Liputan6.com, Jakarta - Di tengah maraknya berbagai inovasi kuliner modern yang mengusung cita rasa internasional dan tampilan menggoda, ada sebuah camilan tradisional dari Jawa Timur yang justru mencuri perhatian karena kesederhanaannya yang ekstrem namun memikat.
Ampo camilan ini bukan berasal dari tepung, susu, atau daging seperti kebanyakan makanan ringan lainnya, melainkan dari bahan yang nyaris tak masuk akal di benak banyak orang tanah liat. Lebih tepatnya, Ampo dibuat dari tanah liat murni yang bersih, dikeringkan, diolah, dan dibentuk menyerupai stik atau gulungan kecil yang menyerupai cokelat lintingan.
Makanan ini berasal dari daerah Tuban, Jawa Timur, dan sudah diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat setempat. Keberadaannya tidak hanya menjadi simbol ketahanan budaya kuliner tradisional, tetapi juga memunculkan rasa ingin tahu dari banyak kalangan mengenai bagaimana tanah yang selama ini dihindari untuk dikonsumsi bisa menjadi makanan yang dianggap lezat dan bahkan menyehatkan oleh sebagian masyarakat.
Proses pembuatan Ampo bukanlah perkara sederhana. Hanya jenis tanah liat tertentu yang digunakan, yaitu tanah lempung halus yang berasal dari lapisan dalam tanah, bebas dari batu, pasir, atau bahan organik lain.
Tanah ini terlebih dahulu dijemur hingga kering, lalu diayak untuk memastikan tidak ada kotoran yang tersisa. Setelah itu, tanah liat diuleni hingga halus dan lentur seperti adonan, lalu digulung tipis-tipis menggunakan bilah bambu hingga membentuk lintingan kecil yang menyerupai batang rokok atau stik.
Setelah itu, lintingan tanah tersebut dipanggang di atas api tanpa minyak, hanya menggunakan panas dari wajan tanah liat, hingga matang dan keras. Hasilnya adalah camilan renyah dengan rasa yang tawar dan aroma khas tanah yang justru dianggap menyegarkan oleh para penikmatnya.
Uniknya, meskipun tidak mengandung bumbu apa pun, banyak orang mengaku merasa ‘ketagihan’ setelah mencicipi Ampo, seolah ada kenikmatan tersembunyi dalam kesederhanaan rasa yang ditawarkannya.
Kepercayaan masyarakat terhadap Ampo tidak hanya sebatas pada cita rasanya. Sejak dulu, Ampo diyakini memiliki khasiat kesehatan tertentu, terutama untuk membersihkan saluran pencernaan, menyerap racun dalam tubuh, dan bahkan memperkuat gigi dan tulang karena kandungan mineral di dalam tanah liat yang digunakan.
Khasiat Ampo
Meskipun belum banyak penelitian ilmiah yang membuktikan secara gamblang manfaat konsumsi tanah liat, tradisi ini tetap hidup karena pengalaman turun-temurun dari masyarakat yang mengonsumsinya secara rutin dan tidak mengalami gangguan kesehatan.
Bahkan, dalam beberapa kepercayaan lokal, Ampo dipercaya dapat menenangkan perut ibu hamil dan menjadi ‘obat’ alami untuk orang yang mengalami gangguan lambung ringan. Dalam praktiknya, Ampo kerap dijajakan di pasar-pasar tradisional di Tuban, terutama oleh para penjual tua yang telah mewarisi keahlian membuatnya dari generasi sebelumnya.
Mereka membuat Ampo bukan sekadar untuk dijual, tapi juga untuk mempertahankan jejak budaya yang semakin tergerus zaman. Fenomena Ampo juga memunculkan beragam reaksi dari masyarakat luar daerah maupun wisatawan asing.
Ada yang memandangnya sebagai keunikan budaya yang luar biasa dan layak dilestarikan, tetapi tak sedikit pula yang merespons dengan rasa heran bahkan jijik, mengingat kebiasaan umum yang menghindari tanah sebagai sesuatu yang tidak layak dimakan. Namun justru di sinilah nilai penting dari Ampo sebagai representasi warisan budaya lokal.
Ia menantang persepsi umum dan membuka ruang dialog mengenai hubungan manusia dengan alam. Dalam konteks antropologi kuliner, Ampo adalah contoh nyata bagaimana masyarakat bisa memanfaatkan sumber daya alam secara ekstrem namun tetap aman dan bermakna secara sosial dan spiritual.
Ia menjadi simbol dari kesederhanaan hidup yang penuh makna, tentang bagaimana sesuatu yang dianggap ‘kotor’ bisa diubah menjadi simbol kemurnian dan keaslian jika dikelola dengan niat dan tradisi yang kuat. Di tengah arus modernisasi yang kian deras, keberadaan Ampo semakin langka dan terancam punah.
Generasi muda di Tuban mulai enggan meneruskan tradisi ini karena dianggap tidak praktis, kurang menguntungkan, atau bahkan malu dengan bahan dasarnya. Padahal, jika dikelola dengan inovatif, Ampo bisa menjadi ikon kuliner eksotis yang punya daya tarik kuat di dunia internasional, sebagaimana negara lain mulai mengadopsi konsep edible clay dalam bentuk produk kecantikan atau kesehatan.
Maka, tantangannya kini adalah bagaimana mengenalkan Ampo sebagai warisan budaya yang unik namun tetap relevan dengan zaman. Pelestarian tidak hanya berarti mempertahankan cara membuatnya, tetapi juga merumuskan kembali narasi yang membingkai Ampo sebagai simbol dari filosofi hidup yang menghargai alam, kesederhanaan, dan kearifan lokal.
Sebab dalam sebatang Ampo, tersembunyi cerita panjang tentang ketahanan budaya, keyakinan, dan rasa hormat terhadap bumi tempat manusia berpijak.
Penulis: Belvana Fasya Saad