Dusun Kaudani di Buton Tengah Terisolasi Saat Air Laut Surut, Generasi Muda Bajau Terancam Buta Huruf

1 day ago 14

Liputan6.com, Kendari - Dusun Kaudani di Buton Tengah, dihuni 284 orang warga suku Bajau. Warga lokal, mengenal mereka dengan sebutan orang Bajo Kaudani.

Wilayahnya, mengapung di atas endapan pasir sepanjang garis pantai Desa Tanailandu Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton Tengah. Bukan berupa sebuah pulau, tetapi dari endapan pasir dan karang berukuran cukup luas untuk membangun sekitar 70 lebih unit rumah warga.

Sejak ratusan tahun lalu, endapan pasir Dusun Kaidanu yang menghadap Selat Spellman, menjadi rumah turun temurun generasi Bajo. Mereka dikenal warga Buton Tengah dan sekitar Baubau, sebagai kelompok nelayan ulung penangkap teripang, cumi, dan jenis ikan karang mahal hingga ke perbatasan perairan Indonesia-Australia. Hasil laut tangkapan mereka, sudah dijual hingga ke Jepang dan negara-negara tetangga.

Di sini, selama bertahun-tahun, terdapat ratusan anak bajau usia sekolah yang mayoritas masih mengalami kesulitan membaca. Banyak di antaranya, hingga hari ini masih belum mampu mengeja huruf demi huruf hingga menjadi satu kalimat utuh.

Bahkan, beberapa orang dewasa di atas usia 40-an tahun tidak tahu membaca sama sekali. Penyebabnya, kondisi alam ekstrem lambat laun memaksa mereka tak bisa ikut belajar maksimal di Desa Induk Tanailandu Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton Tengah. Lama kelamaan, karena jenuh dengan kondisi ini dan kurangnya motivasi dan dukungan pemerintah setempat, mereka akhirnya memilih putus sekolah.

Padahal, Dusun Kaudani dan desa induk di Tanailandu hanya berjarak sekitar 1.250 meter atau 1,2 kilometer dari tepi pantai. Namun, di balik itu ada rintangan menahun yang sampai hari ini belum terpecahkan bagi masa depan generasi muda Bajo.

Diketahui, Dusun Kaudani, berdiri di atas hamparan bebatuan dan pasir. Sehari-hari, agar masyarakat bisa terhubung ke desa induk, mereka harus menyeberang menggunakan perahu kecil atau kapal. Namun, kondisi ini jauh berbeda ketika air laut sedang surut.

Saat air laut surut, lumpur dan pasir memisahkan mereka dari desa Induk. Padahal, hanya di desa ini berdiri sekolah SD dan SMP yang bisa dinikmati anak-anak Kaudani.

Kepala Desa Tanailandu Buton Tengah Rafiuddin saat dihubungi wartawan Liputan6.com mengatakan, pemukiman Kaudani sudah ada sejak zaman kesultanan Buton berdiri sekitar 350 tahun lalu. Mereka dikenal hingga dalam area kesultanan dan saat ini warganya sudah menggunakan Bahasa wolio atau bahasa tradisional di wilayah Kepulauan Buton.

Kata Rafiuddin, ia pernah mengeluh dan berkoordinasi dengan pemerintah Buteng. Kemudian, pemerintah memutuskan membangun ruang sekolah sederhana di sana sekitar 2022.

Sistemnya, mirip sekolah jarak jauh dengan bangunan semi permanen dilengkapi 2 ruang belajar. Guru dari daratan didatangkan mengajar di sana.

Namun, berjalan beberapa bulan, sekolah ini tak berfungsi maksimal. Sebab, salah satu penyebab utamanya, kondisi alam tak mendukung.

"Kalau air surut, menyisakan lumpur dan pasir membentang sejauh sekilo lebih. Jadi perahu dari Desa Induk tak bisa berlayar menuju Kaudani atau sebaliknya perahu dari Kaudani tak bisa ke Desa Induk dengan mudah," kata Rafiudin.

Ia menjelaskan, jadwal pasang surut air laut dalam setahun, selalu berubah setiap bulan. Kata dia, ada beberapa bulan dalam setahun, saat pagi hari air laut mulai surut sekitar jam 03.00 Wita subuh hingga jam 10.00 Wita pagi.

Kemudian, kondisi air laut pasang akan berlangsung sejak pukul 10.00 Wita hingga menjelang pukul 18.00 Wita.

"Padahal, saat air laut surut dan kondisi daratan berlumpur untuk menuju ke Desa Induk, saat itulah jadwal anak Kaudani harus menuju ke sekolah," kata dia.

Kondisi ini berlangsung terus menerus selama puluhan tahun. Tak jarang, anak-anak Kaudani yang hendak bersekolah, selalu telat datang atau bahkan memilih tak masuk sekolah daripada mendapat hukuman karena terlambat di perjalanan.

"Kalau saya hitung hitung, mungkin tinggal 2 orang yang masih bertahan sekolah di sana, satu anak kepala dusun. Salah satunya, pelajar Kaudani yang memiliki kerabat di daratan Desa Induk," ujar Rafiudin.

Sampai hari ini, 2 ruangan sekolah sederhana yang berdiri di Dusun Kaudani tidak dimanfaatkan maksimal. Kata warga di sana, guru dari desa induk pernah datang mengajar hanya sekitar 1 sampai 2 bulan. Setelah itu, mereka tak pernah datang lagi mengajar.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |