Ziarah ke Masa Lalu Lewat Lagu-Lagu Pelanggaran HAM di Aceh

1 day ago 9

Liputan6.com, Aceh - Ada satu kutipan yang membuat kita perlu menafakuri kembali arti penting dari sejarah serta bagaimana sejarah akan berdampak antargenerasi. Kutipan in berasal dari seorang filsuf Spanyol bernama George Santayana, berbunyi 'Those who cannot remember the past are condemned to repeat it."

Sebagai aforisme atau ungkapan yang berisi nasihat —pengajaran, kalimat ini terdengar kuat. Intimidatif, seperti sebuah tamparan yang tidak memberi peluang sedikit pun untuk menghindar. Lantas, apa hubungan aforisme ini dengan musik?

Saya suka mengatakan bahwa musik merupakan berumbung di mana realitas tumpah ruah. Sebagai entitas seni —mengikuti Theodore Adorno seperti yang ditulis Karina Andjani dalam bukunya “Musik dan Masyarakat: Filsafat Musik Theodore Adorno” (hlm. 26, 2022)— maka musik dapat secara intrinsik melekat dan jadi cermin masyarakat. Melalui retakan yang ada pada cermin tersebutlah suara-suara seperti ekspresi kesendirian, penderitaan, serta jeritan dehumanisasi dari penindasan terefleksikan.

Semasa Aceh dikoyak-moyak oleh badai operasi militer, suara-suara seperti yang disebutkan oleh Adorno tersebut dilampiaskan ke dalam lirik lagu. Dapat dikatakan bahwa lagu-lagu yang tercipta pada waktu itu tak lagi bernilai sebagai produk studio rekaman semata, tetapi telah bersulih jadi ekspresi kolektif yang terikat oleh ruang dan waktu dari banyak kejadian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berlangsung di ujung utara pulau Sumatera (sepanjang penerapan Daerah Operasi Militer 1989-1998 hingga Darurat Militer 2003).

Lagu-lagu yang diciptakan oleh musisi lokal kala itu menjadi disonansi, tak ubahnya setumpuk nyanyian yang terdengar sumbang bagi status quo. Status quo di sini tentu saja kepentingan militer untuk memastikan agar semua informasi mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh tak menjadi pengetahuan populis.

Ia harus diredam, seperti membenamkan derum amarah orang-orang terhadap fakta adanya kejahatan kemanusiaan di Aceh. Ke dasar bumi. Dari sini, pembredelan terhadap sejumlah lagu pun dimulai.

Pada 2003, beberapa seniman serta produser dipanggil oleh otoritas militer untuk mempertanggungjawabkan sejumlah lagu yang dinilai menjadi amplifikator bagi propaganda yang menyerempet kepentingan militer. Walhasil, sejumlah lagu pun ditarik dari pasaran.

Operasi pemberangusan bahkan dilakukan jauh lebih serius dengan terjadinya razia ke toko-toko kaset di sejumlah wilayah. Tak ayal, dengan situasu ini, para musisi pun merayap. Kendati di pelojok sana, dalam sayup, lagu-lagu tersebut masih terus berkumandang, menuding moncong otoritas militer dalam senyap.

Sejumlah lagu yang masuk ke dalam daftar target antara lain, Nanggroe Meredeka yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Yusbi Yusuf yang menggambarkan Aceh sebagai sebuah wilayah nihil hukum tempat di mana kekerasan merajalela, menempatkan rakyat sipil sebagai korban. Lagu ini ikut menyinggung tentang peristiwa kekerasan oleh pasukan Linud 100/PS Sumatera Utara di Idi Cut yang dikenal juga sebagai tragedi Arakundo, menewaskan 28 orang termasuk di antaranya anak-anak pada 3 Februari 1999.

Termasuk juga peristiwa Alue Nireh yang menewaskan lima orang oleh Pasukan Penindak Rusuh Massa (PPRM) juga pada 1999. Peristiwa Arakundo sendiri secara khusus diulas kembali oleh Yusbi Yusuf dalam lagu lainnya yang mengambil judul sama yakni Arakundoe.

Peristiwa kekerasan yang terjadi di Aceh juga dapat dilihat melalui lagu berjudul Peristiwa Simpang KKA yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Abu Bakar Ar yang berduet dengan Armawati Ar. Mengikuti judulnya, lagu ini bercerita tentang peristiwa yang terjadi di Aceh Utara pada 3 Mei 1999 ketika pasukan Arhanud 001 dan Batalyon 113 memberondong warga yang sedang menggelar aksi protes di Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) dengan peluru secara membabi buta —sedikitnya 21 orang dinyatakan meninggal dunia, kurang lebih 146 orang mengalami luka-luka, dalam tragedi berdarah tersebut.

Peristiwa Arakundo juga disebut di dalamnya. Juga peristiwa Kandang pada 3 Januari 1999. Peristiwa Kandang, Lhokseumawe terjadi dalam operasi penyisiran yang dilakukan oleh aparat keamanan di Kandang dan Pusong yang merenggut nyawa beberapa warga desa.

Peristiwa Kandang terjadi kurang dari satu pekan sebelum ledakan kekerasan lainnya yang diakibatkan oleh brutalitas tentara menyusul di Lhokseumawe. Yakni Peristiwa Gedung KNPI pada 9 Januari 1999 yang menyebabkan 5 orang meninggal dunia serta puluhan lain luka-luka.

Lagu lainnya yang merupakan ciptaan Abu Bakar Ar, tetapi dinyanyikan oleh duet antara penyanyi cilik Ari Rama dengan Nurhayati AZ, berjudul Musibah Beutong, mengangkat peristiwa ketika beberapa pasukan elite TNI mengepung lalu mulai membantai orang-orang di sebuah dayah tradisional di lembah Beutong Ateuh Banggalang pada 23 Juli 1999.

Penyerbuan tersebut memakan korban yakni sang pemimpin sang dayah tersebut, Tengku Bantaqiah, juga anak beserta 57 santrinya. Lagu ini juga sempat menyinggung Cot Murong, sebuah desa yang berkaitan dengan peristiwa Simpang KKA.

Haro-Hara yang dinyanyikan oleh Cut Aja Riska dalam album Nyawöung menjadi ikhtisar dari banyak peristiwa kekerasan yang terjadi di Aceh. Mulai dari Arakundo, Simpang KKA, Beutong, hingga secara gamblang menyebut Rumoh Geudong, sebuah rumah besar milik warga yang dialihgunakan oleh tentara sebagai kamp konsentrasi atau rumah jagal. Rumah yang berlokasi di Pidie ini menjadi momok, di mana segala kengerian yang dapat dibayangkan oleh manusia berlangsung di sana selama beberapa tahun.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |