Liputan6.com, Jakarta - Sidang kedua kasus pencabulan anak oleh eks-Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja digelar di Pengadilan Negeri Kupang, Senin (7/6) pagi.
Sidang ini diwarnai aksi demontrasi oleh para aktivis perempuan dan mahasiswa di depan pagar PN Kupang. Mereka menggunakan pakaian serba putih dan masker bertanda tanda silang.
Berbagai spanduk yang menunjukkan tuntutan dan protes juga mereka bawa dalam aksi itu.
Aksi ini dikawal ketat oleh aparat kepolisian yang datang dengan empat unit bus dan beberapa mobil taktis lainnya. Mereka juga membawa serta kelengkapan anti huru-hara.
Ruas Jalan Palapa, Kelurahan Oebobo, Kota Kupang, lokasi PN Kupang ini juga ditutup merespon aksi tersebut. Penutupan jalan ini mulai dari simpang empat jalan sebelah PN Kupang dan simpang tiga Kantor PLN ULP Kupang.
Aksi itu kemudian dihentikan sementara setelah kendaraan yang membawa Fajar dapat masuk ke dalam pengadilan. Massa aksi kemudian menyoraki Fajar yang ada dalam kendaraan tersebut.
Simak Video Pilihan Ini:
Biadab, Guru dan Tukang Kebun Cabuli Siswi di Pemalang
Tuntut Fajar dijerat UU TPPO dan Narkoba
Massa aksi mempertanyakan tak adanya Undang-undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) dan UU narkotika yang menjerat mantan polisi tersebut.
Fajar dalam pemeriksaan sebelumnya dinyatakan positif narkoba. Namun kemudian dalam berkas perkaranya temuan itu tidak dimasukkan.
Dalam sidang dengan Komisi III, Kejaksaan Tinggi dan Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) juga mempertanyakan perihal kasus narkoba tersebut.
Untuk itu massa menuntut adanya penerapan berbagai pasal dari dua UU ini juga agar sesuai dengan perbuatan mantan polisi tersebut.
Tuntut Perempuan Bernisial V Diadili
Ketua Direktur Pengembangan Inisiatip Advokasi Rakyat (PIAR-NTT), Sarah Lery Mboeik, dalam orasinya juga meminta penegak hukum untuk mengadili seorang wanita berinisial V.
Nama V sendiri muncul dalam temuan Komnas HAM saat menyelidiki SHDR atau F (20), tersangka sekaligus korban dari eks Kapolres Ngada.
Komnas HAM dalam temuan yang dirilis Maret 2025 itu menyebut V jadi sosok perantara antara Fajar dan F. Fajar kemudian bertemu F dan meminta mahasiswi itu mengaku sebagai pelajar SMP.
Namun kemudian Fajar meminta F membawa korban anak usai 6 tahun untuk dicabuli hingga membuat video asusila tersebut.
"Kenapa? Ada apa dengan V? Apakah dia menjadi muncikari bagi yang lain sehingga ini ditutup? Kami minta jaksa, hakim, untuk melihat fakta itu. Di mana V sekarang? Kenapa dia dilindungi? Jangan-jangan V bagi-bagi juga ke yang lain," tutup Sarah Lery.
Eksepsi Pengacara
Kuasa hukum AKBP Fajar, Ahmad Bumi usai sidang mengatakan, dalam dakwaan jaksa tidak menguraikan manfaat dari aplikasi michat.
"Apakah aplikasi michat itu apa manfaatnya, apa gunanya. Apakah aplikasi itu yang dimaksudkan dengan situs porno? Siapa yang berkomunikasi, siapa yang menerima jasa penawaran dari aplikasi michat itu," ujarnya.
Menurut Ahmad Bumi, harus jelas siapa korban siapa pelakunya sehingga tidak ada loncatan dalam peristiwa ini. Bahkan dalam perkara ini tidak ada yang merasa dirugikan, misalnya orang tua korban tidak membuat laporan polisi.
"Dalam tuduhan dalam dakwaan anak korban maupun orang tua korban tidak merasa sebagai korban. Karena anak korban dan orang tua korban tidak pernah membuat laporan polisi terhadap perkara ini," jelasnya.
Ahmad Bumi menegaskan, kliennya AKBP Fajar tidak tertangkap tangan dalam kasus ini. Fakta ini muncul ketika Polisi Federal Australia melaporkan kepada Mabes Polri dan diteruskan kepada Polda NTT.
"Jadi perkara ini tidak ada yang dirugikan. Orang tua maupun anak tidak membuat laporan polisi, sehingga ini kita minta harus jelas dan diuraikan dengan cermat dan lengkap biar sesuai dengan hukum," tutupnya.
Sidang akan dilanjutkan Minggu depan dengan agenda jawaban terhadap esepsi pengacara, di ruang sidang Cakra Pengadilan Negeri Kupang.