Menyoal Pembangunan 4 Batalion Baru di Aceh, Apa Urgensinya?

8 hours ago 4

Liputan6.com, Aceh - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh menolak rencana pembangunan empat Batalyon Teritorial Pembangunan (YTP) di Aceh. Rencana ini dinilai mencoreng komitmen para pihak terhadap perdamaian di Aceh. Komitmen perdamaian tersebut ditandai Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) pada tahun 2005 silam. Nota kesepahaman ini lahir sebagai momentum berhentinya konflik bersenjata selama hampir tiga dekade.

Menurut Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, MoU Helsinki secara gamblang telah membatasi jumlah personel militer dan kepolisian organik di Aceh. Pada poin 4 dalam nota tersebut dinyatakan bahwa, jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. 

Adapun jumlah kekuatan polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang. Sebelum jauh pada rencana menambah batalion, Husna menyarankan agar pemerintah mengecek jumlah personel tentara yang saat ini menempati Aceh.

"Penting bagi pemerintah untuk memonitoring apakah jumlah tersebut masih sesuai dengan kesepakatan, atau diduga malah sudah bertambah sejak lama," tegas Husna, kepada Liputan6.com, Rabu (7/15/2025).

MoU Helsinki juga menegaskan soal tidak akan adanya pergerakan tentara besar-besaran setelah penandatanganan kesepakatan tersebut. KontraS Aceh dengan tegas menyatakan bahwa pembangunan empat batalion ini bertentangan dengan ketentuan-ketentuan tersebut.

"Artinya, rencana pembangunan empat bataliom ini dapat mengancam stabilitas perdamaian yang telah dijaga selama hampir 20 tahun di Aceh," ungkapnya.

KontraS Aceh juga menyoroti lambannya proses reformasi institusi di Aceh, berangkat dari keadilan transisi pasca konflik silam. Agenda ini dinilai masih jauh dari harapan, mengingat tidak adanya akuntabilitas dan jaminan, bahwa tidak akan ada individu-individu terduga pelaku pelanggaran HAM masa lalu bisa menduduki jabatan strategis militer di Aceh.

"Tanpa itu, keadilan transisi di Aceh jelas melemah, karena pemerintah abai pada hak korban untuk mendapat jaminan ketidakberulangan," jelas Husna.

Ekspansi Ranah Sipil

Lantang tersiar bahwa Dinas Penerangan Angkatan Darat mengeklaim pembentukan batalyon teritorial ini ditujukan untuk mendukung pencapaian swasembada pangan, bahwa nantinya setiap batalyon bakal dilengkapi unsur kompi peternakan, pertanian, perikanan, dan kesehatan. Keempat batalion ini akan dibangun di Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil. Pernyataan tersebut terdengar sumbang. Itu dikarenakan keberadaan batalion yang dilengkapi dengan kompi peternakan, pertanian, perikanan, dan kesehatan itu malah akan melucuti peran-peran masyarakat sipil. 

Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna mengatakan seharusnya tugas tersebut dipimpin oleh sipil, dalam hal ini pemerintah daerah dengan menjalankan peran subordinasi. Keberadaan empat batalion ini dirasa hanya bagian dari penerapan dwifungsi ABRI yang dicetuskan kembali oleh rezim yang berkuasa.

"Kita punya Bulog, Dinas Pertanian, kelompok tani, dan lain-lain, yang memang ahlinya. Ada peran subordonasi di sana, sehingga solusinya bukan malah pembentukan batalion," imbuhnya.

Menjadikan TNI sebagai alat negara dalam sektor-sektor tersebut dikhawatirkan berpotensi melanggengkan militerisasi sipil. Beleid ini berpeluang menciptakan ketegangan, tindakan represi, dan pelanggaran HAM.

"Penambahan pasukan perlu dipertanyakan. Jika alasan utamanya untuk ketahanan pangan, ini lebih tepat menjadi kewenangan sektor sipil, TNI tidak seharusnya mengambil alih tugas sipil," tegasnya.

Keadilan Transisi Masih Jauh Panggang dari Api

Menurut Koordinator KontraS Aceh, hingga saat ini proses keadilan transisi di Aceh masih jauh dari kata selesai. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh telah mengidentifikasi sedikitnya 6.000-an data kesaksian pelanggaran HAM yang terjadi antara tahun 1976 hingga 2005 di Aceh, sayangnya belum ada tindak lanjut yang signifikan dari pemerintah dalam pemenuhan hak-hak korban berkaitan dengan kebenaran, pemulihan dan rekonsiliasi.

Sementara itu, pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2022 juga belum memberikan hasil yang memadai. Tiga kasus pelanggaran HAM berat di Aceh —peristiwa Rumoh Geudong, Simpang KKA, dan tragedi Jambo Keupok— hingga kini belum menerima pemulihan secara menyeluruh dari program tersebut.

"Saat pemulihan konflik, pelibatan partisipasi bermakna dari komunitas korban, ditambah lagi keterbatasan rekomendasi tim PPHAM, maka keadilan transisi masih jadi pekerjaan besar belum tuntas hingga kini," kata Husna.

Dengan segala persoalan di atas, menurut KontraS Aceh, rencana pemerintah untuk menambah pasukan militer justru kontraproduktif. Langkah penambahan batalion baru ini berisiko memperburuk trauma bagi masyarakat Aceh yang belum pulih dari luka kekerasan dan pelanggaran HAM akibat konflik masa lalu.

"Sejarah panjang kekerasan oleh aparat keamanan, termasuk pembunuhan, penyiksaan, dan penghilangan paksa, masih membekas dalam ingatan kolektif masyarakat Aceh. Pembangunan batalyon baru bisa memicu trauma, juga ketidakpercayaan terhadap pemerintah saat ini," pungkasnya.

Langkah Strategis Perkuat Pertahanan Wilayah

Sementara itu, dalam rilis yang diterima Liputan6.com belum lama ini, Pangdam IM l, Mayor Jenderal TNI Niko Fahrizal mengatakan bahwa pembangunan empat batalion (Batalyon Pembangunan Teritorial/YTP) baru di wilayah Kodam IM itu merupakan langkah strategis dalam memperkuat pertahanan wilayah sekaligus mendekatkan TNI kepada masyarakat. Keberadaan satuan-satuan teritorial baru tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam mendukung stabilitas keamanan dan pembangunan daerah.

Niko menambahkan bahwa pembangunan keempat batalion ini juga merupakan bagian dari upaya modernisasi dan pemerataan kekuatan pertahanan negara yang dilakukan secara bertahap dan terukur. Kodam IM akan terus berkomitmen menjadi mitra strategis pemerintah dalam mendukung program-program pertahanan yang terintegrasi dengan pembangunan nasional, kata dia.

Hal ini disampaikan oleh Niko sewaktu menerima audiensi perihal pelaksanaan Pembangunan Batalyon Teritorial di Balee Sanggamara Makodam Iskandar Muda, belum lama ini. Niko menegaskan bahwa Kodam Iskandar Muda siap mendukung setiap tahapan proses perencanaan dan pembangunan yang akan dilaksanakan serta berharap kerja sama antara para pelaksana teknis proyek dapat berjalan lancar, tepat waktu, dan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Kementerian Pertahanan.

Sebagai info, untuk rencana pembangunan batalion di Pidie akan dilaksanakan oleh PT Performa Trans Utama, di Nagan Raya akan dilaksanakan oleh PT Kartika Bhaita, Aceh Tengah oleh PT Rezeki Selaras Mandiri. Adapun untuk wilayah Aceh Singkil, pelaksana yang ditunjuk adalah PT Teguh Karya Sejati.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |