Liputan6.com, Denpasar - Program penanganan hukum di level desa adat Bali menjadi konsen Ketut Sumedana, pria yang juga Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali. Sumedana yang menginisiasi berdirinya Rumah Restorative Justice Bale Sabha Adhyaksa di beberapa kabupaten seperti, Bangli, Tabanan, Badung, dan Buleleng. Bahkan, nantinya akan diluncurkan serupa di semua kabupaten/kota di Bali.
Sumedana yang belum genap dua tahun menjabat Kejati Bali itu menyatakan bahwa dirinya tidak ingin semua konflik yang terjadi di desa adat diselesaikan di kejaksaan, kepolisian atau pengadilan. Menurutnya, persoalan hukum di Indonesia khususnya di tanah Bali bisa terselesaikan di tingkat desa guna menekan kerugian material, resistensi hukum dan sosial serta efisiensi sesuai konsep pemerintah pusat.
Dalam setiap kesempatan, Ketut Sumedana kerap menyoroti bendesa adat agar berkomitmen jaga Bali dengan fleksibilitas, adaptif dengan perkembangan zaman.
Penyelesaian Hukum dari Desa
Sumedana menjelaskan bahwa, menjaga Bali dengan segala kemudahan, kecepatan berbagai upacara dan upakara yang hampir setiap hari dilaksanakan oleh orang Bali. Upacara yang mestinya dilaksanakan secara sederhana tanpa mengurangi makna harus dilaksanakan dengan hati, karena bakti didasari oleh ketulusan, pengabdian dan pengorbanan. Dan kesadaran tulus sesuai kemampuan kita," kata Ketut, Minggu (27/4/2025).
Sosok yang pernah menjabat Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung itu mengatakan, konsep Yadnya (persembahan suci tulus ikhlas kepada Sang Hyang Widhi Wasa) tidak memberatkan dan tidak membuat orang sampai berhutang untuk proses hukum yang tengah dijalani. "Ini yang menjadi perhatian kita bersama. Ayo kita rumuskan bersama untuk membuat mudah, murah dan tidak ada paksaan, betul-betul lahir dari budaya yang adi luhung," ungkap dia.
Lebih lanjut Sumedana berharap dengan diluncurkannya ruang mediasi berbasis kearifan lokal dari tingkat desa adat itu mampu memberikan kemudahan kepada masyarakat di tingkat desa tidak berkonflik dengan masalah hukum. Terlebih terkait laba pura di Bali yang ia takutkan akan hikang berubah menjadi beton dan fasilitas lain. Ia ingin tanah Bali sebagai marwah dan jiwa leluhur krama Bali tetap terjaga.
Ia melihat dalam praktek keseharian, banyak pura di Bali yang menghabiskan miliaran rupiah untuk yadnya sampai menjual laba pura. "Lama-lama pura dikelilingi vila, hotel dan menjadi milik investor. Sedihnya lagi pengemponnya terpinggirkan dan tinggal jauh, akhirnya yang tersisa hanya pura dan dewa-Nya saja, masyarakat tidak ada" ungkap dua.
Ketut Sumedana menjelaskan laba pura harus tetap dijaga oleh krama Bali. Harus diatur dan diproteksi dengan awig-awig (peraturan desa adat). "Tanah Bali yang mempunyai muruah dan jiwa leluhur jangan sampai berpindah tangan, harus ada awig-awig yang mengatur kalaupun disewa harus ada batasan waktunya supaya generasi kita tahu peruntukan laba pura tersebut," katanya.
Kajati Bali di bawah kepemimpinannya akan menyoroti hal ini secara serius. Untuk itulah, bale restorative justice membantu warga di tingkat desa adat termasuk dalam melindungi laba pura. Sementara itu, di setiap desa pasti ada konflik, pertentangan, dan permasalahan. Di mana tak semua konflik harus berujung penyelesaian ke pengadilan. "Bisa diselesaikan di Bale Sabha Adhyaksa. Untuk itu, bendesa, tokoh masyarakat, tokoh agama akan berperan penting menyelesaikan masalah di tingkat desa," pungkas Sumedana.