Liputan6.com, Jakarta - Dalam peluncuran Gerakan Belarasa yang akan berlangsung Sabtu, 3 Mei 2025, di Museum Nasional Jakarta, Lembaga Daya Dharma (LDD) Keuskupan Agung Jakarta (KAD) akan menghadirkan kisah-kisah nyata dari pinggiran ibu kota: kisah tentang keberanian, ketabahan, dan kebangkitan dari keterpurukan.
Sebagai keterangan, Gerakan Belarasa adalah gerakan yang meneruskan warisan Paus Fransiskus tentang kasih dan kepedulian pada sesama tanpa melihat latar belakang agama, suku, dan ras.
Salah satu suara paling menyentuh yang akan bisa disaksikan di Museum Nasional pada 3 Mei nanti, datang dari komunitas disabilitas, khususnya para remaja netra yang kehilangan penglihatan bukan sejak lahir, melainkan karena kecelakaan, penyakit, atau kesalahan medis. Mereka adalah individu yang harus belajar menata ulang hidup mereka dari gelap total—bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara mental dan sosial.
Anastasia Sri Priharyanti, staf Biro Pelayanan Penyandang Disabilitas LDD KAJ yang telah mengabdi sejak 2001, membagikan kisah pendampingan terhadap remaja netra. Ia menjelaskan bahwa banyak dari mereka yang mengalami keputusasaan mendalam, bahkan menolak bangkit. "Ada yang bilang, lebih baik mati daripada menjalani hidup dalam kegelapan," ungkapnya.
Namun lewat pendekatan peer counseling dan rehabilitasi berbasis masyarakat—bukan panti—LDD memberi ruang bagi mereka untuk perlahan menerima diri, bertumbuh dalam komunitas, dan bahkan tampil dalam publik sebagai seniman, musisi, dan mentor bagi sesama disabilitas. Di Gerakan Belarasa nanti, para remaja netra dan penyandang disabilitas lain seperti daksa dan tuli akan tampil dalam pertunjukan teater dan musik. Mereka bukan objek belas kasihan, tetapi subjek perubahan.
"Kami tidak ingin dunia melihat mereka sebagai sosok yang hanya butuh bantuan. Mereka ini justru bisa menjadi pelita, menjadi penguat bagi sesama," ujar Yanti, sapaan akrab Anastia.
Pada event ini, para pengunjung akan melihat langsung booth yang menampilkan komunitas Disabilitas dan personal Disabilitas yang akan menunjukkan hasil karya dalam Galery Bazar Belarasa. Karya-karya mereka tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga mengajak publik untuk memahami nilai sejati dari belarasa: keberpihakan dan kehadiran yang setara.
"Disabilitas juga membutuhkan dukungan dan peran serta masyarakat untk mewujudkan kesetaraan aksesibilitas dalam setiap lini kehidupan, mulai dari kemandirian sampai kesejahteraan. Tidak hanya pendidikan tetapi juga kesempatan kerja sesuai dengan potensi yang dimiliki," papar Yanti.
Agenda utama Gerakan Belarasa pada 3 Mei 2025 mencakup Doa Bersama Lintas Agama yang diikuti enam tokoh agama Indonesia, termasuk Kardinal Ignatius Suharyo, sebagai simbol persatuan spiritual lintas iman.
Dialog bertajuk “Kepedulian Lebih kepada Saudara yang Miskin dan Lemah” akan menampilkan pembicara seperti Dr. Sukidi Mulyadi, Uskup Kardinal Suharyo, Hj. Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, dan Dr. Franz-magnis Suseno, SJ dengan dimoderatori oleh Ayu Utami. Ada pula Expo Program Pelayanan Sosial dan Galeri Bazar Belarasa Kita, serta pertunjukan teater dan film dokumenter “He(Art) of Compassion and Hope”. Kegiatan berlangsung dari pukul 10.00 hingga 19.00 WIB di Museum Nasional Jakarta.
Sebelumya, Uskup Kardinal Ignatius Suharyo menyampaikan bahwa semangat belarasa yang menjadi inti gerakan ini telah lama hidup dalam Keuskupan Agung Jakarta, dan bahkan menjadi inspirasi Paus Fransiskus saat berkunjung ke Indonesia pada 2024. "Tema kunjungan beliau adalah faith, fraternity, compassion—iman, persaudaraan, dan belarasa. Itu bukan kebetulan. Itu adalah suara hati seorang pemimpin yang melihat kemanusiaan sebagai panggilan bersama,” ungkapnya.
Kardinal menambahkan, Paus Fransiskus telah berpulang, tapi pesan kemanusiaannya hidup bersama kita. "Gerakan Belarasa adalah salah satu cara kita meneruskan warisan beliau: merangkul yang terpinggirkan, dan memberi mereka ruang untuk bersuara dan berkarya," ujarnya.
Gerakan Belarasa bukan hanya agenda keagamaan, tetapi panggilan nurani untuk membangun Indonesia yang lebih adil dan manusiawi, mulai dari mereka yang paling tak terlihat.
"Semoga Masyarakat yang hadir menjadi semakin peduli dan ikut mendukung serta terlibat bersama LDD KAJ untuk mewujudkan Masyarakat yang Inklusi terhadap Penyandang Disabilitas," pungkas Yanti.