Liputan6.com, Lampung - Menjalani Ramadhan di negeri dengan mayoritas non-muslim tentu memberikan pengalaman tersendiri. Apalagi jika durasi puasa mencapai 17 jam dengan suhu ekstrem hingga -30 derajat Celsius.
Itulah yang dialami Dandi Efendi, Staf Peneliti di Pusat Studi Mekatronika dan Otomatisasi (PSMO) Universitas Bandar Lampung (UBL), yang menjalani Ramadhan pertamanya di Rusia.
Saat ini, Dandi tengah menempuh pendidikan Magister (S2) Mekatronika dan Robotika di Ural Federal University, Rusia, bersama dua rekannya dari Lab Teknik Mesin UBL, Ilham Miranto dan Putra Saheri.
Sebelum memasuki perkuliahan utama, dia mengikuti kelas persiapan di Tyumen Industrial University, Kota Tyumen.
Puasa di Tengah Dingin dan Durasi Panjang
Di Rusia, lamanya waktu puasa sangat bervariasi tergantung wilayah. Di Moskow, umat Muslim harus berpuasa sekitar 17-18 jam, sementara di daerah utara seperti Murmansk, durasinya bisa lebih dari 20 jam.
Meski begitu, bagi Dandi, tantangan terbesar bukan hanya lamanya puasa, tetapi juga suhu dingin yang ekstrem.
"Meskipun sudah masuk musim semi, suhu masih bisa mencapai -30 derajat Celsius, dan salju masih ada di mana-mana. Bedanya dengan musim dingin hanya langit yang lebih cerah dan durasi siang yang lebih panjang," ujarnya saat dihubungi via WhatsApp, Jumat (14/3/2025).
Selain itu, ketiadaan suasana Ramadhan seperti di Indonesia juga menjadi tantangan tersendiri.
"Di sini bukan mayoritas Islam, jadi tidak ada perayaan khusus saat Ramadhan. Tapi masyarakat Rusia sangat menghargai keberagaman dan memiliki toleransi beragama yang tinggi," jelas dia.
Rindu Masakan Indonesia, Bikin Tempe Sendiri
Selain cuaca dan durasi puasa yang panjang, keterbatasan makanan khas Indonesia juga menjadi tantangan. "Yang paling saya rindukan tentu saja makanan Indonesia, terutama olahan tempe. Di sini harganya sangat mahal. Untungnya, saya membawa ragi tempe dari Indonesia dan berhasil membuat tempe sendiri," ungkap Dandi.
Untuk sahur dan berbuka, dia lebih sering memasak sendiri karena pilihan makanan halal cukup terbatas. Meski demikian, keberadaan restoran Uzbekistan yang menyajikan makanan halal sedikit banyak membantunya.
Terbatasnya Akses ke Masjid
Akses ke tempat ibadah juga menjadi kendala bagi Dandi. "Masjid di Rusia jumlahnya sedikit dan jaraknya jauh, jadi saya lebih sering shalat lima waktu dan tarawih di rumah," tuturnya.
Meski begitu, pengalaman menjalani Ramadhan di Rusia tetap memberikan makna mendalam. "Dukungan komunitas Muslim, semangat berbagi, serta keteguhan dalam menjalankan ibadah membuat bulan suci ini menjadi pengalaman yang sangat berharga," jelas dia.
Ramadhan di negeri orang mungkin tidak mudah, tapi bagi Dandi, setiap tantangan yang dihadapi justru menjadi pengalaman berharga yang semakin memperkaya perjalanan spiritualnya.
Sebagai penerima beasiswa dari Pemerintah Rusia, Dandi juga mengajak mahasiswa Indonesia untuk mempertimbangkan Rusia sebagai destinasi studi.
"Biaya hidup di Rusia sangat murah, masyarakatnya ramah, dan toleransi beragama cukup tinggi. Jadi, jangan takut untuk kuliah di Rusia," pungkasnya.