Darurat Ruang Hidup Suku Rimba Terakhir Kalimantan

1 month ago 17

Liputan6.com, Jakarta Di balik bentang hutan Kalimantan Utara yang semakin menyempit, masih ada sekelompok masyarakat yang hidup dengan cara leluhur yaitu berburu, meramu dan menggantungkan hidup pada rimba. Mereka adalah sebagian kecil Suku Punan Batu yang mendiami bentang alam Gunung Benau – Sungai Sajau di Kecamatan Tanjung Palas, Kabupaten Bulungan.

Komunitas ini kini terkenal dengan sebutan suku rimba terakhir di Pulau Kalimantan. Penelitian genetik mengungkapkan, DNA komunitas ini merupakan salah satu yang tertua di dunia, bahkan memiliki bahasa kuno yang tidak banyak dikenal.

Tradisi dan pola hidup mereka membuat antropolog menempatkannya dalam kategori hunter-gatherer, suatu bentuk kehidupan seharusnya hanya ada dalam sejarah nenek moyang bangsa Indonesia.

Bagi Punan Batu, hutan bukan sekadar tempat mencari makanan, melainkan juga benteng identitas dan ruang budaya. Dari sana mereka memperoleh umbi-umbian, madu, hasil hutan, serta hewan buruan.

Dahulu, hutan juga memberi sumber ekonomi dari gaharu, balam, hingga sarang burung walet yang mereka jual kepada ahli waris Sultan Maulana Bulungan. Namun kini, kondisi berubah drastis.

“Sekarang sudah habis karena hutannya menipis,” tutur Adi Prasetijo, dosen antropologi Universitas Diponegoro sekaligus Ketua Tim Terpadu Verifikasi Hutan Adat Punan Batu kepada Liputan6.com, Kamis (4/9/2025).

Berdasarkan informasi yang dirangkum, ruang hidup suku rimba ini kian terimpit. Masyarakat Hukum Adat (MHA) Punan Batu menyuarakan keprihatinan mendalam atas maraknya perambahan hutan di wilayah mereka. Mereka bahkan telah melayangkan surat resmi kepada Pos Pengaduan Gakkum Kehutanan Kaltara, mendesak adanya tindakan tegas untuk menghentikan kerusakan lingkungan.

Wilayah yang mereka jaga sebenarnya sedang dalam proses pengusulan sebagai kawasan geopark ke Kementerian ESDM. Namun, alih-alih terlindungi, kawasan itu justru menjadi sasaran perambahan berulang kali.

Di Gunung Batu Benau, habitat sarang burung walet yang diwariskan secara turun-temurun, perambahan dilakukan menggunakan alat berat. Bahkan disertai praktik jual beli lahan kepada pihak luar.

"Di kawasan ini, perambahan hutan dilakukan dengan menggunakan alat berat, dan terjadi jual beli lahan kepada pihak luar," ungkap Akim Asut, tokoh yang dituakan di komunitas Punan Batu Benau-Sajau.

Kerusakan ini terjadi di bentang seluas 18.000 hektare yang sesungguhnya menjadi rumah bagi Punan Batu. Padahal, sesuai Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, setiap orang yang melakukan perambahan hutan dapat dikenakan sanksi pidana dan denda.

Bagi komunitas yang hanya diisi sekitar 130 warga ini, penegakan aturan menjadi harapan terakhir. Mereka merasa kewalahan menjaga lingkungan yang menjadi sumber hidup mereka sendiri.

Kenyataannya, di tengah tekanan itu, MHA Punan Batu justru menerima penghargaan Kalpataru 2024 kategori Penyelamat Lingkungan. Penghargaan yang tertuang dalam SK Menteri LHK Nomor 574 Tahun 2024 tersebut menjadi bukti pengakuan nasional atas komitmen mereka menjaga hutan, meski secara faktual hutan itu terus terancam.

Masyarakat Hukum Adat

Sebenarnya, satu langkah penting sudah ditempuh. Pada 2023, Pemerintah Kabupaten Bulungan telah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) bagi Punan Batu Benau-Sajau. Ini adalah pintu awal menuju penetapan hutan adat. Namun, perjalanan berikutnya masih panjang dan tidak sederhana.

Pada akhir Juli 2025 lalu, Adi Prasetijo bersama tim melakukan verifikasi lapangan ke wilayah hutan adat Punan Batu Benau-Sajau. Kegiatan ini menjadi langkah penting dalam proses pengakuan resmi, sekaligus memberi harapan baru bagi masyarakat adat yang selama ini berjuang mempertahankan ruang hidup mereka.

“Target utama tim terpadu adalah melakukan verifikasi subyek dan obyek MHA yang diusulkan,” kata Adi.

Ia menerangkan tahapan ini menjadi kunci agar pengakuan masyarakat hukum adat benar-benar sahih dan bisa dipertanggungjawabkan. Verifikasi tidak hanya melihat siapa komunitas yang mengajukan, tetapi juga bagaimana mereka masih mempraktikkan adat istiadat serta mengelola wilayahnya secara turun-temurun.

Menurutnya, verifikasi subyek memastikan bahwa masyarakat Punan Batu memenuhi unsur-unsur sebagai MHA, seperti asal-usul yang jelas, norma hukum adat yang berlaku, kelembagaan adat yang berfungsi, hingga kepemimpinan adat yang diakui masyarakat.

“Sementara itu, verifikasi obyek menekankan pada kejelasan batas wilayah hutan adat, tidak tumpang tindih dengan hak pihak lain, serta adanya bukti sejarah penguasaan wilayah,” ujarnya.

Verifikasi ini, lanjut Adi, adalah tahapan wajib sebelum suatu wilayah adat benar-benar ditetapkan sebagai hutan adat oleh Kementerian Kehutanan. Pemerintah daerah dan pusat memerlukan data yang valid agar keputusan hukum tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari.

Antara Harapan dan Penolakan

Hasil verifikasi awal menunjukkan, dari sisi subyek, Punan Batu memiliki sejarah panjang dan struktur kelembagaan adat yang unik sebagai komunitas hunter-gatherer. Pengakuan dari masyarakat sekitar serta SK MHA dari pemda menjadi bukti kuat. Dari sisi obyek, ada indikasi kuat bahwa wilayah yang diusulkan memang dikelola turun-temurun, termasuk kawasan bukit karst yang berada dalam penguasaan ahli waris Kesultanan Bulungan.

“Secara prinsip, penetapan bisa dilakukan, meskipun ada beberapa penolakan dari kelompok masyarakat lain,” ungkap Adi.

Ia menambahkan, persoalan tersebut nantinya akan difasilitasi oleh pemerintah daerah Bulungan.

“Tim juga meminta pemda membentuk pokja khusus Punan Batu Benau-Sajau untuk membantu menyelesaikan persoalan sekaligus memfasilitasi program-program pembangunan untuk mereka,” ujarnya.

Ada beberapa tahapan yang harus dilalui, mulai dari pengajuan permohonan, verifikasi subyek dan obyek, hingga keluarnya SK Penetapan Hutan Adat oleh Kementerian Kehutanan. Setelah itu, hutan adat resmi diserahkan pengelolaannya kepada MHA yang bersangkutan.

Menurut Adi, tujuan utama penetapan hutan adat bukan untuk memuseumkan Punan Batu, melainkan melindungi hak-hak mereka sebagai masyarakat hukum adat agar bisa hidup sesuai budaya sendiri.

“Mereka juga punya hak untuk berubah dan berkembang, serta mendapatkan akses pembangunan yang sama. Yang diharapkan, perubahan itu tetap selaras dengan tradisi mereka,” katanya.

YKAN: Punan Batu Harus Segera Dilindungi Negara

Pendampingan terhadap masyarakat adat Punan Batu Benau–Sajau juga datang dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). Lembaga ini menekankan bahwa secara administrasi dan prosedural, Punan Batu sudah memperoleh pengakuan.

Hal itu ditandai dengan SK Bupati Bulungan yang menetapkan mereka sebagai Masyarakat Hukum Adat, serta penghargaan nasional Kalpataru 2024 yang diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Secara administrasi dan prosedural pengakuan, warga Punan Batu telah diakui keberadaannya melalui SK Bupati Bulungan dan telah mendapatkan penghargaan nasional lingkungan hidup yakni Kalpataru 2024 lalu,” jelas Senior Manager Program Terestrial YKAN Niel Makinuddin melalui pesan tertulis kepada Liputan6.com.

Niel menegaskan bahwa status Punan Batu sebagai kelompok pemburu-peramu terakhir di Kalimantan menuntut perhatian khusus dari negara. Mereka, kata dia, adalah “the last hunter and gatherer” yang masih aktif hingga kini, sehingga perlu perlindungan segera mengingat ancaman atas ruang hidup dan kehidupan mereka kian nyata.

“Sebagai kelompok pemburu peramu terakhir yang masih aktif di Kalimantan, mereka perlu mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus serta perlindungan oleh negara sesegera mungkin. Mengingat ancaman atas ruang hidup dan kehidupan mereka telah demikian nyata dan serius,” ujarnya.

Ia menambahkan, dalam konteks prioritas kebutuhan, yang paling mendesak bagi Punan Batu saat ini adalah kepastian ruang hidup. Kepastian tersebut diyakini dapat menjamin keberlangsungan komunitas ini di masa depan.

“Sehingga, dalam konteks prioritas kebutuhan orang Punan Batu saat ini yang mendesak adalah kepastian ruang hidup untuk menjamin keberlangsungannya,” tegasnya.

Menurut Niel, pelaksanaan kegiatan verifikasi teknis (vertek) yang tengah berjalan menjadi momentum penting. Ia berharap proses itu mampu memastikan jaminan legal sekaligus keamanan atas kebutuhan ruang hidup masyarakat Punan Batu.

“Untuk itu, pelaksanaan kegiatan vertek ini, diharapkan dapat segera memastikan jaminan legal dan keamanan atas kebutuhan ruang hidup mereka,” tambahnya.

Pesan ini kian mendesak jika melihat ancaman perambahan yang terus berlangsung. Penetapan hutan adat adalah satu-satunya jalan untuk melindungi lanskap hutan yang menjadi basis penghidupan dan budaya Punan Batu. Tanpa itu, upaya melestarikan komunitas rimba terakhir Kalimantan hanya akan tinggal cerita, tergerus laju deforestasi yang kian agresif.

Percepatan penetapan Hutan Adat Punan Batu Benau-Sajau di Bulungan, Kalimantan Utara, menjadi kunci penyelamatan ruang hidup suku rimba terakhir Kalimantan. Proses ini kini berada di tangan Kementerian Kehutanan yang dipimpin Raja Juli Antoni.Dukungan politik dan kebijakan dari kementerian yang dipimpinnya akan sangat menentukan, sebab hanya dengan penetapan hutan adat, masyarakat Punan Batu bisa terhindar dari ancaman perambahan yang terus mengimpit.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |