Kisah Induk dan Anak Orang Utan Kalimantan Pulang ke Hutan

1 day ago 9

Liputan6.com, Jakarta Panas menyengat di Tempurukan, Kabupaten Ketapang, saat dua sosok berambut jingga dipindahkan dari tepi kebun karet. Individu induk dan anak orang utan, wajahnya sendu, matanya menatap langit pernah menjadi rumah. Di tangan para petugas konservasi, mereka bukan sekadar satwa liar, melainkan simbol luka panjang antara manusia dan hutan kian terkikis.

Translokasi ini bukan sekadar agenda birokratis. Di balik kabut pagi menyelimuti Desa Tempurukan, sebuah tim kecil bergerak dalam diam.

Mereka bukan pahlawan bertali leher, melainkan para penebus dosa manusia yang mencoba memperbaiki apa yang telah dihancurkan manusia lain.

BKSDA Kalbar, YIARI, dan PT HKD bersatu bukan untuk pesta-pesta CSR, tapi untuk mengevakuasi sepasang induk-anak orang utan. Dua nyawa menjadi saksi bisu betapa kita telah mengubah rumah mereka menjadi sisa-sisa.

Di atas kertas putih itu disebut 'translokasi. Tapi di balik kata formal itu, tersimpan kisah pilu konflik manusia dan satwa liar makin sering karena habitat perlahan menguap.

Laporan warga datang bertubi-tubi. “Orang utan masuk kebun lagi, makan buah cempedak,” begitu pengaduan yang berulang.

Bukan karena mereka nakal, karena mereka lapar. Hutan tempat mereka mencari makan kini jadi kebun kelapa sawit, tambang, Hutan Tanaman Industri (HTI) hingga bauksit.

Tim WRU BKSDA dan Orangutan Protection Unit (OPU) YIARI segera turun ke lapangan. Mereka bukan hanya membawa peralatan medis, tapi juga harapan agar dua nyawa ini bisa hidup kembali di rumah yang lebih ramah.

Kepala Balai KSDA Kalimantan Barat, Murlan Dameria Pane, menjelaskan kondisi yang diharapkan tentunya terwujudnya harmoni kehidupan antara manusia dengan satwa liar.

"Untuk itu diperlukan pemahaman dan kerjasama semua pihak,” kata Murlan Dameria Pane pada Selasa, (4/11/2025).

Langit Kembali Terbuka

Pagi itu, udara lembab bercampur aroma getah karet dan tanah basah. Tim YIARI bersiap dengan senapan bius. Tak ada heroisme di sana, hanya ketelitian.

Dosis dihitung hati-hati, bukan untuk menaklukkan, tapi menenangkan. Saat peluru bius melesat, waktu seolah berhenti. Induk orang utan terjatuh lembut ke jaring, anaknya bergeming di pelukan udara yang dingin.

Proses pembiusan orang utan ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Dihitung berdasarkan ukuran tubuh dan beratnya. Ini bukan sekadar pekerjaan, ini tanggung jawab hidup.

Setelah pemeriksaan medis, hasilnya menggembirakan keduanya sehat. Tak ada luka, hanya trauma yang tak bisa dilihat.

Dalam tiga jam perjalanan menuju kawasan Hutan Kencana Damai, mobil bak terbuka membawa mereka kembali ke rumah. Di jalan berlumpur itu, manusia menebus dosanya dengan langkah pelan.

Setibanya di lokasi, warga ikut membantu membuka jalan. Di tengah hutan yang masih tersisa, mereka disambut rimba yang sunyi.

Begitu dilepaskan, induk orang utan memeluk anaknya erat, lalu berlari menjauh. Tak ada kata perpisahan, hanya langkah kembali ke kebebasan.

“Langkah ini merupakan win-win solution yang menguntungkan semua pihak,” kata Ketua Umum YIARI, Silverius Oscar Unggul.

Translokasi ini bukan hanya menjamin keselamatan orang utan Kalimantan, tapi juga meminimalkan kerugian warga.”

Namun di balik kisah heroik itu, ada kenyataan getir. Ketua Umum YIARI, Silverius Oscar Unggul menambahkan, kawasan tersebut sudah mengalami degradasi dan fragmentasi habitat parah akibat konversi lahan ke perkebunan dan encroachment di kawasan hutan.

Sebuah kalimat sederhana, tapi menampar nurani. Artinya, rumah mereka tak lagi utuh. Hutan Kalimantan kini lebih sering diukur dengan hektare ekonomi bisnis ketimbang detak kehidupan di dalamnya.

Translokasi mungkin menyelamatkan dua individu orang utan, tapi tidak seluruh spesies. Jika akar persoalannya perusakan habitat tak disembuhkan, translokasi hanya menjadi penangguhan penderitaan.

Hutan bisa ditebang, tapi jejak kehilangan akan tumbuh kembali dalam bentuk konflik.

YIARI sendiri adalah lembaga yang bekerja di garis depan penyelamatan primata Indonesia. Tak hanya mengevakuasi, mereka juga memulihkan, melepaskan kembali, dan memantau pasca-lepas.

Pendekatan holistiknya memadukan manusia, hutan, dan satwa menjadi satu ekosistem yang seharusnya tak terpisahkan.

Rimba, Rumah Dilupakan

Di tengah deru alat berat dan aroma solar di perkebunan dan pertambangan bauksit, translokasi orang utan ini seperti sebaris puisi lirih dari rimba. Mereka, makhluk yang berbagi 97 persen DNA dengan manusia, kini harus menyesuaikan diri di hutan semakin sempit.

Namun, kisah ini juga menyimpan harapan. Ketika aparat konservasi, lembaga swadaya, dan masyarakat bahu-membahu, setitik cahaya muncul di ujung rimba.

Kolaborasi itu bukan sekadar proyek, tapi perwujudan empati ekologis yang mulai tumbuh lagi di tengah kerakusan manusia modern.

Mungkin umat manusia lupa, bahwa menjaga orang utan bukan hanya soal satwa, tapi soal menjaga nurani. Mereka adalah cermin memantulkan keserakahan dan kepedulian kita sekaligus.

Sebuah Simfoni Pulang

Sore itu, di antara pepohonan hutan Kencana Damai, induk orang utan dan anaknya menghilang di balik daun. Di kejauhan, terdengar suara burung menembus sunyi. Dunia seperti berhenti sejenak untuk memberi rasa hormat.

Translokasi orang utan Kalimantan ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang membangun kembali hubungan manusia dengan alam. BKSDA, YIARI, dan warga Ketapang telah menulis satu bab kecil dalam kisah panjang konservasi Kalimantan.

Jika semua ikut mendengar, kelak rimba akan bernyanyi lagi tentang rumah, tentang harmoni, dan tentang dua sosok berambut jingga pernah diselamatkan dari pinggir kebun karet.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |