirih.

Meski terpukul, Ari berusaha tetap tabah. “Saya menata lagi dari nol. Dari nol, saya tidak mau nyerah. Harus tetap senang-senang, karena anak-anak masih butuh ibu,” tegasnya.

Di kontrakan yang sama, Ibu Aldo (57) juga menanggung kerugian besar. Usaha herbal dan alat terapi yang ia jalani sejak 2013 luluh lantak diterjang banjir.

“Herbal sama alat terapi semuanya hancur. Stok susu kambing, berapa karton, semua enggak bisa dijual. Kerugian di atas Rp 100 juta. Belum laptop, elektronik lain. Semua habis,” ujarnya.

Ironisnya, sebelum banjir, Aldo baru saja datang dari Jawa dengan membawa stok baru. Ia berniat melengkapi persediaan agar anak-anaknya tidak kekurangan. Namun, semua yang disimpannya kini rusak.

“Ini terparah. Pernah banjir besar dulu, tapi tidak separah ini. Semua hancur,” tambahnya.

Saat ditemui, ia sibuk membersihkan rumah yang penuh lumpur. Kardus-kardus susu kambing harus dibongkar satu per satu, sementara alat-alat terapi tergeletak rusak.

“Yang paling dibutuhkan sekarang makan, baju, air bersih. Bajunya enggak ada yang kering. Semua basah,” katanya.

Teteh Tarini (53), perantau asal Cimahi, Jawa Barat, sudah 15 tahun tinggal di Bali dan 10 tahun menetap di kontrakan Pulau Biak. Ia menggeluti usaha pembuatan korden. Namun, banjir kali ini membuat semua hasil kerjanya rusak.

“Ini yang paling parah. Kalau dulu enggak sampai separah ini. Air mulai naik jam 3 pagi, deras sekali,” ujarnya.

Meski usaha dan rumahnya terdampak, Tarini masih berusaha membantu tetangganya. Ia bersama teman-teman membagikan nasi bungkus.

“Alhamdulillah kalau makanan enggak kekurangan. Tapi yang dibutuhkan sekarang selimut, air minum, air bersih. Anak-anak kecil kasihan, semua kerendam, kasur dan selimut juga basah,” katanya.

Hingga hari kedua pascabanjir, warga masih mengandalkan bantuan dari sesama. Ada yang membawakan makanan, ada pula yang sekadar membantu membersihkan lumpur.

Di antara puing-puing dan barang rusak, terlihat ikatan kuat antarwarga. “Teman-teman ada yang datang ke sini bawain makan. Saya bagi-bagiin, dikasih 100 bungkus. Ada 50 lebih orang di sini. Sisanya saya bagikan ke warga lain,” kata Ari.

Meskipun banyak yang kehilangan mata pencaharian, semangat gotong royong menjadi penguat. Saling berbagi dan menolong membuat mereka masih bisa bertahan di tengah keterpurukan.

Ia berharap bantuan pemerintah dapat segera diberikan secara merata terhadap masyarakat yang terdampak banjir di Bali.

“Harapan saya ada bantuan dari pemerintah. Terus cepat ada petugas kebersihan ke sini. Kita nggak mungkin begini terus. Kalau petugasnya nggak gercep, makin parah masalah di sini,” ujarnya.

Meski banyak kehilangan, warga sepakat bahwa keselamatan keluarga jauh lebih berharga. Bagi Ari, kebersamaan dengan suami dan anaknya menjadi penguat untuk kembali bangkit.

“Anak saya senang, bapaknya juga senang karena bisa berkumpul lagi. Usaha hancur masih bisa dicari, tapi keluarga itu yang utama,” tuturnya.

Kisah Ari, Aldo, dan Tarini hanyalah sebagian dari ratusan cerita warga Denpasar yang terdampak banjir. Mereka adalah pelaku UMKM yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, bahkan penopang ekonomi lokal.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |