Liputan6.com, Jakarta - Ampiang merupakan salah satu camilan khas dari Sumatera Barat yang secara unik menjadi variasi dari makanan yang sudah lebih dulu populer di berbagai daerah pesisir Indonesia, yaitu otak-otak.
Bila umumnya otak-otak dikenal sebagai makanan berbahan dasar ikan tenggiri yang dibungkus dengan daun pisang lalu dibakar atau dikukus, maka ampiang hadir dengan pendekatan yang berbeda, baik dari segi tekstur, rasa, maupun cara penyajiannya.
Ampiang tetap menggunakan bahan utama yang serupa, yaitu daging ikan yang dilumatkan dan dicampur dengan bumbu rempah khas, namun ia diolah menjadi bentuk lembaran pipih dan tipis yang kemudian dipanggang atau dijemur hingga mengering dan garing seperti kerupuk.
Oleh karena itu, banyak orang menyebut ampiang sebagai kerupuk otak-otak, walaupun cita rasanya lebih mendekati gabungan antara kerupuk ikan dan otak-otak bakar.
Tekstur renyah dan gurihnya membuat ampiang menjadi camilan yang tidak hanya digemari oleh masyarakat lokal, tetapi juga oleh wisatawan yang datang ke Bangka dan mencari oleh-oleh yang unik dan tahan lama. Hal ini menjadikan ampiang sebagai bagian dari identitas kuliner Bangka yang tidak bisa dilepaskan dari budaya pesisir dan kearifan lokal masyarakat Melayu di daerah tersebut.
Secara tradisional, proses pembuatan ampiang melibatkan sejumlah tahapan yang cukup panjang dan teliti. Pertama-tama, daging ikan segar—biasanya ikan tenggiri, belida, atau parang—dibersihkan, dilumatkan, lalu dicampur dengan adonan tepung sagu, bawang putih, garam, merica, dan beberapa jenis bumbu rahasia yang diwariskan secara turun-temurun oleh pembuatnya.
Adonan tersebut kemudian dipipihkan hingga berbentuk lembaran tipis, lalu dibentuk bulat atau oval sesuai selera. Setelah itu, lembaran tersebut dikeringkan di bawah sinar matahari hingga kadar airnya benar-benar berkurang dan teksturnya menjadi keras namun tetap elastis.
Beberapa pengrajin memilih memanggangnya langsung setelah setengah kering, untuk memberikan aroma asap yang khas. Ampiang yang telah jadi memiliki warna putih keabu-abuan dengan bintik-bintik gelap dari bumbu dan serpihan ikan di dalamnya, dan ketika digoreng atau dipanggang, ia mengembang dengan tekstur yang sangat renyah.
Simak Video Pilihan Ini:
Trabas Kamtibmas untuk Antisipasi Karhutla ala Polres Pemalang
Varian Rasa
Dalam masyarakat Bangka, ampiang tidak hanya menjadi camilan santai saat minum teh, tetapi juga sering dijadikan pelengkap hidangan utama, disajikan bersama sambal cuka, sambal terasi, atau bahkan dimakan bersama nasi dan lauk-pauk sebagai pengganti kerupuk biasa.
Dari sisi sejarah dan kebudayaan, ampiang mencerminkan keterampilan adaptasi masyarakat Bangka terhadap hasil laut yang melimpah, serta kecintaan mereka terhadap makanan yang praktis, tahan lama, dan kaya rasa. Awalnya, ampiang kemungkinan besar dibuat sebagai cara untuk mengawetkan sisa adonan otak-otak yang tidak sempat dimasak, sehingga dibuat dalam bentuk pipih agar bisa disimpan lebih lama.
Namun seiring waktu, justru bentuk pipih dan kering inilah yang menjadi favorit banyak orang karena bisa dinikmati dalam waktu lama tanpa mengurangi cita rasa asli dari ikannya. Ampiang juga mencerminkan pengaruh akulturasi budaya Melayu, Tionghoa, dan berbagai etnis lainnya di Bangka Belitung, yang masing-masing memberikan kontribusi dalam hal teknik memasak, bumbu, serta bentuk penyajian.
Dalam acara-acara adat maupun hari besar keagamaan seperti Imlek, Idul Fitri, atau Cap Go Meh, ampiang kerap dihidangkan sebagai pelengkap meja camilan, bersanding dengan kue-kue tradisional seperti kue rintak, getas, atau kue keranjang.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun bentuknya sederhana, ampiang telah menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat dan menyimpan nilai-nilai simbolik yang erat kaitannya dengan rasa kebersamaan dan penghormatan terhadap tradisi leluhur.
Keberadaan ampiang semakin diangkat sebagai ikon kuliner lokal berkat upaya para pelaku UMKM dan pemerintah daerah yang mendorong pengembangan industri makanan khas Bangka.
Tidak sedikit produsen rumahan yang mengemas ampiang secara modern, dengan kemasan vakum dan desain menarik agar mampu bersaing di pasar nasional maupun internasional.
Varian rasanya pun kini semakin beragam, dari yang original berbahan ikan murni, hingga rasa pedas, keju, bahkan seaweed untuk menarik minat generasi muda. Ampiang juga telah diperkenalkan dalam berbagai festival kuliner, pameran makanan, serta oleh-oleh khas daerah yang ada di bandara, pelabuhan, atau pusat perbelanjaan oleh-oleh. Dalam konteks ini, ampiang bukan lagi sekadar
Penulis: Belvana Fasya Saad