Tari Pakarena, Simfoni Gerak Lembut dan Keagungan Budaya Perempuan Makassar

6 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Di antara sekian banyak warisan budaya luhur dari Indonesia Timur, Tari Pakarena Makassar menempati posisi yang sangat istimewa sebagai simbol keanggunan, kelembutan, dan keteguhan hati perempuan Bugis-Makassar.

Tarian ini tidak hanya merupakan ekspresi estetika dari gerak tubuh, tetapi juga sebuah narasi simbolik yang berakar kuat pada filosofi hidup masyarakat setempat.

Tari Pakarena bukan tarian yang penuh hentakan keras atau gerak lincah yang mencolok, melainkan justru sebaliknya ia tampil dalam balutan kelembutan gerak, kesantunan tubuh, dan ketertundukan yang tenang, bagaikan semilir angin senja di tanah Makassar yang menyapu lautan dan merasuk ke dalam jiwa.

Keindahan Tari Pakarena terletak pada setiap ayunan tangan, pada setiap gerakan mata yang tunduk ke bawah, serta pada harmoni gerak para penari yang mencerminkan sikap sopan santun, kesabaran, dan kesetiaan, nilai-nilai yang selama berabad-abad dijunjung tinggi dalam masyarakat Bugis-Makassar.

Tarian ini bukan hanya menjadi hiburan semata, melainkan juga sebagai medium untuk mengajarkan nilai-nilai sosial kepada generasi muda, terutama peran perempuan sebagai penjaga kehormatan, kelembutan, dan kesucian dalam tatanan sosial.

Secara historis, Tari Pakarena memiliki akar yang sangat dalam dan dipercaya telah ada sejak zaman Kerajaan Gowa, salah satu kerajaan besar yang pernah berjaya di Sulawesi Selatan. Kata pakarena sendiri berasal dari kata karena, yang dalam bahasa Makassar berarti bermain.

Namun, kata ini bukan sekadar mengandung makna permainan biasa, melainkan merujuk pada permainan spiritual, simbolik, dan emosional yang terikat erat dengan ritus kerajaan.

Dahulu, tari ini dipentaskan sebagai bagian dari ritual kerajaan, baik dalam menyambut tamu agung, upacara pelantikan raja, atau dalam ritual keagamaan sebagai bentuk komunikasi antara dunia manusia dan roh leluhur.

Dalam konteks tersebut, Tari Pakarena bukan hanya tarian, tetapi juga semacam mantra visual yang membawa harapan dan doa. Para penarinya adalah perempuan-perempuan terpilih yang dipersiapkan dengan pelatihan keras dan kedisiplinan tinggi, karena tarian ini mengandung beban spiritual dan tanggung jawab budaya yang besar.

Gerakan Berputar

Gerakannya yang berputar perlahan, tangan yang melambai ke bawah, dan tatapan mata yang selalu tunduk, mencerminkan filsafat Bugis-Makassar bahwa seorang perempuan sejati harus penuh kelembutan namun juga tangguh, setia namun tidak lemah, tenang namun penuh kekuatan batin.

Penampilan Tari Pakarena biasanya terdiri dari sekelompok penari perempuan yang mengenakan busana adat Bugis-Makassar yang sangat khas baju bodo berwarna cerah dan sarung tenun tradisional yang dililitkan dengan keanggunan.

Sementara itu, para penabuh gendang laki-laki duduk mengelilingi para penari, memainkan irama iringan musik tradisional yang terkesan mengalun lembut namun memiliki daya getar emosional yang mendalam.

Gendang Pakarena dan suling bambu menjadi alat utama dalam pengiring tarian ini, menciptakan suasana magis yang menyatu dengan gerak para penari. Setiap gerakan dalam tarian ini tidak dilakukan secara sembarangan.

Misalnya, gerak memutar searah jarum jam yang dilakukan penari selama tarian berlangsung melambangkan kesinambungan hidup dan ketekunan dalam menjalani tugas. Sementara tangan yang bergerak naik turun melambangkan dinamika kehidupan kadang di atas, kadang di bawah, namun harus dijalani dengan sabar dan elegan.

Tundukan kepala para penari bukanlah lambang ketundukan mutlak, tetapi merupakan cerminan rasa hormat, kepatuhan kepada nilai, dan kedalaman jiwa yang tidak mudah terguncang oleh ego dan keangkuhan. Dalam konteks modern, Tari Pakarena tidak kehilangan pesonanya.

Justru semakin banyak dipentaskan di berbagai panggung nasional dan internasional, ia semakin dikenal sebagai ikon budaya Makassar yang penuh filosofi. Di balik keanggunan setiap pertunjukan Tari Pakarena, tersimpan semangat pelestarian budaya yang begitu kuat.

Sanggar-sanggar seni di Makassar maupun di kota-kota besar Indonesia secara aktif mengajarkan tari ini kepada generasi muda, baik melalui program pelatihan maupun melalui pentas rutin di sekolah dan festival budaya. Namun demikian, tantangan tetap ada.

Arus globalisasi yang membawa gaya hidup modern dan budaya populer membuat sebagian generasi muda mulai merasa jauh dari akar tradisinya. Oleh sebab itu, pengenalan Tari Pakarena tidak cukup hanya dalam bentuk pentas, melainkan juga harus dikontekstualisasikan kembali, agar pesan moral dan nilai filosofis yang terkandung di dalamnya tetap relevan dalam kehidupan kekinian.

Salah satu cara yang dilakukan oleh para seniman dan budayawan adalah dengan membuat koreografi baru yang tetap setia pada roh Pakarena namun menyisipkan elemen naratif yang lebih sesuai dengan realitas sosial saat ini, seperti perjuangan perempuan, pentingnya menjaga harmoni sosial, atau semangat melestarikan alam dan budaya.

Dalam setiap gerak yang tenang, dalam setiap alunan musik yang mengalir lembut, tersimpan pesan mendalam tentang bagaimana masyarakat Bugis-Makassar memandang hidup, memuliakan perempuan, serta menjaga keharmonisan antara manusia, budaya, dan alam.

Maka, ketika kita menyaksikan Tari Pakarena, sesungguhnya kita sedang menyaksikan sebuah pertunjukan kehidupan yang dituturkan melalui tubuh dan jiwa perempuan yang menjelma menjadi suara budaya yang tidak pernah padam. Dan selama masih ada jiwa yang menari, selama itu pula Pakarena akan terus hidup, bercerita, dan menyentuh setiap hati yang bersedia mendengarkan.

Penulis: Belvana Fasya Saad

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |