Merayakan Pesta Panen Padi di Lembah Lalang Pagadih Agam

5 hours ago 4

Liputan6.com, Agam - Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, bermodal senter kecil, kami mulai menelusuri perkebunan kopi yang tumbuh hampir setinggi orang dewasa. Di ujung kebun, sebuah gubuk berdiri tepat di pinggir sawah, warna kekuningan terlihat dari daun dan biji padi yang terkena cahaya senter. Malam begitu pekat, di kejauhan, dua titik cahaya terlihat dari bawah tenda di tepi bukit yang ada di sebuah lembah bernama Lalang. Samar-samar, bayangan sejumlah orang terlihat sedang sibuk beraktivitas di bawah penerangan seadanya.

Kami kembali melanjutkan perjalanan, kali ini Madrid berada di posisi depan, sementara saya yang terus menyesuaikan langkah agar tidak tertinggal, berada tepat di belakangnya. Madrid, seorang pemuda di Nagari Pagadih, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, beberapa hari sebelumnya mengabari saya tentang panen padi yang akan digelar di kampungnya. Beberapa kali ia mencoba meyakinkan saya bahwa panen di kampungnya itu, berbeda dari daerah lain, padi yang sudah dipanen diproses hingga malam.

“Semua warga kampung, baik dari Jorong Pagadih Hilia maupun Jorong Banio Baririk, turun ke sawah dan kampung nyaris kosong. Bagi masyarakat, panen padi di daerah lembah Lalang ini ibarat pesta tahunan, semua ikut merayakan,” tuturnya saat kami menyusuri pematang sawah menuju titik cahaya, tempat sejumlah petani sedang memproses padi yang baru dipanen pada Rabu siangnya, 30 April 2025.

Setelah menyeberang parit kecil, aktivitas di dalam tenda itu semakin terlihat, beberapa pria sedang sibuk mengumpulkan padi menjadi sebuah onggokan besar yang baru selesai dipisahkan dari batangnya. Oleh masyarakat setempat, hal itu dikenal dengan sebutan “mairiak”, yaitu memisahkan biji padi dengan cara diinjak dan dipukul menggunakan tongkat kayu. Di dekat onggokan padi tersebut, berdiri sebuah mesin sederhana yang digunakan untuk memisahkan padi yang berisi dan padi hampa serta daun-daun kecil dengan cara dikipas.

Kedatangan kami disambut hangat di bawah tenda terpal berukuran sekitar 4x6 meter, yang dikenal masyarakat dengan sebutan “lampok”. Lima orang lelaki berusia paro baya serta seorang perempuan sedang beristirahat ketika kami dipersilahkan bergabung bersama mereka.

Dua gelas kopi hangat disiapkan sembari kami memulai perkenalan singkat. Dari perbincangan itu, diketahui bahwa lampok itu kepunyaan dari Anisman (57), sementara pria lainnya adalah masyarakat yang datang untuk membantu malam itu.

“Kalau ingin melihat kami mairiak harusnya datang sore atau setelah Maghrib, sekarang yang lain sudah pulang. Tadi ada sekitar 28 orang yang ikut mairiak, sementara siang tadi ada sekitar 25 orang yang membantu menyabit padi,” kata Anisman sambil menggulung tembakau dengan daun enau.

Menariknya, panen padi di daerah Lalang itu dikerjakan secara bergotong royong, tanpa ada imbalan sama sekali. Bahkan,  semua orang yang membantu datang tanpa diundang. Setiap ada yang panen, maka satu persatu masyarakat datang membawa sabit atau arit mereka masing-masing, kemudian ikut memanen, mairiak, malumbo (memisahkan padi berisi dengan padi hampa menggunakan mesin kipas sederhana), hingga mengarungkan padi yang siap dibawa pulang.

“Upah hanya disiapkan bagi yang mengangkat padi dengan cara dipikul. Upahnya berbeda-beda, mulai dari dua sukat, empat sukat, hingga tujuh sukat padi, tergantung sejauh mana mereka mampu mengangkutnya,” tutur Anisman.

Sistem panen yang dikerjakan secara kolektif tersebut sudah berlangsung selama bertahun-tahun, yang merupakan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Sekalipun saat ini teknologi pertanian sudah maju, akan tetapi mereka tetap mempertahankan cara tradisional.

Menurut Kari Iruih, pria berusia parobaya yang malam itu ikut membantu, sebenarnya kelompok tani sudah punya mesin untuk panen. Akan tetapi, menurutnya jika menggunakan mesin tersebut, panen jadi tidak efektif, banyak padi yang terbuang, serta batang-batang padi juga banyak yang hancur. Apalagi jika petani menggunakan mesin saat panen, maka kebersamaan saat panen yang ada selama ini akan hilang.

Bahkan untuk membawa padi sampai ke rumah, mereka menolak untuk menggunakan mobil, dan lebih memilih untuk diangkut dengan cara dipikul kemudian diangkut dengan motor. Hal ini bertujuan untuk menjaga prinsip kebersamaan dan tolong menolong antar sesama masyarakat. Setidaknya, dengan cara seperti itu, akan banyak masyarakat yang terlibat mengangkut padi, dan kemudian menerima upah dari itu.

“Jika dibawa dengan mobil, maka orang yang punya mobil saja yang akan menerima upah, tapi jika dilakukan oleh banyak orang, maka akan lebih banyak yang bisa menerima manfaat,” ujar Anisman.

Sabar (43) yang sedari tadi duduk menyimak perbincangan kemudian ikut menimpali, menurutnya terkadang pada setiap panen itu ada petani yang sebagian besar padinya hanya habis untuk upah angkut. Hal tersebut tergantung pada seberapa jauh padi itu diangkut, jumlah padi yang akan diangkut, serta jumlah orang yang terlibat.

“Terkadang ada petani yang hasil panennya hanya habis untuk upah angkut. Akan tetapi, hal tersebut kembali terbayar ketika petani itu ikut membantu di sawah orang lain, dari situlah padi yang sebelumnya habis untuk upah angkut kembali lagi dengan cara lain,” ujar Sabar sambil menyeruput kopinya.

Setelah berbincang tentang banyak hal, mereka kemudian mulai bersiap-siap untuk malumbo. Di bawah penerangan seadanya, Kari Iruih mulai memasukkan padi ke dalam lumbo atau mesin kipas padi. Mukan, pria berusia 30 tahunan mulai memutar pedal yang ada pada sisi lumbo. Perlahan, Padi yang berisi jatuh ke bagian bawah mesin, sementara padi hampa berikut daun padi terbang ke arah samping.

Di sisi lain, Sabar dan Pak Acin mulai memasukkan padi yang sudah disortir ke dalam karung. Takarannya dihitung menggunakan sebuah ember cat bekas berukuran besar. Satu persatu karung mulai terisi dan disusun di tengah lampok. Setidaknya terdapat sekitar 19 karung atau sebanyak hampir 600 sukat padi yang sudah dipanen pada sawah milik Anisman.

Setelah semua selesai, Nurlaili (50) yang merupakan istri Anisman mulai menyiapkan makanan. Satu buah termos nasi, mangkok besar berisi gulai rebung, satu kotak berisi cabai dan ikan asin, serta beberapa piring dan teko plastik diletakkan di tengah-tengah lampok. Kami yang sedari tadi hanya hadir untuk sekedar berbincang-bincang dan melihat mereka berkerja juga ikut ditawari makan.

“Kalau mau makan, tinggal makan, tidak perlu sungkan atau takut tidak kebagian, kami selalu menyiapkan makanan lebih dari cukup. Tidak hanya bagi pekerja, akan tetapi jika ada orang yang sekedar mampir, kami akan menawarkan mereka untuk ikut makan bersama,” ujar Nurlaili sambil membagikan piring pada kami satu per satu.

Karena tidak ada upah untuk pengerjaan padi di sawah, maka pemilik lampok pun telah menyediakan makanan dan minuman. Jumlah yang disediakan dapat dikatakan cukup banyak, sebab jumlah orang yang akan ikut terlibat dalam panen padi tidak bisa diprediksi. Akan tetapi, rata-rata untuk satu lampok, jumlah orang yang terlibat tidak kurang dari 20 orang.

Nurlaili bahkan menambahkan, kalau datang ke lampok orang yang sedang panen, tak perlu malu untuk ikut makan, walaupun tidak ikut berkerja. Asalkan mau, siapapun bisa pergi ke lampok manapun yang ada di wilayah Lalang untuk sekedar makan. Akan tetapi hal itu hanya berlaku ketika musim panen.

Setelah selesai makan, satu per satu para pria yang ikut membantu perkerjaan malam itu pun mulai pamit untuk pulang ke rumah masing-masing. Kami pun ikut undur diri, sebab esoknya masih ingin melihat proses menyabit padi, mairiak dan mangirai di lampok lain. Sekitar pukul 1 dinihari, kami meninggalkan Anisman bersama istri dan satu anak laki-lakinya yang tidur dan bermalam bersama padi yang esok paginya akan dibawa pulang ke rumah.

Paginya, Kamis, 1 Mei 2025, lampok milik Anisman sudah kembali ramai. Sejumlah pria sedang bersiap mengangkat padi yang pada malam sebelumnya selesai dikerjakan. Satu persatu karung-karung tersebut naik ke pundak mereka untuk dibawa menuju rumah Anisman.

Melewati pukul 9 pagi, satu persatu masyarakat mulai turun ke lembah Lalang, tempat dimana sejauh mata memandang adalah hamparan sawah dengan padi yang sudah menguning. Mereka meyandang sebuah tas rajutan dari daun yang dikenal dengan nama kampia mansiang, beberapa di antaranya juga menggunakan tas sandang berbahan dasar goni atau karung. Di dalamnya terdapat kebutuhan pribadi serta sabit yang akan digunakan untuk menyabit padi dari sawah-sawah yang sudah siap untuk di panen.

Setelah semua padinya diangkut, Anisman kemudian ikut menyandang tas untuk pindah ke sawah lain. Kali ini ia akan membantu untuk menyabit sawah milik kerabatnya, setelah sawah miliknya juga dibantu orang lain. Bersama belasan orang lainnya, laki-laki dan perempuan, yang berasal dari berbagai kalangan usia, ia mulai menyabit rumpun-rumpun padi.

Tidak butuh waktu lama, sawah dengan luas lebih dari satu hektare itu hampir selesai disabit. Tumpukan-tumpukan padi kemudian diangkut ke tempat yang sejak awal sudah dipersiapkan untuk dijadikan lampok. Sebagai sebuah kerja kolektif, seluruh proses tersebut dilakukan tanpa komando, semua orang yang terlibat sudah mengetahui tugas mereka masing-masing. Sementara sebagian orang menyabit padi, sebagian lainnya mengangkut padi dan satu orang bertugas menyusun pagi di lampok.

Hari itu adalah hari ketiga bagi Anisman berada di sawah. Menurutnya, biasanya ia bisa berada di sawah selama sepuluh hari. Selain mengerjakan sawah sendiri, ia juga bekerja untuk sawah milik orang lain. Hal yang sama rata-rata juga dilakukan oleh para petani yang memiliki sawah di daerah Lalang.

“Setelah ini, setidaknya ada delapan lampok lagi yang wajib saya bantu,” katanya.

Ketika musim panen padi tiba, di wilayah Lalang dapat ditemukan sekitar 70 lampok. Untuk menyelesaikan panen di wilayah ini, biasanya akan memakan waktu sekitar 10 hingga 15 hari. Selama musim panen, maka wilayah Lalang yang jauh dari pemukiman ini seketika akan menjadi ramai, bahkan hingga malam hari, sebab sebagian aktivitas dilakukan setelah matahari terbenam.

Secara geografis, Lalang merupakan kawasan lembah yang hampir 100 persen wilayahnya ditanami padi. Wilayah ini jauh dari perkampungan. Oleh karenanya, untuk menggarap sawah di kawasan ini para petani biasanya membuat sebuah gubuk yang digunakan sebagai hunian sementara selama menggarap sawah.

Tidak diketahui sejak kapan tradisi gotong royong, atau di sebagian daerah lain disebut dengan “bakonsi” ini mulai dilakukan. Masyarakat hanya menyebutkan tradisi ini sudah ada sejak lama, sejak zaman orang-orang tua dahulu.

Jika dicocokkan dengan data historis, besar kemungkinan tradisi kebersamaan dalam panen padi ini sudah ada sejak awal abad ke-20, atau bahkan akhir abad ke19. Merujuk pada peta resmi yang dikeluarkan oleh Topograpisch Bureu atau Biro Topografi Belanda yang ada di Batavia pada tahun 1904, diketahui di daerah Lalang sudah terdapat areal pesawahan. Pengumpulan data untuk pembuatan peta tersebut dilakukan selama 9 tahun, mulai dari tahun 1889 hingga 1898, artinya sejak akhir abad ke-19, Lalang sudah menjadi areal persawahan masyarakat.

Prinsip gotong royong, kebersamaan dan saling tolong menolong yang menjadi kearifan lokal masyarakat di Nagari Pagadih tersebut merupakan sebuah warisan budaya yang perlu dilestarikan. Nilai-nilai yang terkandung dalam prinsip tersebut sudah bertahan sangat lama. Sudah menjadi bagian dari identitas masyarakat adat yang berprofesi sebagai petani di Nagari Pagadih. Panen padi yang dilakukan secara kolektif secara tidak langsung sudah membentuk ketahanan pangan serta subsidi silang untuk ketahanan ekonomi mereka sesama petani.

“Di sawah Lalang ini, uang tidak laku, masyarakat mengerjakan semua secara kolektif tanpa mengharap imbalan uang sepersen pun,” ujar Madrid ketika kami beranjak meninggalkan para petani yang sedang sibuk memanen padi di sawah Lalang.

Sebelum meninggalkan Lalang, kami singgah di lampok milik H. B. Datuak Samiak, seorang pemuka adat di Nagari Pagadih. Seperti di lampok sebelumnya, disini kami kembali ditawari makan dan dibuatkan segelas kopi. Panen padi di lembah Lalang memang sudah selayaknya disebut sebagai pesta panen, seperti yang disampaikan Madrid kepada saya hari sebelumnya. Tidak hanya petani, bahkan siapa pun yang datang ke sawah selama musim panen berhak untuk ikut merayakan panen bersama.

Syahrul Rahmat/ Dosen Sejarah STAIN Sultan Abdurrahman Kepri, Peneliti Regalia Institute

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |