Liputan6.com, Jakarta - Bayangkan seorang petani di pelosok Zhejiang, Tiongkok. Dahulu, ia hanya mengandalkan firasat dan warisan pengetahuan turun temurun untuk menentukan waktu tanam, menghadapi hama, dan berharap hasil panen cukup untuk menyambung hidup. Namun kini, berkat kecerdasan buatan, ia bisa mengakses prediksi cuaca akurat, mendapat saran pemupukan yang presisi, bahkan memantau kondisi tanah hanya lewat ponsel sederhana.
Semua itu bukan mimpi, tapi nyata. Berkat kolaborasi antara pemerintah daerah dan perusahaan seperti Alibaba, AI telah masuk ke sawah-sawah dan mengubah nasib jutaan petani. Hasilnya bukan hanya peningkatan produksi, tapi juga pengurangan kemiskinan dan penguatan ketahanan pangan nasional.
Lantas, apa kabar Indonesia?
Kita bukan tidak punya potensi. Faktanya, menurut data dari Boston Consulting Group (BCG) pada 2024, Indonesia adalah pengguna ChatGPT terbanyak keenam di dunia. Di atas Indonesia ada Amerika Serikat, India, Brazil, Meksiko, dan Jepang. Negara berkembang lain seperti Filipina berada di peringkat 10, dan Vietnam di peringkat 13.
Ini menunjukkan bahwa masyarakat—terutama generasi mudanya—sudah akrab dan cepat menyerap teknologi AI. Tapi inilah paradoksnya: meski AI sudah hadir di tangan jutaan orang, pemanfaatannya masih banyak bersifat konsumtif. Digunakan untuk menyontek tugas sekolah, membuat caption instan, atau sekadar hiburan semata. Belum diarahkan untuk menjawab tantangan besar seperti ketahanan pangan, ketimpangan desa-kota, atau pembangunan berkelanjutan.
Di tengah ancaman perubahan iklim dan fluktuasi harga pangan global, ketahanan pangan tak lagi bisa bergantung pada pola lama. Modernisasi berbasis teknologi kini menjadi kebutuhan mendesak, bukan pilihan. Jika tidak ada intervensi, AI bisa berubah dari peluang menjadi jurang.
Kita bisa membayangkan masa depan di mana hanya mereka yang tinggal di kota besar, punya akses internet cepat, dan pendidikan tinggi yang bisa menikmati manfaat AI secara produktif.
Sementara itu, petani di desa, pelaku UMKM, dan para pekerja informal akan semakin tertinggal, terpinggirkan oleh gelombang disrupsi.
Tak hanya itu, pekerjaan-pekerjaan rutin yang selama ini menjadi tumpuan hidup jutaan orang juga mulai tergerus. Generasi muda pun rentan kehilangan daya pikir kritis jika terus-menerus mengandalkan AI sebagai jalan pintas dalam belajar.
Tiongkok memberi pelajaran penting: kunci keberhasilan mereka bukan hanya teknologi, tapi keberanian untuk membangun model AI lokal yang relevan dengan konteks mereka sendiri—seperti DeepSeek, yang mampu memahami bahasa, budaya, dan logika berpikir petani lokal.
Indonesia harus berani mengambil langkah serupa. Membangun infrastruktur digital hingga ke desa, memperkuat literasi digital masyarakat, membentuk pusat riset AI lokal, dan menjalin kemitraan strategis dengan pelaku global—namun tetap dengan pijakan kuat pada kebutuhan bangsa.
Langkah-langkah konkret harus dimulai dari sekarang. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), melalui Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (Kekomdigi), dapat mulai menggandeng perusahaan AI global seperti OpenAI, Google DeepMind, Meta, Alibaba dan Tencent untuk mengembangkan Large Language Model (LLM) lokal berbasis bahasa daerah dan konteks sosial Indonesia.
Model ini akan memungkinkan petani berinteraksi dengan AI dalam bahasa yang mereka pahami, dengan nuansa lokal yang tidak dimiliki oleh model asing.
Selain itu, perusahaan teknologi global yang memiliki infrastruktur AI mumpuni dapat diminta untuk melakukan program edukasi pemanfaatan chatbot bagi petani dan pelaku usaha desa, bekerja sama dengan universitas lokal dan komunitas pertanian. Chatbot dipilih karena sifatnya yang intuitif dan mudah diakses, menyerupai pengalaman berkonsultasi langsung melalui percakapan seperti di WhatsApp—platform yang sudah sangat familiar bagi petani.
Dengan pendekatan berbasis chat ini, petani tidak perlu belajar antarmuka baru yang rumit; cukup bertanya layaknya mengobrol, dan mereka bisa mendapat informasi soal cuaca, penyakit tanaman, atau cara budidaya yang lebih efisien.
Modul edukasi harus disesuaikan dengan keseharian petani: sederhana, praktis, berbasis suara dan bahasa lokal, serta menyentuh langsung permasalahan nyata di lapangan. Yang paling strategis dan mudah untuk direalisasikan adalah kerja sama antara Meta AI dan Komdigi.
Karena WhatsApp sudah digunakan luas di pedesaan, fitur chatbot dapat langsung diintegrasikan dalam grup WA petani yang sudah ada. Ini memudahkan mereka berdiskusi bersama, bertanya, dan saling berbagi pengalaman secara kolektif.
Dengan demikian, keterbatasan dalam kemampuan prompting yang umum terjadi pada petani bisa diatasi melalui pendekatan yang lebih natural, berbasis percakapan sehari-hari. Kompetensi prompting sendiri tetap bisa dikembangkan secara bertahap, terutama dengan melibatkan petani-petani muda yang lebih progresif dan terbuka terhadap teknologi.