Liputan6.com, Jakarta - Timing is everything! Waktu yang tepat itu penting. Dalam komunikasi krisis, waktu dan strategi respons sangat penting dalam memitigasi kerusakan reputasi suatu perusahaan, kelompok, atau individu.
Menurut pakar komunikasi W. Timothy Coombs dalam Situational Crisis Communication Theory (SCCT), cara organisasi atau individu dalam merespons krisis dapat mempengaruhi persepsi publik secara signifikan dan hasil jangka panjang dari situasi tersebut.
SCCT menekankan pentingnya mencocokkan strategi respons krisis dengan tingkat tanggung jawab yang diberikan kepada organisasi atau individu selama krisis, serta perlunya tindakan cepat namun terukur untuk meminimalisasi spekulasi dan menghindari kerusakan reputasi.
Kerangka SCCT memberikan wawasan berharga dalam salah satu kasus yang menyita perhatian publik belakangan ini, yaitu kematian aktris Korea Selatan Kim Sae-ron. Kim Soo-hyun, yang disebut-sebut pernah berpacaran dengan Kim Sae-ron yang masih di bawah umur beberapa tahun lalu, menjadi sorotan.
Nama Kim Soo-hyun terus menggema di jagat media usai kematian Kim Sae-ron, karena dianggap turut berkontribusi atas jatuhnya kondisi mental sang aktris yang memilih mengakhiri hidupnya sendiri.
Spekulasi publik kian meningkat karena Kim Soo-hyun tidak hadir di prosesi pemakaman Kim Sae-ron. Meski ada laporan bahwa agensi Kim Soo-hyun, Gold Medalist, menghadiri pemakaman Kim Sae-ron, hal tersebut tidak dapat membendung persepsi publik bahwa Kim Soo-hyun ‘berhati dingin’ karena tidak hadir secara langsung di sana.
Gugatan Hukum
Selang beberapa waktu, Kim Soo-hyun akhirnya buka suara dalam sebuah konferensi pers yang dipenuhi isak tangis. Ia mengaku pernah berpacaran selama satu tahun dengan Kim Sae-ron, sekitar empat tahun sebelum drama Queen of Tears ditayangkan.
Situasi berubah lebih dramatis ketika Kim Soo-hyun melayangkan gugatan senilai 12 miliar won (setara Rp135 miliar) terhadap keluarga Kim Sae-ron dan saluran YouTube Garosero Research Institute (HoverLab) karena dirinya merasa dirugikan atas berbagai tuduhan dan pemberitaan. Langkah ini menambah lapisan krisis, mengubah narasi dari diam menjadi langkah hukum.
Keputusan Kim Soo-hyun untuk mengajukan gugatan dapat dilihat sebagai upaya mengendalikan narasi, namun perlu dipertimbangkan bagaimana respons keterlambatannya di awal krisis dapat memengaruhi opini publik. Keputusan untuk melayangkan gugatan setelah periode keheningan panjang tidak banyak membantu mengurangi rasa ketidakpastian publik.
Keterlambatan Respons
Dari perspektif SCCT, keterlambatan respons Kim Soo-hyun dapat diartikan sebagai kesalahan dalam komunikasi krisis. Coombs berpendapat bahwa strategi komunikasi krisis harus fokus pada transparansi, akuntabilitas, dan segera merespons, terutama ketika organisasi atau individu dipersepsikan memegang tanggung jawab.
Dalam kasus ini, ketidakhadiran Kim Soo-hyun di pemakaman Kim Sae-ron dan keterlambatannya dalam memberikan pernyataan publik meninggalkan ruang spekulasi, yang berpotensi menyebabkan kerusakan reputasi lebih lanjut.
Dalam situasi seperti ini, keterlibatan yang cepat, seperti menghadiri pemakaman atau mengeluarkan pernyataan publik yang tepat waktu, dapat menunjukkan empati dan komitmen nyata dalam menangani krisis yang ada.
Selain itu, gugatan yang diajukan kemudian dapat dilihat sebagai langkah reaktif, yang menangani masalah kerusakan reputasi namun kurang memiliki elemen proaktif yang dapat memperkuat posisi Kim Soo-hyun dari sudut pandang manajemen krisis. Citra Kim Soo-hyun dapat tetap tercoreng walau dirinya menang dalam gugatan di pengadilan.
Komunikasi Krisis Tepat Waktu
Salah satu prinsip dasar komunikasi krisis adalah urgensi merespons. Semakin lama seseorang atau organisasi bungkam, semakin besar ruang untuk spekulasi, misinformasi, dan reaksi publik.
Kurangnya pernyataan langsung dari Kim Soo-hyun membuat orang mempertanyakan karakter dan hubungannya dengan Kim Sae-ron, dengan beberapa menuduhnya bersikap acuh tak acuh atau bahkan sengaja menjauhinya karena masa lalunya yang bermasalah.
Jika dia memberikan tanggapan tepat waktu dan jelas, Kim Soo-hyun bisa membentuk narasi alih-alih membiarkan opini publik mengisi kekosongan.
Kontroversi Kim Soo-hyun dan Kim Sae-ron menyoroti pentingnya komunikasi krisis yang tepat waktu dan sesuai. Kerangka SCCT ala Coombs dapat dijadikan acuan dalam memahami bagaimana timing dan respons terukur selama krisis dapat membentuk persepsi publik serta memengaruhi hasil dari situasi tersebut.
SCCT menekankan pentingnya merespons dengan cepat dan transparan terhadap suatu krisis, terutama perihal isu-isu sensitif yang bersifat personal dan menyorot perhatian publik.
Penulis: Dr. Witanti Prihatiningsih/ Dosen Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Jakarta