Liputan6.com, Jakarta PT Sidomulyo Selaras Tbk (SDMU) berencana melakukan Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMTHMETD) dengan menerbitkan sebanyak-banyaknya 2,27 miliar saham baru seri B.
Saham yang akan diterbitkan merupakan saham baru seri B dengan nilai nominal Rp25, berbeda dari saham seri A yang saat ini bernilai nominal Rp100. Persetujuan atas perubahan klasifikasi saham ini juga menjadi salah satu agenda RUPSLB.
Aksi korporasi ini dilakukan sebagai langkah strategis untuk memperbaiki posisi keuangan perusahaan melalui konversi utang kepada kreditur menjadi saham.
Berdasarkan keterbukaan informasi perusahaan, utang yang akan dikonversi senilai Rp61,35 miliar berasal dari pinjaman yang telah melalui beberapa kali pengalihan hak tagih, mulai dari Bank Permata, SC Lowy, Layman Holdings Pte. Ltd., hingga terakhir kepada Tjoe Mien Sasminto (TMS) yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama sekaligus pemegang saham pengendali dengan kepemilikan 38,36%.
"Perseroan memiliki modal kerja bersih negatif sebesar Rp51,33 miliar per 31 Maret 2025. Dengan konversi utang menjadi saham, struktur permodalan akan membaik dan beban keuangan menurun, sehingga mendukung profitabilitas," demikian disampaikan manajemen dalam keterbukaan informasi.
Fasilitas Kredit
Utang yang dikonversi merupakan bagian dari fasilitas kredit yang diperoleh pada 2012 dan telah direstrukturisasi beberapa kali. Dalam kesepakatan terbaru pada Juni 2025 yang diubah pada 15 Juli 2025, TMS menyetujui konversi utang menjadi saham, dengan harga pelaksanaan Rp27 per saham—di bawah harga pasar per 16 Juli 2025 yang tercatat Rp40 per saham di Bursa Efek Indonesia.
Jika konversi disetujui dalam RUPSLB yang akan digelar 22 Juli 2025, maka TMS akan memperoleh hingga 2,27 miliar saham baru atau setara 66,68% dari total saham setelah PMTHMETD. Hal ini akan menyebabkan dilusi kepemilikan bagi pemegang saham eksisting.
Namun demikian, manajemen menegaskan bahwa tidak akan terjadi perubahan pengendalian karena TMS tetap menjadi pengendali utama pasca-konversi.
Aset dan ekuitas perusahaan juga akan mengalami perbaikan signifikan. Liabilitas akan turun dari Rp109,1 miliar menjadi Rp47,79 miliar, dan ekuitas naik dari Rp29,41 miliar menjadi Rp90,76 miliar. Rasio utang terhadap ekuitas pun turun drastis dari 371,11% menjadi 52,66%.
Meneropong Laju IHSG Usai BI Pangkas Suku Bunga Acuan
Sebelumnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak hampir 1% ke level 7.210,04 pada Rabu, 16 Juli 2025 didorong oleh kombinasi sentimen domestik dan eksternal yang positif.
Katalis utama datang dari langkah Bank Indonesia (BI) yang memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,25%. Ini merupakan pemangkasan ketiga sepanjang 2025, dilakukan setelah proyeksi inflasi tetap terkendali di kisaran 2,5±1% dan nilai tukar rupiah stabil di sekitar Rp16.200 per dolar AS.
Pemangkasan suku bunga ini dinilai pasar sebagai kebijakan akomodatif yang mampu mendorong pemulihan ekonomi domestik, terutama melalui peningkatan aktivitas konsumsi dan investasi.
Pada saat yang hampir bersamaan, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump juga mengumumkan penurunan tarif impor barang dari Indonesia, dari 32% menjadi 19%. Langkah ini menjadi bagian dari kesepakatan dagang bilateral yang baru dan memicu optimisme terhadap sektor ekspor nasional.
"Penurunan suku bunga oleh Bank Indonesia adalah sinyal kuat bahwa otoritas moneter siap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Ditambah lagi dengan insentif perdagangan dari AS, ini jadi kombinasi positif bagi pasar modal kita,” ujar Analis Pasar Modal sekaligus Founder Stocknow.id, Hendra Wardana, Kamis (17/7/2025).
Saham Big Caps dan IPO Rebut Perhatian, IHSG Berpotensi Menuju 7.500
Prospek penguatan lanjutan IHSG dinilai masih cukup besar, dengan target penguatan berikutnya di kisaran 7.350 hingga 7.500.
Saham-saham big caps sektor perbankan seperti BBRI, BMRI, dan BBCA menjadi pendorong utama reli indeks, seiring ekspektasi peningkatan margin bunga bersih (NIM) dan pertumbuhan kredit pasca penurunan suku bunga.
Optimisme juga terlihat di saham-saham IPO baru seperti PT Chandra Daya Investama Tbk (CDIA) dan PT Coin Digital Indonesia Tbk (COIN) yang kembali mencatatkan auto rejection atas (ARA).
Meskipun demikian, pelaku pasar tetap perlu mewaspadai beberapa potensi hambatan, seperti dinamika kebijakan luar negeri dari AS dan potensi aksi ambil untung pasca reli. Kinerja saham perbankan masih menjadi tolok ukur utama, karena sektor ini dinilai paling cepat merespons perubahan kebijakan moneter.
Salah satu yang disorot adalah BBRI yang dinilai mampu menembus level psikologis 4.000 karena eksposur besar pada pembiayaan UMKM.
"Rebound di saham-saham perbankan besar menunjukkan bahwa pasar merespons positif terhadap kebijakan BI. Kinerja sektor ini kemungkinan akan menjadi tulang punggung penguatan IHSG dalam waktu dekat,” kata Hendra.