Liputan6.com, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak hampir 1% ke level 7.210,04 pada Rabu, 16 Juli 2025 didorong oleh kombinasi sentimen domestik dan eksternal yang positif.
Katalis utama datang dari langkah Bank Indonesia (BI) yang memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,25%. Ini merupakan pemangkasan ketiga sepanjang 2025, dilakukan setelah proyeksi inflasi tetap terkendali di kisaran 2,5±1% dan nilai tukar rupiah stabil di sekitar Rp16.200 per dolar AS.
Pemangkasan suku bunga ini dinilai pasar sebagai kebijakan akomodatif yang mampu mendorong pemulihan ekonomi domestik, terutama melalui peningkatan aktivitas konsumsi dan investasi.
Pada saat yang hampir bersamaan, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump juga mengumumkan penurunan tarif impor barang dari Indonesia, dari 32% menjadi 19%. Langkah ini menjadi bagian dari kesepakatan dagang bilateral yang baru dan memicu optimisme terhadap sektor ekspor nasional.
"Penurunan suku bunga oleh Bank Indonesia adalah sinyal kuat bahwa otoritas moneter siap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Ditambah lagi dengan insentif perdagangan dari AS, ini jadi kombinasi positif bagi pasar modal kita,” ujar Analis Pasar Modal sekaligus Founder Stocknow.id, Hendra Wardana, Kamis (17/7/2025).
Saham Big Caps dan IPO Rebut Perhatian, IHSG Berpotensi Menuju 7.500
Prospek penguatan lanjutan IHSG dinilai masih cukup besar, dengan target penguatan berikutnya di kisaran 7.350 hingga 7.500.
Saham-saham big caps sektor perbankan seperti BBRI, BMRI, dan BBCA menjadi pendorong utama reli indeks, seiring ekspektasi peningkatan margin bunga bersih (NIM) dan pertumbuhan kredit pasca penurunan suku bunga.
Optimisme juga terlihat di saham-saham IPO baru seperti PT Chandra Daya Investama Tbk (CDIA) dan PT Coin Digital Indonesia Tbk (COIN) yang kembali mencatatkan auto rejection atas (ARA).
Meskipun demikian, pelaku pasar tetap perlu mewaspadai beberapa potensi hambatan, seperti dinamika kebijakan luar negeri dari AS dan potensi aksi ambil untung pasca reli. Kinerja saham perbankan masih menjadi tolok ukur utama, karena sektor ini dinilai paling cepat merespons perubahan kebijakan moneter.
Salah satu yang disorot adalah BBRI yang dinilai mampu menembus level psikologis 4.000 karena eksposur besar pada pembiayaan UMKM.
"Rebound di saham-saham perbankan besar menunjukkan bahwa pasar merespons positif terhadap kebijakan BI. Kinerja sektor ini kemungkinan akan menjadi tulang punggung penguatan IHSG dalam waktu dekat,” kata Hendra.
Saham Berbasis Ekspor dan Komoditas Diuntungkan Tarif Baru AS
Dampak positif dari pelonggaran tarif impor AS turut mengangkat saham-saham berbasis ekspor dan komoditas. PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) diperkirakan mendapat dorongan signifikan, dengan target harga mencapai Rp1.850, berkat efisiensi distribusi ekspor produk agrikultur. Stimulus tambahan juga diprediksi akan datang dari peningkatan volume perdagangan luar negeri.
Di sektor konstruksi dan material, PT Semen Baturaja Tbk (SMBR) juga menjadi sorotan. Dengan target harga Rp354, perusahaan ini diuntungkan dari potensi percepatan pembangunan infrastruktur seiring kebijakan moneter yang lebih longgar.
Sementara itu, untuk sektor tambang, PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) menarik perhatian investor karena prospek kenaikan harga emas global dan progres proyek tambang emas dan tembaga.
"Kombinasi tarif ekspor yang lebih rendah dan kebijakan moneter yang mendukung menjadi pendorong utama bagi sektor-sektor komoditas dan industri padat ekspor,” jelas Hendra.
Rekomendasi Saham
Rekomendasi Saham: Fokus pada Perbankan, Komoditas, dan Infrastruktur Di tengah arah kebijakan yang cenderung akomodatif, Hendra merekomendasikan fokus investasi pada tiga kelompok saham utama: perbankan, komoditas, dan infrastruktur.
Saham BBRI dan BMRI disebut masih menarik karena prospek pertumbuhan pinjaman, sementara BBCA dinilai solid secara fundamental.
Untuk sektor komoditas, BRMS dan JPFA menjadi pilihan unggulan karena eksposur terhadap tren global dan insentif dagang dari AS. Selain itu, saham infrastruktur seperti SMBR dinilai patut dicermati karena potensi peningkatan belanja negara untuk pembangunan fisik.
Kenaikan belanja tersebut bisa menjadi multiplier effect bagi sektor semen dan konstruksi. Hendra juga menyoroti pentingnya selektivitas dalam memilih saham IPO yang fundamentalnya kuat, mengingat volatilitas masih tinggi.
"Strategi saat ini adalah fokus pada sektor-sektor yang paling sensitif terhadap pelonggaran moneter dan insentif dagang, sambil tetap waspada terhadap potensi koreksi pasar global,” ujar Hendra.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual saham. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.