Liputan6.com, Jakarta - Sisingaan adalah salah satu permata budaya dari Kabupaten Subang, Jawa Barat, yang tak hanya menyuguhkan hiburan visual semata, melainkan juga menggambarkan kedalaman spiritual, simbolisme sosial, serta kekuatan kolektif dalam masyarakat Sunda.
Kesenian ini memiliki bentuk pertunjukan yang khas, yaitu dua boneka singa buatan yang dipikul oleh beberapa orang dan dinaiki oleh anak-anak yang sedang menjalani prosesi penting, biasanya khitanan. Namun lebih dari sekadar hiburan anak, Sisingaan menyimpan nilai-nilai budaya yang erat dengan sejarah perlawanan, semangat gotong-royong, dan makna simbolik tentang harapan masa depan generasi muda.
Kesenian ini tidak muncul begitu saja, melainkan berakar kuat dari perjalanan sejarah masyarakat Subang dalam menghadapi kolonialisme serta kebutuhan mereka akan medium artistik untuk menyalurkan ekspresi kolektif, baik dalam suka maupun duka.
Munculnya Sisingaan pada awal abad ke-20 dipercaya sebagai respons terhadap kekuasaan kolonial Belanda yang kala itu mengintimidasi masyarakat pribumi dengan simbol-simbol kekuatan seperti singa dari lambang VOC.
Maka lahirlah Sisingaan sebagai bentuk sindiran dan resistensi kreatif masyarakat Subang, dengan menggambarkan anak-anak menunggangi singa sebagai perwujudan harapan bahwa kelak generasi penerus mampu menaklukkan segala bentuk penindasan.
Unsur pertunjukan dalam Sisingaan begitu kental dengan estetika khas Sunda. Musik pengiring yang terdiri dari kendang, gong, suling, dan terompet menciptakan suasana meriah dan sakral sekaligus. Gerakan para pemikul boneka singa yang dinamis, kadang melompat, berputar, dan membentuk formasi tertentu, memberikan kesan teatrikal yang memikat.
Anak-anak yang duduk di atas boneka singa pun bukan sekadar penumpang; mereka adalah simbol penerus harapan yang dijaga, dihormati, dan dibawa oleh kekuatan kolektif masyarakat.
Simak Video Pilihan Ini:
Klarifikasi Security Plaza Indonesia Pukul Anjing, Nasarius: Demi Selamatkan Anak Kucing
Masyarakat Sunda
Penampilan Sisingaan juga biasanya dibarengi dengan doa dan ritual tertentu, seperti penyucian alat-alat musik dan pemanggilan roh leluhur, menandakan bahwa pertunjukan ini bukanlah sekadar tontonan biasa, melainkan perwujudan dari nilai-nilai spiritual yang hidup di tengah masyarakat.
Ini menunjukkan betapa eratnya keterkaitan antara seni, adat, dan kepercayaan dalam tradisi Sunda, di mana hiburan tidak pernah sepenuhnya terlepas dari fungsi sosial dan spiritualnya.
Seiring berkembangnya zaman, Sisingaan tetap hidup dan terus berevolusi. Kini, kesenian ini tidak hanya ditampilkan dalam acara khitanan, tetapi juga dalam upacara-upacara penting daerah, festival budaya, bahkan diundang untuk mewakili identitas budaya Subang dalam berbagai ajang nasional maupun internasional.
Pemerintah daerah pun telah menetapkan Sisingaan sebagai warisan budaya takbenda, sebuah langkah penting untuk menjaga kelestariannya. Namun demikian, tantangan tetap ada, terutama dalam hal regenerasi pelaku seni dan ancaman komersialisasi yang bisa mengikis makna sakralnya.
Oleh karena itu, peran masyarakat lokal, seniman, dan pemangku kebijakan sangat penting untuk terus menghidupkan semangat Sisingaan dengan tidak hanya menjadikannya komoditas pariwisata, tetapi juga sebagai media pendidikan budaya, tempat nilai-nilai lokal ditanamkan dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Dengan begitu, Sisingaan tidak hanya akan terus menari di atas bahu para pemikulnya, tetapi juga akan terus hidup dalam sanubari masyarakat Sunda sebagai simbol perjuangan, kebanggaan, dan harapan masa depan yang gemilang.
Penulis: Belvana Fasya Saad