Liputan6.com, Makassar - Makassar menjadi salah satu kota yang merasakan langsung euforia penayangan perdana film Perang Kota. Film terbaru karya sutradara Mouly Surya ini resmi tayang serentak di seluruh bioskop Indonesia pada 30 April 2025. Sebagai bagian dari rangkaian promosi, dua pemeran utamanya, Ariel Tatum dan Chicco Jerikho, hadir langsung menyapa penonton di salah satu studio bioskop di kota Makassar.
Kehadiran Ariel dan Chicco di lokasi pemutaran mendapat sambutan hangat. Para penonton yang sebelumnya telah menyaksikan filmnya terlihat antusias menyambut kedua bintang tersebut. Tepuk tangan riuh dan sorakan menggema saat keduanya memasuki studio, menambah semarak suasana malam itu.
Dalam momen itu, Ariel Tatum menyampaikan rasa senangnya bisa kembali ke Makassar. Ia mengaku sudah lama tak mengunjungi kota ini dan sangat tersentuh oleh sambutan meriah dari para penonton.
"Seru banget. Aku sudah lama sekali nggak ke Makassar, jadi seneng banget. Diterima dengan baik filmnya tadi pas di studio pertama ya. Kami melihat teman-temen yang nonton bareng di Makassar sangat antusias dan terlihat sangat menikmati filmnya," ungkap Ariel.
Chicco Jerikho juga tak kalah bahagia. Ia mengungkapkan kekagumannya pada semangat penonton Makassar yang dikenal sebagai salah satu komunitas penonton film Indonesia terbesar. "Selalu senang dan selalu happy lihat tanggapan penonton di Makassar. Salah satu penonton film Indonesia terbanyak ya, kota Makassar. Terima kasih atas apresiasinya," katanya.
Sesi temu penonton ini menjadi momen berkesan, tak hanya bagi para aktor tapi juga bagi warga Makassar yang merasa dekat dengan karya film nasional. Banyak yang mengabadikan kehadiran bintang film Perang Kota dengan swafoto dan membagikannya di media sosial.
Makassar sendiri memang dikenal sebagai kota yang aktif dalam menyambut film-film nasional. Momen ini juga menjadi bukti pentingnya peran kota-kota di luar Jakarta dalam mendukung perkembangan industri perfilman Indonesia.
Perang, Cinta dan Kota yang Terluka
Film Perang Kota mengangkat kisah cinta segitiga yang berlatar belakang Jakarta pada tahun 1946, satu tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Situasi kala itu sangat genting. Belanda, yang belum sepenuhnya menerima kemerdekaan Indonesia, kembali mencoba mengambil alih kekuasaan melalui kekuatan militer. Kota Jakarta pun menjadi ladang pertempuran.
Di tengah kekacauan tersebut, tiga karakter utama muncul: Isa (diperankan Chicco Jerikho), seorang guru yang trauma akibat masa lalu; Fatimah (Ariel Tatum), istrinya yang haus akan kehangatan dan perhatian; serta Hazil (Jerome Kurnia), pejuang muda yang idealis. Ketiganya terlibat dalam jalinan emosi yang kompleks dan tragis.
Kisah mereka tidak hanya memperlihatkan sisi personal dari konflik cinta, tetapi juga menggambarkan dilema moral dan eksistensial manusia saat berhadapan dengan perang. Mouly Surya, melalui pendekatan visual dan naratifnya, menyajikan konflik batin dan kekacauan sosial secara puitis namun tajam.
Film ini menggunakan rasio aspek 4:3, yang jarang dipakai dalam film masa kini. Tujuannya untuk menciptakan kesan klasik dan memberikan fokus lebih dalam pada karakter. Sinematografer Roy Lolang menyajikan visual yang kontras dan intim, menghidupkan suasana muram Jakarta yang dilanda perang.
Gang-gang sempit yang menjadi latar utama dalam film, berfungsi sebagai metafora perjuangan gerilya dan keterdesakan hidup. Semua unsur itu menjadikan Perang Kota sebagai film yang tak hanya bercerita soal cinta dan perang, tapi juga menggugah emosi penontonnya.
Film Masa Lampau yang Mewakili Perasaan Generasi Masa Kini
Perang Kota bukan hanya sebuah film sejarah. Ini adalah potret pergulatan manusia di tengah krisis, yang digambarkan dengan kuat oleh para pemerannya. Chicco Jerikho menyebut peran Isa sebagai salah satu peran paling kompleks dalam kariernya. “Ia flamboyan, pejuang, tapi juga punya perjuangan rumah tangga yang tragis,” ujarnya.
Ariel Tatum, yang memerankan Fatimah, menekankan bahwa karakternya tidak bisa dinilai hanya dari sudut pandang hitam-putih. “Fatimah adalah representasi perempuan kuat di masa sulit. Mouly mengangkat sosok yang tangguh dan resilien di tengah perang,” jelasnya.
Film ini juga menandai komitmen sineas Indonesia dalam mengeksplorasi tema yang jarang disentuh. Tanpa menggurui, film ini mengajak penonton memahami bahwa kemerdekaan bukanlah hasil yang datang tanpa harga. Setiap pribadi memiliki luka dan perjuangan masing-masing dalam mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.
Kolaborasi produksi lintas negara menambah bobot film ini secara teknis maupun artistik. Namun pada intinya, Perang Kota tetaplah film yang bicara tentang manusia, cinta, dan pengorbanan. Dalam dunia perfilman nasional, film ini menjadi semacam penanda bahwa cerita-cerita berani dan bermakna masih punya tempat di hati penonton.
Kehadiran film ini di Makassar dan respons luar biasa dari warganya menjadi cerminan bahwa penonton Indonesia siap menerima film dengan cerita yang kuat dan narasi yang reflektif. Sebuah kabar baik bagi masa depan film Indonesia yang lebih beragam dan berani.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Dalam rangka memperingati Hari Film Nasional yang jatuh pada 30 Maret, Ketua PARFI 56, Marcella Zalianty, mengajak masyarakat Tanah Air untuk mendukung dan mengutamakan film Indonesia. Ia berharap, melalui kecintaan terhadap karya sinema lokal, indus...